Diktis

13 Dampak Positif Pelatihan Baca Al-Qur’an di Pesantren Waria Yogyakarta

Jum, 12 Juli 2019 | 23:00 WIB

13 Dampak Positif Pelatihan Baca Al-Qur’an di Pesantren Waria Yogyakarta

Suyatno, salah satu santri di Pesantren Al-Fatah Yogyakarta (foto: cnnindonesia)

Hasil pendampingan pada santri waria di Pesantren Al-Fatah Yogyakarta tahun 2018 telah memberikan dampak positif. Dampak positif tersebut diuraikan Nur Aini dan Rohmat Dwi Winanta dalam laporan resume pengabdian kepada masyarakat terintegrasi. Kegiatan tersebut merupakan program Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018.
 
Dua mentor pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang juga merupakan dosen di Intitut Ilmu Qur'an (IIQ) An-Nur Yogyakarta itu menuliskan, setelah mengikuti pendampingan, santri waria lebih tertib dalam belajar mengaji dibandingkan dengan sebelumnya. 
 
Santri waria mulai bersedia belajar kepada para guru atas kesadaran sendiri, mereka juga mulai tertib belajar ilmu tajwid serta aktif dalam berdiskusi tentang masalah-masalah sosial. Tidak hanya peduli tentang kehidupan diri mereka, para santri waria itu juga aktif mengikuti kegiatan mujahadah dan dzikir setelah Shata Maghrib dan Isya yang dilakukan berjamaah dengan masyarakat setempat. 
 
Kedua, santri waria mampu membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Hal itu terlihat dari hasil pengujian yang dilakukan oleh para mentor saat pertemuan terakhir di Pesantren Al-Fatah. Ketiga, santri waria terbiasa belajar Al-Qur'an secara mandiri. Mereka mulai memaksakan diri belajar membaca Al-Qur'an menggunakan buku ajar humanis yang telah disediakan pihak pendamping. 
 
Keempat, santri waria terbiasa menjalankan shalat wajib secara berjamaah dengan tertib, ditandai dengan meningkatnya kualitas bacaan, gerakan shalat, dan tepat waktu. Mereka juga terlihat mengalami peningkatan dalam pengamalan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mampu mengenakan mukena atau sarung dengan baik, rapi, dan benar; serta mampu meluruskan shaf dalam shalat.
 
Dampak selanjutnya, santri waria mampu dan rajin berdzikir dengan baik. Mereka mampu melaksanakan dzikir secara mandiri, ber-mujahadah dan membaca Asmaul Husna yang dilafalkan dengan fasih. Misalnya, selesai shalat berjamaah, para santri waria tidak langsung pergi meninggalkan tempat. Mereka tetap duduk di tempat mereka shalat untuk berdzikir dan berdoa bersama dilanjutkan dengan Shalat Isya dan shalat sunah bakdiyah.
 
Sementara pada dampak positif keenam, waria mampu berdiskusi dengan baik. Hal itu ditandai dengan berjalannya diskusi secara demokratis. Santri mampu memimpin diskusi dengan sempurna. Tema-tema diskusi variatif, tidak hanya terbatas pada masalah kewariaan dibahas pula sejumlah masalah sosial yang krusial. Termasuk diskusi mengenai etika berjilbab, kemandirian santri, dan peran santri bagi bangsa serta agama.
 
Ketujuh, santri waria bersedia mengkaji ajaran agama Islam secara komprehensif. Santri waria mulai memaksakan diri berdiskusi tentang kehidupan yang sedang mereka jalani yakni kehidupan yang tidak dimiliki orang-orang kebanyakan. Mereka membahas bagaimana sesungguhnya Islam mengajarkan kehidupan yang baik. Selain itu juga, mereka menggali dan mengkaji terkait akidah, ibadah, dan akhlak. 
 
Kedelapan, santri waria mampu mengembangkan ego, mengenal diri dan tugas-tugasnya sebagai manusia dan sebagai umat Islam. Santri waria mulai mengenal diri dan tugas-tugasnya sebagai manusia dan sebagai umat Islam dengan menyadari dan menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai manusia, anggota keluarga, anggota masyarakat, sebagai warga negara Indonesia dan sebagai umat Islam. Semua dilakukannya tanpa paksaan dan tanpa perintah siapa pun. 
 
Kesembilan, tumbuhnya jiwa sosial. Mereka mampu mengambil peran di tengah-tengah masyarakat sebagai orang yang mampu memberikan manfaat kepada orang lain; seperti ikut serta pada kegiatan bakti sosial yang melibatkan masyarakat banyak. 
 
Kesepuluh, santri waria semakin bermoral baik, yaitu mampu dan bersedia berbuat baik kepada siapa pun. Santri mulai bersikap ramah kepada setiap tamu yang datang ke pesantren. Lemah lembut dalam berucap, juga terlihat lebih sopan. 
 
Kesebelas, santri waria mampu menilai dirinya sendiri secara aktif terkait dengan kemampuan membaca Al-Qur'an, beribadah, akhlak, maupun sikap humanisnya.
 
Keduabelas, santri waria mampu memiliki sikap pengendalian diri, mereka tidak mudah marah, tidak mudah terpengaruh dengan isu dan berita yang belum jelas kebenarannya. Mereka juga mampu mengklarifikasi setiap ada informasi yang menyebar, lalu menyikapinya dengan sikap yang bijaksana. 
 
Terakhir atau dampak ketigabelas, santri waria mampu mengambil peran di masyarakat, misalnya para santri aktif mengikuti kegiatan yang ada di masyarakat terutama di sekitaran Pesantren Al-Fatah. Para santri waria juga mampu menjadi bagian masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi.
 
 
Penulis: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Kendi Setiawan