Opini

Memperkuat Ukhuwah di Tengah Fenomena Ekstremisme

Jum, 15 November 2019 | 08:04 WIB

Memperkuat Ukhuwah di Tengah Fenomena Ekstremisme

Memperkuat persaudaraan antar-anak bangsa memunculkan spirit nasionalisme dan cinta tanah air.

Oleh Fathoni Ahmad

Visi kebangsaan yang telah dibangun oleh ulama-ulama Indonesia tidak hanya berjasa merekatkan persaudaraan (ukhuwah) sesama umat Islam, tetapi juga memperkuat konstruk atau bangunan persaudaraan sesama anak bangsa (ukhuwah wathoniyah) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah/insaniyah). Prinsip tersebut melahirkan kesepakatan atau konsensus kebangsaan berwujud Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas.

Karakter religiusitas bangsa Indonesia sejak dulu tidak membuat warganya berlaku eksklusif atau tertutup terhadap kemajemukan, tetapi karakter multikultural tersebut sebagai modal besar memperkuat persaudaraan antar-bangsa. Hal itu berlangsung selama berabad-abad meskipun multikulturalisme mendapat tantangan yang tidak mudah ketika ada golongan-golongan tertentu yang terus mencoba merongrong Pancasila dan memecah belah keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara melalui aksi-aksi kekerasan atau ekstremisme.

Pola pikir intoleran terhadap suatu kelompok, menghembuskan sentimen suku dan agama untuk melegitimasi tindak ekstremisme tidak berlebihan jika dikatakan dapat memecah belah bangsa. Karena persatuan bangsa Indonesia terbangun dari berbagai unsur suku, ras, dan agama. Sehingga memperkuat persaudaraan sesama anak bangsa merupakan modal penting untuk membangun kecintaan terhadap tanah air (hubuul wathon).

Tidak heran ketika itu KH Hasyim Asy’ari, ulama pesantren, tokoh besar bangsa Indonesia mendeklarasikan hubbul wathoni minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) sebagai dasar melepaskan diri dari ketidakperikemanusiaan penjajah sekaligus mempertahankan kemerdekaan ketika itu. Ketika warga bangsa tidak mencintai tanah airnya, dampak yang akan muncul ialah masyarakat akan terus terjajah dan negara akan hancur.

Maka tak aneh ketika tidak sedikit bangsa yang sengsara dan negara hancur di kawasan Timur Tengah karena seluruh elemen tidak berusaha menjunjung tinggi kecintaannya terhadap tanah air. Baik di dalam kehidupan politik, sosial-kemasyarakatan, dan lain-lain. Ditambah kelompok-kelompok tertentu yang menghembuskan propaganda kebencian terhadap pemerintahan yang sah dengan dalih-dalih agama yang dipahami secara tekstual. Bahkan berakhir dengan tindak kejahatan terorisme.

Perilaku dan tindakan ekstrem atas nama agama kerap menjadi stigma bagi masyarakat dunia untuk menjustifikasi bahwa Islam adalah agama teroris. Brand ini bukan tanpa alasan karena yang seringkali melakukan teror mematikan dengan menggunakan bom, dan lain-lain tidak lain adalah seorang Muslim.

Tentu tindakan tersebut hanya dilakukan oknum, baik dalam bentuk kelompok, organisasi, maupun individu. Namun, sebagian orang Barat nampaknya memukul rata (generalisir) untuk menjustifikasi orang Islam sehingga mereka pun terkadang mengalami diskriminasi di negara-negara Barat atas perbuatan segelintir oknum yang nyata-nyata membuat wajah Islam tidak baik di mata dunia.

Pada prinsipnya, kelompok-kelompok ekstrem (tatharruf) kerap menggunakan ayat-ayat pedang (qital) untuk melegitimasi aksi kejinya atas nama jihad menegakkan agama Allah, perjuangan mendirikan negara Islam, dan sejumlah argumentasi utopis lainnya. Untuk fenomena ekstremisme yang belum hilang dan terakhir kasus bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara pada Rabu, 13 November 2019 pagi, memperkuat dan memantapkan ukhuwah menjadi langkah penting untuk terus diperkuat.

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an (2000) menjelaskan bahwa pertama kali Al-Quran menggarisbawahi perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS Al-Ma-idah [5]: 48).

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya.

“Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam).” (QS Al-Kahf [18]: 6).

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-orang yang beriman?” (QS Yunus [10]: 99).

Persaudaraan sesama umat Islam tidak kalah penting untuk diperkuat. Betapa ukhuwah Islamiyah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupan sesama manusia. Untuk memantapkan ukhuwah Islamiyah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat Islam, sehingga seluruh umat manusia merasakan nikmatnya.
 

Penulis adalah Redaktur NU Online