Opini

Debunker, Pahlawan Pandemi yang Terlupakan

Rab, 10 November 2021 | 22:00 WIB

Debunker, Pahlawan Pandemi yang Terlupakan

Ilustrasi melawan hoaks di masa pandemi. (Foto: Dok. NU Online)

Hoaks dan informasi menyesatkan tumbuh merajalela pada masa pandemi Covid-19. Sepanjang hampir dua tahun, kita masih berkutat dalam persoalan pandemi. Tanda-tanda akan berakhir masih jauh panggang dari api. Upaya pemerintah dalam menangani pandemi ini masih terus berlanjut, mulai dari berbagai macam kebijakan karantina hingga vaksinasi.


Akan tetapi, upaya-upaya tersebut masih mendapat tantangan dan hambatan. Salah satunya adalah penyebaran disiinformasi, misleading yang berujung kepada informasi/berita palsu atau hoaks. Jumlah hoaks yang beredar meningkat tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.


Hoaks dan missleading semakin merajalela pada masa pandemi Covid-19. Bayangkan saja, sepanjang tahun 2020 hingga pertengahan 2021 ini, kuantitas berita palsu ini yang beredar di masyarakat semakin meningkat tajam.


Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Donny Budi Utoyo, mencatat rata-rata ada 4-5 hoaks baru terkait COVID-19 yang beredar setiap hari sejak Februari 2021 sampai sekarang (cnbcindonesia.com). Konten hoaks terkait Covid-19 begitu mendominasi media sosial dan aplikasi pesan instant yang dimiliki masyarakat.


Motif menyebarkan hoaks juga sangat beragam, mulai dari motivasi politis, promosi diri, bahkan promosi usaha. Akan tetapi, tidak semua yang menyebarkan hoaks memiliki motif tersembunyi. Ada sebagian orang dengan maksud baik, secara tidak sadar ikut menyebarkan informasi palsu dan mengira informasi itu akan membantu teman dan kerabat dalam memahami suatu peristiwa atau berita.


Telah banyak penelitian yang membahas terkait hoaks yang mudah dipercaya masyarakat. Daniel Kiehman, seorang psikolog Amerika peraih Nobel Ekonomi 2002, mengatakan sebagian dari otak manusia itu berpikir sangat lambat dan tidak logis, bagian otak ini dapat dimanipulasi.


Akan tetapi, ada bagian otak lain yang berpikir skeptis, kritis. Tapi, Daniel memiliki catatan di mana otak yang berpikir kritis ini cepat lelah, jadi jarang dipakai oleh bagian otak.


Literasi Digital
Dalam permasalahan penyebaran hoaks ini tidak bisa diatasi satu pihak saja. Akan tetapi, harus secara secara komprehensif dari hulu ke hilir. Dalam konteks informasi ada istilah literasi digital, ini yang perlu didorong.


Perlu aksi-aksi kolaboratif semua kalangan mulai dari pemangku kepentingan, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama. Tentunya, juga keluarga sebagai lingkungan terkecil di masyarakat. Warga harus dibiasakan memiliki sikap kritis dalam menanggapi berita-berita yang beredar sehingga tidak ditelan mentah-mentah.


Mengedukasi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu konsistensi dan upaya berkelanjutan, upaya sederhana, dan efektif. Di antaranya memberi tahu bahwa hoaks berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain.


Merujuk data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), organisasi yang fokus memerangi hoaks, jumlah hoaks sepanjang tahun 2020 mencapai 2.298 konten dengan setidaknya 788 hoaks atau 34 persen di antaranya seputar Covid-19 yang tersebar di media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube. Diduga masih banyak konten hoaks lain, tetapi beredar di media percakapan WhatsApp, yang lebih sulit terdeteksi.


Jumlah hoaks dan informasi menyesatkan pada 2020 hampir dua kali lipat dibandingkan pada 2019, yang tercatat 1.221 hoaks dengan didominasi isu politik sebanyak 625 konten. Adapun pada 2018, jumlah hoaks yang beredar 997 konten.


Memasuki tahun 2021, hoaks masih terus bermunculan. Dari Januari hingga 15 Februari 2021, Mafindo menemukan 121 hoaks terkait Covid-19 yang didominasi isu seputar vaksin Covid-19. Sejumlah hoaks itu di antaranya video remaja putri yang kejang-kejang setelah menerima vaksin Covid-19 hingga tangkapan layar sebuah situs berita yang memberitakan rakyat akan dibunuh dengan vaksin dari Tiongkok.


Menurut ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho menilai, pemasalahan hoaks tidak dapat dilihat dari sekadar jumlahnya, tetapi terutama pada dampaknya. Apalagi, dampak hoaks Covid-19 dan vaksin ini jauh lebih masif dibandingkan hoaks saat Pemilu 2019.


Dampak Hoaks
Dalam catatan Septiaji, terdapat sejumlah dampak masif dari hoaks terkait Covid-19, yakni konflik antara masyarakat dengan tenaga kesehatan, ketidakpercayaan publik kepada tenaga kesehatan, minimnya kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, dan keraguan terhadap vaksin dari Tiongkok. Hal ini dikhawatirkan mempersulit penanganan pandemi.


Ada juga beberapa isu yang jumlahnya sedikit, tetapi dampaknya sangat luas dan besar. Seperti isu masalah kehalalan (vaksin). Jadi, ketika ada hoaks dengan isu bahwa vaksin ini tidak halal, biasanya viralitasnya sangat tinggi.


Kemenkominfo telah menjalin kerja sama dengan kepolisian serta sejumlah pengelola platform digital, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Telegram, dan YouTube untuk melakukan penelusuran tanpa jeda selama 24 jam sehari guna mencegah hoaks-hoaks tersebut menyebar lebih luas.


Berdasarkan penindakan hukum terhadap penyebaran hoaks, kepolisian sudah menangkap para tersangka yang terlibat dalam 352 kasus hoaks terkait Covid-19 sepanjang tahun 2020.


Meskipun beragam cara dan tindakan sudah dilakukan, hoaks-hoaks ini masih menjadi ancaman karena kemampuan tim pemeriksa fakta masih di bawah kecepatan dan jumlah hoaks yang beredar. Sejumlah konten di platform digital publik beredar secara sporadis dan sudah menyentuh masyarakat akar rumput.


Menurut Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengatakan, untuk mengatasi hoaks terkait Covid-19 ini bisa memetik pelajaran dari kasus HIV/AIDS yakni sulitnya meluruskan misinformasi yang sudah telanjur beredar luas di masyarakat. Oleh karena itu, hoaks dan informasi menyesatkan harus cepat dideteksi dan diluruskan sebelum menyebar secara luas.


Kementerian Komunikasi dan Informatika masih menemukan banyak hoaks di media sosial yang disebut mengganggu upaya pemerintah mengatasi pandemi covid-19.


Sepanjang Januari 2020 sampai Agustus 2021, Kementerian Kominfo menemukan sebaran isu hoaks di medsos mencapai 4.355 buah. Total 4.255 isu sudah di-takedown dan 767 isu sudah dilakukan tindakan penegakan hukum. Kominfo menyebut, hoaks paling banyak ditemukan di facebook dengan 1.795 sebaran. Kemudian di Twitter 105 sebaran dan YouTube 41 sebaran.


Saring sebelum Sharing
Untuk mencegah hoaks di medsos, masyarakat harus menyaring semua informasi yang beredar dan jangan buru-buru menyebar informasi dari sumber yang tidak jelas. Intinya, saring sebelum sharing.


Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19, salah satunya melalui program vaksinasi. Namun dalam kondisi pandemi ini masih banyak tersebar berita bohong terkait covid-19 dan vaksinasi yang menghambat upaya memutus rantai penyebaran virus.


Lalu, bagaimana upaya pemerintah menekan penyebaran hoaks covid di medsos? Penulis mencoba membayangkan kita mengarungi pandemi Covid 19 tanpa adanya para pahlawan debunker dan para ahli dalam membedah serta cek fakta berita di medsos yang melanda Indonesia, hanya satu kata: hancur lebur! Itu kemungkinan kata yang tepat.


Oleh karena itu, dalam momen spesial di Hari Pahlawan izinkan kami yang juga bergerak di bidang kesehatan mengucapkan Selamat Hari Pahlawan kepada teman-teman yang bergelut dalam dunia cek fakta. (*)


Heri Munajib, Anggota Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PP PDNU), Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Universitas Airlangga-RSUD DR Soetomo Surabaya