Opini

Soal Ekstremisme dan Salah Paham Memaknai Jihad

Kam, 14 November 2019 | 11:00 WIB

Soal Ekstremisme dan Salah Paham Memaknai Jihad

Bom bunuh diri di Markas Polrestabes Medan, Sumatera Utara. (Foto: Antara)

Oleh Fathoni Ahmad

Kejahatan bom bunuh diri yang terjadi di Markas Polres Kota Besar (Mapolrestabes) Medan, Sumatera Utara pada Rabu, 13 November 2019 sekitar pukul 08.45 WIB kembali menghentak pandangan mata bangsa Indonesia. Tragedi tersebut menambah daftar panjang kasus terorisme di Indonesia. Kriminal yang dilakukan oleh kelompok ekstremis ini tidak terlepas dari pola pemahaman keagamaan dan ideologi ekstrem dalam memandang nash (Al-Qur’an dan Hadits) secara tekstual sehingga mereka mau meledakkan dirinya sendiri dan melukai serta membunuh orang lain demi jaminan surga dan bidadari menurut doktrin yang berkembang di kalangan jihadis-ekstrem tersebut.

Disebut jihadis-ekstrem karena dengan doktrin jihadnya yang keliru, mereka rela menjadi ‘pengantin’ bom bunuh secara ekstrem sehingga biasa disebut para ekstremis. Ideologi mereka hanya satu: kekerasan. Karena tidak ada agama di dalam kekerasan sehingga agama yang mereka pahami hanya dijadikan alat legitimasi guna mengembangkan dan menarik pengikut untuk melakukan kejahatan serupa dengan dalih ketidakadilan, dan lain-lain.

M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Quran (1996) menyatakan bahwa kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti letih/sukar. Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Namun demikian Quraish Shihab menegaskan bahwa jihad yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan tidak dibenarkan. Fitrah kemanusiaan di antaranya menjaga hak hidup seluruh manusia sehingga melakukan kekerasan, apalagi mengebom dirinya sendiri dengan melukai orang lain atas nama agama jelas jihad yang tidak bisa dibenarkan dalam ajaran agama mana pun.

Kesalahpahaman tentang makna jihad itu diperparah juga melalui sekian banyak kitab, bahkan melalui terjemahan beberapa ayat Al-Qur’an. Misalnya kata qitâl tidak jarang mereka pahami dalam arti pembunuhan, padahal kata itu bermakna peperangan/kutukan, sikap tegas yang tidak selalu mengakibatkan pembunuhan. Kata anfusikum diartikan sebagai jiwa/nyawa, padahal ia berarti seluruh totalitas manusia dan kemanusiaan, yakni nyawa, atau fisik, ilmu, tenaga, pikiran, bahkan waktu karena semua hal itu tidak dapat dipisahkan dari totalitas manusia.

Menurut Quraish Shihab dalam Pemaknaan Makna Jihad (2015) menjelaskan, para ekstremis dan radikalis memahami iman sebagai pembenaran hati atas apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. disertai dengan pengamalannya sehingga menurut mereka seseorang tidaklah dinilai beriman apabila tidak melaksanakan ajaran Islam secara baik dan benar. Mereka menilai bahwa kemusyrikan bukan sekadar keyakinan tentang berbilangnya Tuhan, tetapi juga yang mengakui keesaan-Nya tanpa mengamalkan syariat adalah seorang yang boleh dibunuh.

Mereka mengumandangkan bahwa La hukma illâ lillâh. Semua pemerintahan yang tidak menetapkan hukum berdasar ketentuan Allah adalah Thagût (melampaui batas ajaran Islam) dan dinilai kafir, lagi harus diperangi. Indonesia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Pemerintahannya pun mereka nilai Thagût/Tirani dan kafir.

Mereka merujuk pada firman Allah: “Siapa yang tidak menetapkan sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir" (QS. al-Mâ’idah [5]: 44). Kekeliruan mereka menurut para pakar di bidang Al-Qur’an dan Hadits adalah memahami kata kafir dalam arti sempit, padahal Al-Qur’an menggunakan kata itu untuk berbagai makna, seperti “tidak bersyukur” (QS. Ibrâhîm [14]: 7) atau “berpecah belah” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 106).

Makna kekufuran memang beraneka ragam dan bertingkat-tingkat sehingga pada akhirnya kekufuran dapat disimpulkan dalam arti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan tujuan. Puncaknya adalah mengingkari wujud atau Keesaan Allah, dan inilah yang menjadikan seseorang dinilai keluar dari agama, itu pun tidak serta merta harus dibunuh.

Melihat fenomena pemahaman makna jihad yang salah kaprah, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan perlunya memahami jihad secara kontekstual, bukan tekstual. Pada hakikatnya perintah untuk berperang sebagai salah satu makna jihad di dalam ayat Al-Qur’an, tidaklah dibutuhkan oleh Allah dan tidak juga oleh Rasul-Nya Muhammad. Karena Allah telah membela dan mendukung umat Islam ketika ia sendiri atau pun berdua.

Namun, jika manusia mengetahui betapa banyak sisi kebajikan yang disiapkan oleh Allah bagi mereka yang berjihad dan taat kepada Allah, tentu umat Islam akan melaksanakan perintah tersebut. Hal ini jika ditinjau dari berbagai aspek duniawi dan ukhrawi sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah atau indefinitif kata khoir atau kebajikan.

Makna sebenar-benarnya jihad (haqqa jihadih) pada penjelasan di atas adalah bukan sekadar jihad. Seperti halnya ia diperintahkan untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa (haqqa tuqatih). Meski demikian, tidak berarti setiap Muslim wajib dengan pengertian fardhu‘ain untuk berperang setiap saat.

Pengertian haqqa jihadih sangat luas, antara lain menurut pakar Tafsir Muqatil, beramal dan beribadah dengan sungguh-sungguh semata-mata karena Allah, dan menurut Abdullah Ibn al-Mubarak, berjihad melawan hawa nafsu. Jihad berarti sebuah upaya sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seorang Muslim dalam melawan kejahatan dan kebatilan. Mulai dari yang terdapat dalam jiwa akibat bisikan dan godaan setan, sampai pada upaya memberantas kejahatan dan kemungkaran dalam masyarakat.

Upaya tersebut dapat dilakukan, antara lain, pertama, melalui kerja hati berupa kebulatan tekad dan niat untuk berdakwah. Kedua, kerja lisan berupa argumentasi dan penjelasan tentang hakikat kebenaran ajaran Islam. Ketiga, kerja akal berupa perencanaan yang matang, dan kerja badan yang berupa perang atau lainnya.

Arena jihad sendiri dalam Al-Qur’an amat luas. Pertama, bil maal dengan harta kekayaan yakni zakat, infak, sedekah, wakaf, maupun berbagai pengeluaran di jalan Allah. Jihad harta termasuk dengan memberikan nafkah bagi keluarga, menolong saat bencana, jihad menuntut ilmu, dan lain-lain.

Kedua, bi anfasikum yakni dengan kekuatan pada diri seperti jihad lisan (memberikan nasihat atau petunjuk), mengajar, membuat tulisan bermanfaat, dan memberikan contoh yang baik.

Paling sulit berjihad dengan memberikan contoh baik kepada lingkungan karena kebesaran Islam kerap ditutupi kaum Muslim sendiri. Ada perkataan terkenal dari Muhammad Abduh yang menyatakan, "al-Islaam mahjuubun bil muslimiin" (kebesaran Islam tertutup perilaku kaum Muslimin). Perilaku kaum Muslimin yang dimaksud di sini ialah tindakan kekerasan atau tindakan tak terpuji yang kerap memunculkan stigma negatif bagi agama Islam itu sendiri. Wallahu a’lam bisshawab.
 

Penulis adalah Redaktur NU Online