Opini

Dua Kisah Haji Kaya Pelit

Rab, 28 Agustus 2019 | 13:25 WIB

Oleh Abdullah Alawi

Haji Broom atau Haji Sapu Bersih muncul dalam tulisan James C. Scott. Saya membaca buku itu dalam terjemahan bahasa Indonesianya beberapa tahu silam. Jadi banyak lupanya. Namun, nama haji di buku itu wataknya, dan beberapa tokoh lain, masih lumayan ingat. Buku tersebut berjudul Senjatanya Orang-orang Kalah. 

Di dalam bab pertama buku ini mengupas tentang perang kelas. Scott kemudian memunculkan tokoh-tokoh yang ditemuinya selama penelitian di negeri jiran Malaysia. Tokoh-tokoh itu, bagi Scott dianggap mewakil kelas kaya dan miskin. 

Scott memunculkan Haji Broom sebagai perwakilan kelas kaya yang mengakumulasi keuntungan dari seluruh penduduk desa melalui penguasaan tanah. Namun sayang, penguasaan tanah itu sebagian besar diperoleh dengan jalan jalan yang tidak terhormat dan menipu warga dengan jerat bunga hutang yang mencekik leher petani miskin.

Pengamat mengomentari penelitian Scott ini dinilai berhasil dalam mengupas fakta sifat menonjol sejarah Melayu di daerah Sendaka dan Muda (termasuk ke dalam wilayah Kedah), bahwa negara tidak sepenuhnya berhasil hadir sebagai mekanisme yang efektif untuk mengeksploitasi kaum tani.

Tokoh lain yang dimunculkan Scott adalah Razak. Ia adalah kebalikannya dari Haji Broom. Razak adalah petani miskin yang kebetulan dalam cerita Scott belum lama mendapat musibah kematian seorang anaknya. Razak tak mampu memberikan pertolongan dengan membawanya ke rumah sakit. Nah, Haji Broom yang meskipun sudah berhaji, pergi ke Tanah Suci Mekkah dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW, tidak terketuk hatinya untuk menolong anak Razak. 

Dari situlah kemudian muncul perlawanan-perlawanan simbolik dari petani miskin kepada orang kaya yang sombong, tak mau menolong dan pelit. Perlawanan tersebut bersifat diam-diam dan simbolik atau disebut dengan resistensi. Justru dengan perlawanan terbuka, para petani miskin itu akan kalah. Contoh perlawanan simbolik itu adalah menggosipkan haji itu di warung kopi dan kalau bekerja tidak terlalu serius, yaitu mengulur-ulur pekerjaan supaya berlangsung lama. 

Hal serupa terjadi di Sukabumi Selatan dengan munculnya istilah haji arni untuk orang kaya yang pernah melaksanakan ibadah haji tapi watakanya yang sombong, pelit, kedekut, koret, buntut kasiran. Saya tidak pernah mendapatkan penjelasan asal-usul tentang haji tersebut. Dan kapan istilah itu muncul. Orang Sukabumi selatan sendiri tidak tahu karena istilah sudah hadir di tengah-tengah mereka. Yang jelas, menurut saya, istilah itu adalah jejak perlawanan orang miskin kepada orang kaya yang sudah berhaji. 

Pada perkembangan selanjutnya, haji arni menjadi senjata yang meluas. Ia sering “ditembakkan” tidak hanya kepada orang yang sudah berhaji, tapi kepada siapa pun orang kaya yang berwatak haji arni alias pelit. Lebih jauh lagi, istilah haji arni disematkan kepada oleh anak-anak kecil untuk “menembak” temannya yang tak mau berbagi dalam hal apa pun.

Tendangan Tersembunyi untuk Para Haji

Ratusan ribu haji Indonesia sedang dalam proses pulang ke Tanah Air. Mereka akan kembali lagi ke kampung halamannya masing-masing, kepada keluarganya, dan tetangga-tetangganya. Mereka biasanya akan mendapat panggilan haji mengawali namanya. Mendapat tambahan huruf H di depan namanya saat diundang tetangga dan koleganya. Sebuah penghormatan kepada mereka karena telah mampu melaksanakan rukun Islam kelima. 

Namun, ingatlah masyarakat itu punya mata dan telinga dan pengharapan. Masyarakat memberikan gelar tersebut tidak cuma-cuma, melainkan menuntut konvensasi. Sebetulnya konvensasi tersebut bukan tanpa dasar. Di dalam masyarakat Sunda misalnya, berangkat haji disebut munggah haji.

Munggah artinya naik. Naik dalam hal ini, saya tafsirkan secara fisik dan nonfisik. Naik secara fisik adalah seorang yang naik haji dari Indonesia dipastikan naik pesawat terbang atau zaman dulu naik kapal laut. Sementara nonfisik adalah naik secara rohani, yaitu harapan agar perangai dan frekuensi ibadah seorang yang melaksanakan ibadah haji lebih baik dibanding sebelum berangkat.  

Sebetulnya, pengguanaan kata munggah tersebut sama sebangun atau ada kemiripannya atau ada rujukannya dari dalam ajaran Islam sendiri. Di dalam Islam terdapat istilah haji mabrur, yaitu kategori bagi seseorang yang perilakunya setelah melaksanakan ibadah haji lebih baik daripada sebelumnya. Amal ibadahnya baik wajib maupun sunah meningkat daripada sebelumnya. Tak hanya itu, juga baik perangainya kepada keluarga dan tetangganya. Paling tidak, sepulang berhaji setara dengan ketika ia berangkat. 

Sebaliknya, ada pula haji mardud, ibadah dan perangai seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji justru mundur atau lebih buruk daripada sebelum berangkat. Jika sebelum berhaji sering ke masjid, setelah berhaji malah tidak pernah atau jarang. Dalam hal ini, di masyarakat Sunda ada sebutan tersendiri yaitu haji dulmajid atau haji yang kedul (malas) ke masjid. 

Tentu saja masyarakat berharap haji-haji kita yang baru kembali dari Tanah Suci itu merupakan haji mabrur, haji yang munggah secara fisik dan rohani karena masyarakat akan mendapatkan konvensasinya baik secara fisik maupun rohani pula. Jika sebaliknya, haji yang baru kembali itu akan mendapatkan nasib seperti haji broom dan haji arni atau bisa jadi ada kategori haji baru untuk menjulukinya.

Masyarakat selalu punya cara dan memiliki perbendaharaan istilah yang tak terbatas untuk menjulukinya. Setelah julukan itu ditemukan, maka masyarakat akan melakukan tendangan tersembunyi kepada muka para haji. Tendangan itu dilakukkan di warung kopi atau kumpul-kumpul informal lainnya. Ini merupakan sebuah tendangan yang susah diklarifikasi, ditertibkan dan dihentikan.
 

Penulis adalah Wartawan NU Online