Daerah

Tembakau adalah 'Daun Emas' bagi Orang Madura

Jum, 12 Mei 2023 | 11:00 WIB

Tembakau adalah 'Daun Emas' bagi Orang Madura

Ilustrasi seorang petani sedang mengecek tembakaunya sebelum panen. (Foto: NU Online/Freepik)

Sumenep, NU Online 
Bunawi, seorang petani tembakau asal Pragaan Laok, Pragaan, Sumenep, Jawa Timur menegaskan, tembakau adalah daun emasnya orang Madura. Sebagian besar masyarakat Madura memang mengantungkan mata pencahariannya kepada pertanian tembakau pada musim kemarau. 


Karena itu, menurutnya, penolakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) terhadap pasal Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menyangkut tembakau yang disamakan dengan Narkotika, sangatlah tepat. 


"Jika musim kemarau, warga pesisir bergantung pada garam. Sedangkan warga di perbukitan atau pegunungan, tembakaulah kekuatannya," ucapnya kepada NU Online, Jumat (12/05/2023).


Dikatakan, harga tembakau tergantung kualitasnya. Bagi warga yang menanam tembakau di luar daerah perbukitan, pasti kualitasnya kurang dan harganya murah. Berbeda di perbukitan yang didukung oleh tekstur tanah. Tak heran, harganya melambung tinggi kendati bibitnya sama.


"Tembakau di luar daerah pegunungan, harganya di bawah 50.000 per kilogram. Untuk daerah pegunungan, harganya di atas 50.000 per kilogram. Tembakau di Desa Prancak, Kecamatan Pasongsongan dan Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, rasa dan harumnya diminati banyak orang, termasuk pabrik rokok ternama," tuturnya.


Bunawi menyatakan, jika RUU tersebut disahkan, sumber pencaharian petani tembakau di Madura akan mati. Modal petani tembakau memang cukup besar, tetapi bila kondisi cuaca dan segala sesuatunya sangat mendukung, hasil dari tembakau sangat menjanjikan bagi peningkatan perekonomian masyarakat Madura. Hal inilah yang digambarkan bahwa tembakau adalah daun emasnya orang Madura. 


Bertani tembakau tak mengeluarkan pupuk yang banyak, karena warga pedesaan memanfaatkan kotoran ternak. Sebaliknya, pupuk urea dan phonska tak begitu banyak dikeluarkan. Hanya rakyat di bawah kesulitan mendapatkan pupuk kimia yang harganya Rp150.000 (50 kilogram).


Pada sisi lain, saat tembakau tidak sepenuhnya laku ke pabrik rokok, petani tembakau biasanya masih menemukan akses penjualannya. Seperti dijual untuk bahan rokok linting, atau dijual ke tengkulak yang memiliki gudang penyimpanan untuk dijual kembali di tahun depan. Sedangkan kaum milenial, memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk memasarkannya di media sosial.


Bunawi menyatakan, bertani tembakau memang membutuhkan mobilitas tinggi dan modal yang besar. Ini lantaran ada banyak hal yang harus dikerjakan untuk memastikan kualitas tembakaunya. Mulai dari memastikan keberadaan pupuk, air yang cukup, hingga perhitungan musim yang tepat. Karena kalau hujan turun, maka tembakau akan rusak.


"Pada umumnya, petani yang untung, mereka akan menutupi hutang. Ada pula yang menginvestasikan uangnya untuk ternak sapi, ternak kambing, dibelikan perhiasan emas, menyimpan di bank. Semua itu ia lakukan, sebagai bentuk sedia payung sebelum hujan. Artinya, jika suatu saat nanti dibutuhkan, mereka tidak pinjam ke bank dan tetangga," terangnya.


Etos kerja orang Madura

Warga Madura dikenal memiliki etos dan mobilitas kerja yang tinggi. Ditopang dengan kesungguhan, kerajinan dan keuletan, mereka bisa mencari nafkah di musim kemarau panjang. Kendati tembakau sebuah pekerjaan yang berat, mereka tetap survive.


Bunawi menegaskan, etos kerja orang Madura tidak hanya dimiliki laki-laki. Perempuan pun giat bekerja sambil menemani suaminya di sawah. Sebagaimana tertuang dalam puisi tembang lagu dolanan yang berjudul 'Pajjhar Lagghu’. Berikut teks lagunya. 


Pajjhar lagghu’ arena pon nyonara
Bapak tane se tedung pon jhagha’an
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capengnga
Ajhalanna ghi’ sarat kawajibhan
Atatamen mabanyya’ hasel bhumena
Mama’mor nagharana tor bangsana


Ia menjelaskan arti lagu tersebut, bagi masyarakat Madura, petani menjadi pekerjaan utama. Walau tanahnya kurang subur, gersang, dan kering, namun dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah, dapat hidup dari bercocok tanam. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk bergotong royong dalam bercocok tanam. Maksudnya, seluruh anggota keluarga memiliki peran dan melaksanakan peran mereka secara bergotong royong.


"Hal terpenting dalam mencari nafkah, petani Madura tetap menjalankan kewajiban agama. Diyakininya, investasi akhirat lebih mulia hasilnya, sehingga rezeki yang ia dapatkan terdapat nilai keberkahan," tandasnya.


Kontributor: Firdausi
Editor: Syamsul Arifin