Nasional

Maraknya Dagelan Raja-raja, Bukti Lemahnya Literasi Sejarah Kita

Jum, 31 Januari 2020 | 17:00 WIB

Maraknya Dagelan Raja-raja, Bukti Lemahnya Literasi Sejarah Kita

Ilustrasi Dialog (freepik)

 

Jakarta, NU Online

 

Maraknya peredaran informasi mengenai klaim-klaim raja masa lalu seperti Keraton Agung Sejagat, Sunda Empire, Kesultanan Selacau dan seterusnya, yang terjadi seolah dengan sangat luas seperti tanpa bantahan layak dipertanyakan.

 

Pengamat Komunikasi Politik Hendri Satrio mengungkapkan keresahannya mengenai fenomena ini. Menurutnya, hal yang seperti dagelan itu sejatinya menujukkan setidaknya dua hal.

 

“Saya pikir ada dua hal yang memang menjadi pemicu maraknya narasi semacam ini. Pertama kondisi ekonomi dan sosial yang makin rumit bagi masyarakat, mereka butuh alternatif. Kedua literasi sains kita begitu rendah,” ungkap Hendri di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

Alternatif yang dia maksud adalah, walaupun bentuk yang ditawarkan raja-raja itu adalah sistem pemerintahan alternatif dan kelihatannya seperti dagelan, tapi ia menduga fenomena ini berangkat dari masyarakat yang muak dengan politik pemerintahan hari ini, yang diperparah dengan situasi sosial dan ekonomi yang dihadapi.

 

Hal semacam itu merurutnya bukan barang baru di Idnonesia. Sebelumnya juga pernah muncul kerajaan-kerajaan imajinatif yang sempat dipercaya sebagian masyarakat seperti SwissIndo, Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, bahkan Kerajaan Lia Eden yang sempat gempar karena membawa isu agama.

 

Selain itu, lanjut Hendri, kekecewaan akan kondisi masyarakat saat ini yang mengundang kerinduan kejayaan masa lalu juga terjadi di berbagai tempat. Sebut saja white supremacy di Amerika, supremasi Hindu di India, dan gerakan Neo Nazi di Eropa. Menurutnya, hal-hal itu merupakan reaksi atas kekecewaan masyarakat terhadap modernisasi dan globalisasi yang tak kunjung menyejahterakan.

 

Founder lembaga survei Kedai KOPI ini juga mengungkapkan, fenomena ini, sebagaimana konspirasiteori bumi datar, memanfaatkan ketidakmampuan masyarakat mengkonfirmasi suatu narasi dengan landasan sains.

 

“Bila flat earth terkait fisika dan astronomi, maka kesultanan dan segala kerajaan itu terkait dengan disiplin ilmu sejarah. Sejarawan-sejarawan kita mesti berbicara dan mengkonfirmasi dagelan ini,” imbuh Hendri.

 

Akademisi universitas Paramadina ini menguraikan, mental atau psikologisme masyarakat itu hanyalah sebentuk gejala. Justru hal yang perlu dilihat adalah situasi dan kondisi macam apa yang membuat masyarakat bisa mempercayai itu.

 

Dalam pandangannya, jawabannya bisa terkait fatalisme yang berkombinasi dengan nostalgia, sehingga mereka benar-benar muak dengan situasi yang mereka hadapi hari ini sepeti kondisi sosial, ekonomi, dan seterusnya. Atau mereka butuh alternatif lain, untuk mengubah situasi hidup mereka, yang mana sayangnya tidak perlu ada jawaban atau penjelasan ilmiah atas hal tersebut.

 

“Ada alasan kenapa masyarakat kita tak sedikit yang terjebak pada penipuan dengan bentuk MLM atau penipuan cara cepat untuk menjadi kaya yang lain. Apa yang ditawarkan inisiator kerajaan imajinatif itu juga mirip pada pengikutnya yaitu kekuasaan dan kekayaan dengan cara cepat,” pungkasnya.

 

Editor: Ahmad Rozali