Opini

Joko Tingkir Menurut Ki Agus Sunyoto dan Silsilah Versi Aboebakar

Jum, 26 Agustus 2022 | 18:00 WIB

Joko Tingkir Menurut Ki Agus Sunyoto dan Silsilah Versi Aboebakar

Almarhum KH Agus Sunyoto. (Foto: NU Online)

Alkisah, Syekh Datuk Abdul Jalil yang dikenal dengan berbagai nama—Syekh Jabarantas alias Syekh Lemah Abang alias Syekh Siti Jenar—mampir ke telatah Pengging. Saat itu, Pengging merupakan sebuah kerajaan kecil yang wilayahnya sekarang berada di sekitar Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.


Sebelumnya, beredar kabar tidak mengenakkan tentang sang Syekh yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Jawa itu. Di saat sebagian besar persebaran Islam mendominasi pesisir utara Jawa, kehadiran Siti Jenar di wilayah pedalaman dianggap sebagai ancaman. Belum lagi ajarannya yang dinilai nyeleneh.


Raja Pengging, Sri Adhi Andayaningrat, memerintahkan dua putranya untuk mengadang Siti Jenar, yaitu Pangeran Kebo Kanigara, anak tertua, dan Pangeran Kebo Kenanga. Mereka didampingi beberapa pendeta. Tujuannya adalah menguji seberapa hebat Siti Jenar yang kondang itu.


“Pengujian” Sang Pangeran terhadap Sang Syekh bukan digelar dalam wujud adu fisik, melainkan adu kepintaran. Dengan taruhan, jika Kebo Kanigara menang, Siti Jenar sekeluarga akan menjadi budaknya. Sementara jika Siti Jenar menang, Kebo Kanigara melepaskan hak atas takhta dan menyerahkannya kepada Kebo Kenanga. 


Kisah tersebut diceritakan dalam novel Suluk Abdul Jalil (2003) yang ditulis mantan Ketua Lesbumi PBNU, almarhum KH Agus Sunyoto, tepatnya di buku ketujuh. 


Singkat cerita, pertarungan teka-teki dan kepintaran tersebut dimenangkan oleh Siti Jenar setelah tak satupun pertanyaannya mampu dijawab oleh Kebo Kanigara beserta para pendeta yang dibawanya. Sementara semua pertanyaan yang dilontarkan Kebo Kanigara dijawab dengan sempurna oleh Siti Jenar. 


Satu pertanyaan yang mengunci kemenangan adalah saat Kebo Kanigara melemparkan pertanyaan yang menurutnya paling sulit dan tak mampu dijawab dengan kata-kata: apakah arti dari ungkapan uninang, unineng, dan uninong


Tanpa disangka, Siti Jenar mendekati Kebo Kenanga dan menutup telinga putera Raja Pengging tersebut. Tak lama kemudian, Kebo Kenanga pucat pasi dan gemetaran. Ia berujar, “Aku mendengar suara lonceng yang berdentang-dentang.”


Suara lonceng yang didengar Kebo Kenanga dikenal dalam Islam sebagai konsep Jarasy. Ia dikisahkan sebagai perantara turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad yang dirasakan paling sakit dan paling sulit.


Demikianlah, menurut novel Ki Agus Sunyoto itu, awal mula kedekatan keluarga Pengging dengan ajaran Siti Jenar. Hal ini menimbulkan reputasi orang-orang Pengging sebagai pengikut Islam bercorak abangan. Reputasi yang kelak, secara sosiologis, menjadi faktor perselisihan dengan penguasa Demak yang dikenal kurang akur terhadap kaum abangan.


Kebo Kenanga akhirnya naik takhta menjadi Raja Pengging. Dalam naskah Babad Tanah Jawa dikisahkan, Sang Pangeran diambil menantu oleh Prabu Brawijaya V, dinikahkan dengan putrinya, Ratna Pembayun.


Dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang bayi. Kebetulan saat itu sang ayah, yang dikenal juga dengan Ki Ageng Pengging Sepuh, sedang nanggap wayang beber, pertunjukan wayang dengan medium lembaran-lembaran kain. Angin bertiup kencang kala itu dan lembaran-lembaran kain pun nggemleber hingga menimbulkan suara mbrebet-mbrebet. Akhirnya, dinamailah bayi tersebut dengan nama Mas Karebet. 


Mas Karebet kelak tampil menjadi seorang ksatria terkenal dengan nama Joko Tingkir. Ia mengabdi kepada raja Demak dan diangkat menjadi menantu. 


Namun, lagi-lagi, kedekatan keluarga Pengging dengan ajaran Siti Jenar menimbulkan banyak perlawanan. Joko Tingkir kemudian mendirikan Kesultanan Pajang dan berkuasa dengan nama Sultan Hadiwijaya. Kekuasaannya diteruskan oleh putranya, Pangeran Benawa, dan seterusnya dan seterusnya.


Hubungan dengan Trah Gus Dur menurut Versi H Aboebakar

Keterangan tentang silsilah cabang bawah Joko Tingkir dituliskan dalam buku Sejarah Hidup KH. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar yang dipublikasikan oleh Panitia Buku Peringatan wafatnya Menteri Agama RI ke-8 tersebut. Buku ini disusun oleh H. Aboebakar dan diterbitkan pada 1957. 


Buku itu memuat salah satu versi silsilah KH. Wahid Hasyim, ayah Presiden RI Ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang tersambung dengan Joko Tingkir. Disebutkan bahwa Joko Tingkir memiliki putra bernama Pangeran Benowo, yang kemudian berputra Pangeran Sambo, berputra Ahmad, berputra Abdul Jabbar, lalu berputra Sichah/Sihah. 


Dari Sichah, galur Andayaningrat terpecah. Dari putri bernama Fatimah, turun ke KH. Abdul Wahab Hasbullah, kemudian ke KH. Hasyim Asy’ari melalui putri bernama Layyinah. Nyai Layyinah ini diceritakan menikah dengan seorang ulama di Jombang bernama Kiai Usman. 


Kiai Usman memiliki beberapa putra dan putri yang tak berumur panjang. Namun, pada 1851, Kiai Usman dikaruniai seorang putri yang diberi nama Halimah. Kedatangan bayi perempuan ini membuat Kiai Usman bersuka cita hingga beliau memanggil Halimah kecil dengan sebutan Winih yang berarti ‘benih’. Dengan panggilan itu, sang putri diharapkan mampu melahirkan orang-orang hebat.


Halimah alias Ning Winih lalu menikah dengan Kiai Asy’ari yang kemudian melahirkan putra Muhammad Hasyim As’yari, pendiri Nahdlatul Ulama. Jika dihitung dari versi ini, KH. Hasyim Asy’ari adalah keturunan ke-8 dari Sultan Hadiwijaya alias Joko Tingkir, sementara Gus Dur adalah keturunan ke-10.


Penulis: Taufiqur Rahman, jurnalis

Editor: Ivan Aulia Ahsan