Daerah

Usaha Batik Kader Ansor di Sumenep Dipasarkan Hingga Luar Daerah

Rab, 23 Desember 2020 | 03:00 WIB

Usaha Batik Kader Ansor di Sumenep Dipasarkan Hingga Luar Daerah

Moh Thohari atau Totok dengan batik hasil kreasinya. (Foto: NU Online/Habib)

Sumenep, NU Online

Agar dapurnya tetap mengepul, kader Ansor di daerah mayoritas memiliki usaha khusus. Karena telah jamak diketahui, berkhidmat di Ansor tidak memiliki gaji atau honor pokok. Usaha-usaha demikian, selain dipergunakan untuk menopang hidup, bagi kader yang telah memiliki rezeki lebih, sebagian pula disisihkan untuk menghidupi organisasi.

 

Salah satu kader Ansor yang memiliki usaha pribadi tersebut adalah Moh Thohari. Yang bersangkutan tercatat sebagai Anggota Departemen Pengembangan Perekonomian Pimpinan Anak Cabang (PAC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bluto, Sumenep, Jawa Timur.

 

Kepada media ini, dirinya bercerita mulai belajar menekuni batik sejak akhir 2017. Disampaikan bahwa ketertarikan kepada seni batik karena bisa mengeskpresikan imajinasi lukisan yang ada dalam pikiran. Selain itu, batik merupakan peninggalan atau warisan budaya yang melekat dengan Sumenep, kota di mana dirinya tinggal.

 

“Awal mula saya suka karena batik merupakan warisan budaya di Madura, khususnya di Sumenep. Seorang pembatik itu sama halnya dengan merawat warisan nenek moyang di masa lalu,” ungkapnya kepada NU Online.

 

Totok, sapaan akrabnya, melakukan aktivitas produksi batiknya di kediamannya sendiri, di Dusun Tambak, Desa Gingging, Kecamatan Bluto. Ia pun menceritakan, bahwa menjadi seorang pembatik bukanlah hal mudah. Memerlukan ketekunan dan ketelatenan dalam setiap prosesnya. Karena membatik identik dengan karya, maka dituntut untuk memiliki imajinasi, kreasi, dan inovasi yang bagus.

 

“Membatik itu sama halnya dengan mencari selera orang lain. Dan itulah tantangannya. Selain itu, karya yang dihasilkan tidak boleh sama dengan yang lain. Karena seperti karya lainnya, batik juga memiliki hak cipta,” ujar pria kelahiran Sumenep 29 tahun lalu ini.

 

Alumnus Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Guluk-guluk, Sumenep ini menyebutkan, bahwa di masa awal memasarkan produknya dilalui dengan proses yang tidak mudah. Agar karyanya diakui konsumen, sulitnya bukan main. Diperlukan kegigihan dan kesabaran ekstra. Segala bentuk nyinyiran dan hinaan dari sejumlah kalangan tidak membuatnya patah arang. Ia sudah kenyang dengan hal itu.

 

“Saya coba pasarkan ke sahabat dan famili terdekat, meskipun dengan harga di bawah pasaran. Namun, lambat laun dengan kualitas yang dimiliki, akhirnya hasil produksi saya mendapat pengakuan. Alhamdulillah, saat ini sudah banyak yang mengenal produksi batik yang saya buat,” terangnya.

 

Hingga saat ini, Totok sudah mempekerjakan 4 hingga 5 orang, yang diambil dari masyarakat sekitar yang tidak punya pekerjaan. Omset bersih perbulan pada hari-hari biasa mencapai dua juta rupiah. Bahkan, pernah suatu ketika mendapatkan pemasukan kotor 12 juta hingga 15 juta rupiah perbulan. Konsumennya saat ini tidak hanya terbatas pada masyarakat lokal, akan tetapi juga sudah merambat luar kota, bahkan lintas provinsi.

 

“Konsumen saya ada yang dari Kudus, Banyuwangi, Situbondo, Probolinggo, bahkan ada juga yang dari Bali,” ungkapnya.

 

Terkait harga, dirinya menjelaskan bahwa hal tersebut beragam. Dan hal tersebut tentu saja sangat bergantung kepada tingkat kesulitan saat pembuatan.

 

“Harga perpotong baju biasanya kisaran Rp350.000 hingga satu juta,” jelas pria yang juga Anggota Satuan Koordinasi Rayon (Satkoryon) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Bluto ini.

 

Bertahan di Masa Pandemi

Namun, sebagaimana sebuah usaha pada umumnya, segala proses yang dilalui tidak selalu berjalan mulus. Di masa pandemi ini, banyak cobaan dilalui. Mulai dari digagalkannya pesanan oleh konsumen, hingga pesanan yang tidak jadi dibayar karena persoalan keuangan di pihak pemesan yang sedang tidak baik akibat pandemi.

 

“Pandemi ini sangat berdampak buruk terhadap usaha saya. Banyak pesanan yang digagalkan. Dan pesanan yang digagalkan ini jumlahnya hingga ratusan potong. Bahkan, ada jutaan keuangan yang hingga saat ini belum dibayar oleh konsumen. Di masa pandemi tersebut nyaris sepi pesanan,” keluhnya.

 

Karena sebab ini, staf pengajar di Pondok Pesantren Istifadah, Gingging, Bluto ini pun harus memutar otak dan mencari solusi. Salah satunya harus menarik modal lagi meskipun sedikit. Selain itu juga mengubah jadwal masuk karyawan, dengan dilakukan secara bergantian.

 

“Bahkan, untuk menyiasati itu, setiap konsumen yang memesan batik ke saya, saya minta uang muka. Selain dimaksudkan sebagai tambahan modal, juga jaga-jaga khawatir pesanan digagalkan di tengah jalan seperti yang dilalui selama ini,” tutur alumni Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep ini.

 

Namun, ketika mulai memasuki new-normal, usaha yang ditekuni berangsur membaik. Lambat laun pemesanan kembali ada, meskipun nyaris tidak sama dengan di masa sebelum pandemi. Namun, setidaknya bisa membuat usaha yang dilakoni tetap bertahan.

 

“Alhamdulillah, sejak new-normal kemarin mulai stabil, kendatipun tidak seperti di masa awal. Bahkan, saat ini saya mendapatkan pesanan batik sepuluh potong yang harus diselesaikan bulan ini,” pungkasnya.

 

Kontributor: A Habiburrahman

Editor: Ibnu Nawawi