Opini

Cermin Air Peradaban Kita

Sen, 13 April 2020 | 15:30 WIB

Cermin Air Peradaban Kita

(Foto ilustrasi: © The New Humanitarian/Mohammed Zaanoun)

Risalah kali ini merupakan lanjutan dari edisi sebelumnya yang telah kami terbitkan demi mencerdaskan ranah literasi bangsa Indonesia. Sekaligus menyuburkan spirit tutur tinular para mpu pujangga yang telah mendahului kita pada masa lalu. Mereka menulisi zaman, lalu membabarnya ke hadapan para jenggan—di bawah naungan sinaran perak arutala purnama. Alam takambang menjadi Guru

 

Nun ribuan tahun silam, tanur bumi memancarkan mata airnya, langit menumpahkan air matanya (QS Rembulan [54]: 11-12). Kejadian tersebut berlangsung selama empat puluh hari empat puluh malam. Nabi Nuh as menjadi saksi peristiwa dahsyat itu. Bahtera berbahan kayu jati yang ia rancang bersama umatnya, mengapung selama lebih dari delapan bulan. Di dalamnya berkumpul dengan harap cemas, beberapa pasang keluarga dan para binatang (QS Hud [11]: 40). Air menggenang 150-an hari. Setelah terkunci menunggu selama 244 hari, Nuh dan rombongan manusia generasi kedua ini pun, turun gelanggang. Membangun lagi peradaban dari awal mula.

 

Secara manusiawi, mereka semua tentu diserang kebosanan yang sangat. Belum lagi rasa takut menghantui, lantaran di sekeliling mereka banjir sedang raya. Tapi selalu ada berkah melimpah bagi mereka yang sungkan mengeluh dan tekun bersabar. Allah berkenan menyelamatkan mereka dari bandang besar. Barangkali jika mereka tidak taat, kebinasaanlah yang pasti melanda—sebagaimana yang telah mereka saksikan menimpa para pembangkang di luar bahtera. Ketaatan dan kepercayaan pada perlindungan Tuhan, menyelamatkan Nuh serta umatnya yang tak seberapa itu.

 

Lantas Allah menciptakan anugerah berupa pelangi, sebagai penanda janji tak akan lagi memusnahkan anak-cucu manusia. Suasana sedemikian rupa, sejatinya juga tengah kita alami pada Era Dataisme ini. Saking seringnya memelototi saluran informasi terkait pandemi virus Covid-19, banyak orang yang kini mendadak jadi ahli. Macam ragamnya. Ada yang ahli menakuti dengan berita palsu. Ada yang lebih dokter ketimbang pedagang bubur ayam. Malah ada dokter yang lebih presiden dibanding pengemudi ojek daring.

 

Begitulah dinamika bangsa Indonesia pada permulaan 2020 ini. Bangsa yang kendati dirundung bencana luar biasa, namun tetap bisa menghibur diri dengan kelakar brilian—yang bahkan tak terpikirkan oleh ribuan orang yang sedang mengantre makanan di Texas, Amerika sana. Orang Indonesia ternyata masih sempat menghibur diri. Tak kehilangan cara berbahagia dengan kesederhanaan. Keadaan seperti ini kerap kali berlangsung dalam segala kondisi. Pokoknya apa pun yang terjadi di sini, selalu saja ada celah untuk bersuka ria dengan segala dinamika.

 

Para agamawan dengan kesantunan yang khas akan berkata, “Ini adalah ujian dari Tuhan.” Mendengar itu, rombongan ateis berkoar, "Tuhan sedang diuji oleh Covid-19.” Merasa perlu angkat suara, barisan Darwinis pun tampil, "Ini adalah seleksi alam.” Tak mau kalah pamor, pegiat modernis-rasionalis unjuk diri, “Kita bisa mengendalikan dan mengenyahkan virus ini dengan ilmu pengetahuan-teknologi!” Tak tahan mendengar celotehan itu, kaum nihilis bersabda, “Ada atau tidak virus Corona, kita semua juga akan mati.”

 

Anak cucu Marxis juga tak tinggal diam. Mereka berkicau, “Proses produksi kapitalislah yang menyebabkan kemunculan virus ini!” Demi melihat rivalnya bersuara, cukong kapitalis unjuk gigi, “Manusia bertanggung jawab pada dirinya masing-masing.” Kendati begitu, pejuang individualis murni segera mengingatkan, “Kita tak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” Pendapat berseberangan dari anarko-individualis berkata lain, "Selamatkan dirimu, jangan pedulikan orang lain!"

 

Berbaris kemudian para dekonstruksionis yang meyakini bahwa ada hal-hal positif yang bisa kita peroleh dari virus ini. Tapi bagi yang oportunis, jelas pandemi ini adalah ladang bisnis mereka untuk mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain. Berbanding terbalik dengan pecandu altruis yang dengan gagah berani berkorban dan menghadapi wabah virus. Mereka tak akan peduli dengan pendapat geng strukturalis yang menegaskan bahwa semua ini akibat ulah kita. Pelaku fenomenologis punya cara lain. Mereka selalu berusaha menggali makna di balik setiap kejadian.

 

Kelompok liberalis merasa berkewajiban menyelamatkan kemanusiaan. Sisa kamerad sosialis masih percaya pada jargon satu untuk semua, semua untuk satu. Penggila rasis-fasis tak akan sungkan berpropaganda dengan satu keyakinan bahwa hanya ras terbaik yang bisa selamat dari pagebluk ini! Meskipun begitu, punggawa kritis-konspiratif lebih suka mencari siapa yang diuntungkan dan dirugikan akibat virus Corona? Nah, karena itulah pemuja posthumanis dengan sangat mantap membuktikan dalil tentang manusia bukanlah spesies unggul di jagat raya.

 

Anda juga harus tahu betapa zaman selalu punya remahan semacam kampretis-covidiot yang selebar jidatnya menuding azab Allah memang pantas diturunkan pada komunis China—lantaran membantai suku muslim Uighur. Maka dajjal akan segera hadir, sebelum matahari terbit di ufuk barat, dan bersiaplah mendirikan khilafah Islam. Sisa kedigdayaan masa lalu seperti qadariyah, berulang kali berteriak tak usah overdosis doa atau istighotsah. Sains jauh lebih mangkus. Apa guna Tuhan beri kita akal? Berkebalikan dengan saudara kembarnya, jabariyah-fatalis, mereka cuma bisa bilang semua terserah bagaimana Allah. Takut itu pada tuhan, bukan sama Corona. Dua gerbong berikutnya diisi para politisi tengik yang sigap meningkahi panggung, dan gerombolan hedonis yang sibuk tik-tokan.

 

Memungkasi itu semua, ada kalangan Nahdliyin yang sadar meyakini bahwa, “Kita sedang mengalami musibah global. Mari sama-sama berikhtiar dan berdoa. Patuhilah pemerintah.” Epistemik muslim tradisional terbesar dunia yang berwawasan Nusantara ini, berpotensi menyelamatkan Indonesia dari jurang kehancuran ekonomi yang terancam patah arang, macam; pariwisata, bisnis kemewahan, penerbangan, pelayaran, otomotif, konstruksi, perumahan, manufaktur, jasa perbankan, industri pendidikan, dan migas—yang berpeluang meloloskan diri bersama agrikultur, pasar digital, teknologi informasi-komunikasi, penyediaan-pelayanan alat medis, makanan olahan, ritel, serta kesehatan pribadi.

 

Kita yang mengembara dari keentahan, kini terlelap di satu dunia, dan terjaga dalam dunia lain. Seketika Disneyland tidak fantastik lagi. Paris sirna romantisnya. New York jadi menakutkan. Tembok Besar China tinggal kenangan. Makkah yang keramat pun dibiarkan kosong melompong. Basilika Santo Petrus membisu terlongong-longong. Semua orang yang mendaku beragama, bungkam dalam kenaifan. Sampai tulisan ini disusun pun, selain terus memanjatkan doa pada tuhan, mereka tak tahu harus melakukan apa kecuali berdiam di rumah. Semacam ada bahaya sedang mengancam—yang entah di mana.

 

Peluk dan cium tiba-tiba menjadi wahana penyebar penyakit. Tidak saling mengunjungi merupakan cara baru menyelamatkan sesama atas nama cinta-kasih. Kita dipaksa menyadari bahwa kekuasaan, kemegahan, dan uang, tak berharga sama sekali. Kita malah tidak bisa mendapatkan oksigen meski berjuang hingga mati. Malah yang sudah tumpas pun, ternyata masih harus mengalami dampak dari kedunguan segelintir orang yang menolak jenazah saudaranya sendiri—akibat digerogoti virus mematikan.

 

Ya, bumi sedang meneruskan hidupnya yang indah, lalu menempatkan manusia di dalam kandang kepandiran. Dunia kita mengirimkan sebuah pesan yang jelas! Semesta seolah tidak memerlukan manusia. Udara, air, api, tanah, akan baik-baik saja tanpa kita, bahkan bertambah gemah ripah. Alam mendikte manusia supaya mafhum batas-batas yang teramat sering diabaikan. Malam kembali pada keheningannya. Kita seperti diajari hakikat kesendirian, kesepian, kesunyian, keheningan, suwung, sunyaruri. Lalu menyelam ke dalam diri purbani.

 

Semua peringatan itu ingin memberitahu, bahwa kita hanyalah tamu di dunia. Sekadar pelancong, singgah minum untuk sementara, bukan penguasa. Mari menanam pohon harapan agar umat manusia terselamatkan, dan bisa memetik hikmah dari fenomena misterius ini. Buktikanlah bahwa sejatinya manusia itu khalifah, pemimpin, yang diutus Allah ke permukaan bumi. Jangan pula sombong, takabur, apalagi merasa paling benar. Kita, hanyalah lebu di bawah Duli-Nya. 

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.