Daerah

Terapi Anti Narkoba di Pesantren Kanigoro

NU Online  ·  Senin, 25 September 2006 | 11:03 WIB

Kediri, NU Online
Sekitar 30 orang mantan pengguna narkoba dan eks pengungsi kerusuhan Sampit (Kalteng), menjalani terapi ritual di Pondok Pesantren (ponpes) Kanigoro, Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, selama bulan Ramadhan ini.

Kepala Pengurus Ponpes Kanigoro, Abdur Rokhim, Senin (25/9) mengatakan, para pengguna narkoba dari berbagai daerah di Indonesia dan pengungsi Sampit itu mengikuti berbagai macam kegiataan pendidikan keagamaan mulai siang hingga malam hari.

<>

"Berbagai kegiatan yang mereka jalani ini untuk memulihkan kondisi batin yang telah rapuh akibat berbagai macam persoalan yang mereka hadapi sebelumnya," ujarnya.

Dibandingkan dengan pengungsi kerusuhan Sampit, lanjut dia, penanganan terhadap mantan pengguna narkoba jauh lebih rumit, karena sebagian besar diantara mereka ini adalah kalangan pecandu.

"Kadang ada yang datang kemari masih dalam keadaan parah dan membutuhkan waktu relatif lama untuk menyembuhkannya," ujar pengurus ponpes yang sebelumnya diasuh oleh pendiri perguruan silat Pagar Nusa, Almarhum KH Makshum Djauhari itu.

Meski demikian, pihak ponpes telah menyiapkan beberapa ramuan untuk mengobati para pecandu narkoba tersebut berupa air kelapa dicampur dengan gula merah.

"Ramuan ini kemudian diminumkan kepada para pecandu narkoba selama 20 hari berturut, pagi, siang, dan malam. Setelah itu mereka masih diharuskan meminum air kelapa yang sudah dimasak," ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, dalam waktu sekitar satu bulan mereka sudah sembuh dan diharuskan menetap di pondok pesantren untuk mengikuti kegiatan belajar ilmu agama sampai memahami secara mendalam.

Ia menyebutkan, dari sekitar 30 santri yang mengikuti program pendidikan selama bulan Ramadhan ini, terdapat empat diantaranya perempuan yang sebelumnya pecandu berat narkoba.

"Selain dari Jawa Timur, para pecandu narkoba yang mengikuti terapi ritual di sini diantaranya dari Sorong (Papua), Medan, Lampung, Jakarta, dan Kalimantan Selatan," ujarnya.

Ponpes Kanigoro didirikan oleh KH Djauhari pada tahun 1937, kemudian pada tahun 1965 menjadi basis kekuatan pemuda Ansor saat menghadapi pemberontak PKI. Ponpes ini menjadi saksi bisu Tragedi Kanigoro pada tahun 1965, ketika banyak kalangan guru ngaji dibantai.

Sejak tahun 2001 KH Makshum Djauhari menjadikan ponpes tersebut sebagai tempat rehabilitasi sekaligus tempat pendidikan bagi para pengguna narkoba.

Saat itu jumlah santri yang diberi pelajaran dengan metode pendidikan ponpes salaf (kitab kuning) itu mencapai 53 orang, namun sepeninggal KH Makshum Djauhari jumlah santrinya tinggal 30 orang. (bin)