Agama Islam mempunyai visi rahmatan lilalamin. Ajarannya mengarahkan penganutnya pada jalan yang memberi kemaslahatan diri sendiri, orang lain, bahkan lingkungan. Dengan visi itu, jika ada persoalan umat maka Islam harus melakukan upaya transformatif untuk mengatasi persoalan umat. Islam diturunkan sebagai petunjuk dan rahmat untuk membebaskan manusia dari semua bentuk perbudakan atau penghambaan yang melawan nilai-nilai teologis dan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Islam tidak bisa diposisikan sebagai agama yang statis untuk dirinya sendiri, tetapi harus ditransformasikan dan ditafsirkan oleh umat manusia. Transformasi inilah yang bisa disebut sebagai bentuk riil dari gerakan sosial baru. Karenanya, Islam merupakan agama yang akan memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat yang ada di dunia.
Islam transformatif merupakan upaya agama untuk menganalisis dan memberikan alternatif solusi terhadap segala bentuk dehumanisasi sosial. Islam adalah agama yang hakikatnya bukanlah milik perseorangan atau kelompok. Dalam Islam terdapat unsur tasawuf yang menjadi bagian yang sangat signifikan bagi keberadaan Islam transformatif.
Tasawuf terus mengalami perubahan dari amaliah indiviudalistik ke sosial, dan dari zuhud anti dunia ke zuhud yang memperbaiki dan ‘membumikan’ dunia dengan nilai-nilai tauhid dan sufistik. Dari Islam tranformatif ini muncul istilah tasawuf transformatif. Tasawuf transformatif merupakan upaya untuk pelibatan diri seorang sufi dalam memperbaiki dan mengubah kehidupan masyarakat. Tasawuf transformatif tidak menekankan sikap spiritualisme pasif dan isolatif (i’tizaliyah), tetapi tasawuf dijadikan spiritualisme aktif dan dinamis dengan menjadikan tasawuf sebagai sumber nilai dan semangat untuk menjadikan masyarakat lebih berkarakter, mandiri, dan sejahtera.
Tasawuf transformatif ingin membantu masyarakat untuk menyelesaikan berbagai problematika kehidupan. Salah satunya adalah problem dari keterasingan (alienasi). Keterasingan yang dimaksud antara lain: (1) alienasi kesadaran, (2) alienasi ekologis, dan (3) alienasi sosial. Karenanya, sistem yang biasanya dipakai berawal dan bermuara pada pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) serta konsepsi transendensial (tauhid).
Dalam konteks tasawuf transformatif, pemahaman terhadap hakikat dari segala sesuatu yang mengantarkan seorang hamba ke derajat makrifat harus dikontekstualisasikan dalam ranah yang lebih bersifat sosial. Artinya, seseorang salik pada tasawuf transformatif ini, harus pandai menyampaikan tujuan dari ajaran yang ia terima, tidak semata untuk kebaikan dalam dirinya, tetapi bagi kemanfaatan yang lebih luas.
Jika di dalam beribadah hubungan dengan Tuhan adalah hakikatnya maka hubungan dengan masyarakat adalah manifestasi atau penjelmaannya. Mencintai Allah adalah hakikat, tetapi seseorang tidak akan sampai pada hakikat sebelum kecintaannya kepada Tuhan itu direalisasikan dengan cara mencintai makhluk-makhluk-Nya. Bukti mencintai Allah adalah mencintai makhluk-Nya, sedangkan bukti mencintai makhluk-Nya adalah mengulurkan kemungkinan-kemungkinan yang mampu mengembangkan diri dan kehidupan mereka.
Perbuatan yang baik dalam bentuk penyediaan fasilitas, informasi-informasi, pelatihan keterampilan, dan berbagai bentuk kegiatan sosial lainnya yang ditradisikan berulang-ulang, akan menjadi sebuah wirid. Perbuatan-perbuatan baik yang diulang-ulang secara terus-menerus adalah wirid implementatif yang memiliki daya efektivitas untuk mengubah semesta menuju ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, usaha memperoleh cinta sejati Allah merupakan langkah yang harus dilakukan oleh manusia untuk mencapai tingkat hakikat dan makrifat.
Penelitian yang cukup concern tentang tasawuf transformatif dilakukan oleh Sayyidah Syaikhotin dan Hasyim Asy’ari. Penelitian yang bekerjasama dengan Pendis Diktis Kemenag ini berjudul Geneologi Tasawuf Transformatif. Penelitian ini difokuskan pada dua gerakan yang berorientasi terhadap makna tawasuf transformatif yang eksis di Indonesia. Dua gerakan tersebut adalah Majelis Maiyah oleh Ainun Nadjib dan Majelis Dzikir Manaqib Syech Abdul Qodir Jailani oleh Kiai Muzakki Syah.
Majelis Maiyah berdiri atas dasar kekecewaan terhadap sistem pemerintahan orde baru yang sudah keluar jauh dari cita-cita pendiri bangsa Indonesia dan kekecewaan terhadap sistem reformasi yang belum bisa menjawab terhadap segala persoalan yang ada di masyarakat. Tepatnya pada malam menjelang akan digelarnya Sidang Istimewa MPR 2001, pada tanggal 31 Juli 2001. Sedangkan Dzikir Manaqib Syech Abdul Qodir Jailani didirikan oleh KH Achmad Muzakki Syah di dalam menyebarkan dakwah islami yang berorientasi pada sufistik untuk menjadikan umat selalu dekat dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta mampu menghadapi segala persoalan hidup.
Secara garis besar, kedua majelis ini memiliki tujuan dari tasawuf transformatif yang sama yakni tauhid dan tasawuf. Selain dua materi yang sangat mendasar tersebut, di majelis tasawuf transformatif diajari berbagai disiplin ilmu baik yang monodisipliner, multidisipliner, maupun interdisipliner. Tasawuf transformatif tidak memperbolehkan manusia meninggalkan dunia. Tuhan menciptakan dunia tidak untuk ditinggal lari oleh manusia. Melainkan untuk diurus, ditaklukan, dan dijadikan fasilitas untuk berkembangnya kemanusiaan. Majelis tasawuf transformatif memiliki berbagai cara untuk memperoleh cinta sejati.
Adapun cara-caranya yaitu dengan dengan menerapkan konsep segitiga cinta dan piramida cinta. Konsep Segitiga Cinta merupakan konsep yang ditawarkan dalam Majelis Maiyah dan Konsep Piramida Cinta merupakan konsep yang ditawarkan oleh Majelis Dzikir Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani. (Sufyan/Kendi Setiawan)