Opini

Indonesia ‘Penguasa’ Sejagat

Sel, 18 Februari 2020 | 12:20 WIB

Indonesia ‘Penguasa’ Sejagat

Indonesia sebagai pemimpin dunia dengan demikian bukan sekadar impian di siang bolong. Ia pernah tercapai meski tidak keseluruhan.

Januari 2020 menjadi saksi bagi lahirnya tiga ‘kekaisaran’ di Indonesia. Sungguh luar biasa! Biasanya, pada wilayah yang sangat luas, melebihi luas wilayah negara, terdapat satu kekaisaran atau imperium. Di Indonesia,di tanah Jawa, terdapat tiga kekaisaran: Keraton Agung Sejagat di Purworejo Jawa Tengah, Sunda Empire di Bandung, dan yang paling gres, King of the King di Tangerang. Mereka mengklaim berkuasa atas seluruh dunia meski anehnya, mereka berdiri di atas dana iuran anggota. Salah seorang yang berkedudukan Residi Keraton Agung Sejagat bahkan tidak berani pulang ke rumah lantaran takut dimarahi sang istri gara-gara uang keluarga habis disetorkan ke keraton.
 
 
Melihat apa yang terjadi, orang dibuat bertanya-tanya: “Ini serius apa tidak kok bisa mengaku sebagai penguasa sejagat?! Kalau serius, kok ya bisa berpikiran seperti? Kalau tidak serius, kok PD sekali mengaku penguasa sejagat?” Secara prespektif akademis, mereka seolah merepresentasikan anti kemapanan sejarah atau anti narasi tunggal. Pertanyaannya, apa bisa semua orang membuat versi sejarah sendiri tanpa bukti dan sanad tulis mau pun tutur. Kalau ada sanad tutur, apakah bisa semuanya dipercaya begitu saja tanpa verifikasi?
 
 
Penjelasan Totok Santosa bahwa keratonnya adalah penerus kerajaan Majapahit sesuai perjanjian pengalihan kekuasaan Dyah Ranawijaya kepada Portugis pada 1518 dan akan dikembalikan setelah 500 pada 2018 patut dipersoalkan. Ia bertentangan dengan sengkala Serat Kanda seperti yang dikutip Osrifoel Oesman dalam diskusi Omah-Deso-Kuto Majapahit Trowulan tentang akhir Majapahit: ‘Sirno Ilang Kertaning Bumi’ (sirno: 0, ilang: 0, kertaning:4, bumi:1 = 1400 tahun Saka atau 1478 Masehi). Kerajaan besar itu juga berakhir oleh serangan Demak bukan oleh perjanjian pengalihan kekuasaan ke Portugis.
 
 
Munculnya kekaisaran abal-abal,menunjukkan adanya impian menjadi penguasa dunia di kalangan masyarakat Indonesia untuk. impian yang sah-sah saja meski posisi Indonesia bukan di pusat peradaban dunia.Pusat peradaban dunia berada di sekitar laut Mediterania: Romawi, Yunani, Mesir dan Turki. Selain itu terdapat India dan China dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Indonesia adalah kepulauan tempat transit lalu-lintas laut India – China. Sebagai tempat singgah, Indonesia yang dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebut Negeri di Bawah Angin, tentu bukanlah destinasi utama. Destinasi utamanya adalah India atau China. Sebagai masyarakat ‘periferal’ dalam geo-politik global saat itu, apa yang dicapai oleh Majapahit pada abad ke-14 dengan menguasai Asia Tenggara (1336 -1357)adalah capaian yang luar biasa. Bahkan keberhasilan pasukan Singasari dalam mengusir pasukan Khubalai Khan (1293) di Pelabuhan Ujung Galuh (Surabaya) menunjukkan bahwa rakyat Indonesia meski bukan berada di sentral peradaban, mereka adalah masyaraka
t yang disegani.
 
 
Mimpi Gadjah Mada tentang Indonesia yang besar diteruskan ke proklamator kemerdekaan Ir. Soekarno. Beliau yang oleh lawan politiknya disebut sebagai Megalomania karena mimpi sejagatnya dan dipandang sebagai Fasis di mata Barat, berkata: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”Soekarno pun berhasil mewujudkan peran Sejagat Indonesia. Ini terbukti dalam kepemimpinannya di Konferensi Asia-Afrika (1955) dan kemampuannya membangun poros baru Conference of the New Emerging Force (CONEFO, 1961) sebagai pesaing PBB karena dianggap didominasi kekuatan Barat. Keberaniannya memutuskan Indonesia keluar dari PBB (Januari, 1965) sebagai protes atas berdirinya negara Malaysia yang oleh Soekarno dicap sebagai boneka Inggris,sementara Soekarno sedang getol-getolnya memperjuangkan anti Neo-Kolonialisme (Nekolim).Ini menunjukkan bargaining position Indonesia yang tinggi dan peran yang sentral di dunia.
 
 
Mimpi Indonesia menjadi ‘penguasa’ jagat dengan demikian, some how, telah diusahakan dan dicapai sesuai karakter zamannya.Tentunya tidak sebagai penguasa mutlak atas semua wilayah dunia yang itu tidak pernah ada dalam sejarah. Atau seperti kaisar Romawi atau Persia yang memiliki kekuatan terbesar di dunia; atau seperti sultan Turki Sulaiman al-Tsani yang berkuasa atas tiga benua.Tapi sebagai tokoh dunia yang diikuti oleh negara-negara lain di Asia dan Afrika dalam melawan dominasi Barat atas dunia. Reputasi internasional Soekarno yang luar biasa ini pula yang membuatnya berpengaruh besar dalam jagat Islam. Dia mampu menekan pemimpin Uni Sovyet, Nikita Sergeyevich Khrushchev, untuk menemukan makam Imam Bukhari,sang dokumentator hadits Rasulullah, otherwisedia tidak mau berkunjung ke Moskow pada 1956.Makam yang tertutup oleh semak belukar di salah satu daerah di Uzbekistan itu pun akhirnya ditemukan dan direnovasi oleh pemerintah Uni Sovyet.
 
 
Nasihat Soekarno juga diikuti oleh pemimpin Arab dan Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser. Gamal yang sedang melakukan perombakan mendasar dalam resolusi negaranya, berencana membubarkan lembaga Al-Azhar sebagai institusi Islam terbesar di dunia, untuk digantikan yang lain dengan sistem baru. Saat bertemu di forum internasional Gamal menyampaikan rencana itu kepada Soekarno dan Soekarno pun menjawab, seperti yang disampaikan oleh ‘Ali Gomoah, mufti besar Mesir 2003-2013 di televisi Mesir: “Bagaimana kamu akan membubarkan Al-Azhar sementara yang kita kenal dari negaramu dari dahulu adalah sungai Nil, Pyramid dan Al-Azhar”. Gamal balik bertanya: “Terus apa yang sebaiknya aku lakukan?”. Soekarno: “Kamu justru harus memperkuat institusi Al-Azhar sebagai mercusuar Islam sedunia”. Nasehat itu pun diikuti dan Gamal Abdel Nasser membuat kepres yang memperkuat kelembagaan Al-Azhar. (Lihat video ini)
 
 
Indonesia sebagai pemimpin dunia dengan demikian bukan sekadar impian di siang bolong. Ia pernah tercapai meski tidak keseluruhan. Yang penting adalah bahwa ia bukan sebuah halusinasi tapi riil terjadi. Halusinasi jadi raja dan penguasa sejagat hanya boleh untuk anak kecil atau anak taman kanak-kanak. Kalau untuk orang dewasa ini mah kebangetan. Udah gedhe tapi kayak TK.
 
 
.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya