Fragmen

Catatan Sejarah Pergulatan Negeri Maghribi Maroko dan Andalusia Spanyol

Rab, 7 Desember 2022 | 18:00 WIB

Catatan Sejarah Pergulatan Negeri Maghribi Maroko dan Andalusia Spanyol

Peta Maroko dan Spanyol. (Foto: ilustrasi)

Dahulu, Negeri Maghribi mencakup wilayah Afrika Utara yang kini dihuni negara-negara seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya. Penjelajahan dan perluasan dakwah Islam yang dilakukan pada masa Dinasti Umayyah sudah mencapai Eropa, di antaranya menyasar Andalusia dan Kepulauan Sisilia.


Ekspedisi ke Eropa pada masa Umayyah dikomandoi oleh Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nushair pada tahun 710 M. Awalnya, Musa mengutus Tharif, orang kepercayaannya untuk menuju kepulauan paling selatan benua Eropa. Semenanjung yang menjadi penjelajahan Tharif saat ini disebut Tarifa. Sejak saat itulah kawasan itu disebut Jazirah Tharif.


Keberhasilan Tharif membuat Musa bin Nushair menginginkan penjelajahan dikembangkan sehingga pada tahun 711 M, dia mengutus seorang budak Berber yang sudah dibebaskan, Thariq bin Ziyad. Thariq mendarat di dekat gunung besar yang kelak mengabadikan namanya, Jabal Thariq (Gibraltar). Saat ini, Maroko dan Spanyol dipisahkan oleh selat Gibraltar.


Singkat riwayat, Islam berkembang di daratan Andalusia dan memusatkan pengelolaannya di Kordova. Di kota tersebut juga dibangun masjid dan perpustakaan yang kelak menjadi Universitas Kordova yang masyhur hingga sekarang. Tahta pengelolaan pemerintahan Islam di Andalusia pada masa Umayyah runtuh akibat keluarga amir saling menjatuhkan satu sama lain. Secara umum, riwayat tersebut merupakan kebangkitan Dinasti Umayyah II.


Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2014) mencatat bahwa runtuhnya Umayyah di Andalusia memunculkan negara-negara kecil seperti Dinasti Murabithun dan Muwahidun. Kekuasaan Murabithun tidak hanya berkembang di Andalusia, tetapi juga mencakup wilayah Maghribi hingga ke Senegal.


Dari kekuasaan yang luas tersebut, Yusuf Ibnu Tasyfin yang merupakan salah satu pendiri Dinasti Murabithun sekaligus menjadi penguasa atau Raja Maghribi (Maroko, Aljazair, Spanyol). Yusuf Ibnu Tasyfin memerintah pada 1061-1106 M. Baik Murabithun maupun Muwahidun mengembangkan pusat-pusat kemajuan negara di beberapa kota seperti Granada, Sevilla, dan Murcia, selain Kordova pada masa Umayyah.


Runtuhnya pemerintahan kaum Muslimin di Andalusia di antaranya perpecahan. Meskipun dipimpin oleh para amir muslimin, konflik internal tidak bisa dielakkan. Salah satu perpecahan kepemimpinan Muslim di Andalusia ialah tidak adanya ideologi pemersatu sehingga terpecah menjadi 33 negara kecil. Dengan kondisi seperti itu, bangsa Eropa lebih mudah merebut dan menguasai kawasan Andalusia.


Bahkan, beberapa kawasan di Maroko seperti semenanjung Ceuta dan Melilla saat ini dikuasai oleh Kerajaan Spanyol. Dahulu, Thariq bin Ziyad mengerahkan sekitar 7.000 pasukan yang sebagian besar berasal dari Suku Berber untuk mengkspedisi Spanyol. Kapal-kapal Thariq dan pasukannya menurut beberapa riwayat disediakan oleh Julian, Pangeran Ceuta. 


Sampai di telinga Imam Al-Ghazali

Kondisi kaum Muslimin di Andalusia terdengar oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'I (1058-1111 M). Sangat risau mendengar kekalahan dan penderitaan kaum Muslimin di Andalusia, Filosof yang dikenal dengan Imam Al-Ghazali tersebut menulis surat kepada Raja Maghribi, Yusuf Ibnu Tasyfin yang isinya cukup menggemparkan, sebagai berikut:


“Pilihlah salah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamatkan saudaramu-saudaramu di Andalusia atau engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.” 


Isi surat dari penulis kitab Ihya’ Ulumiddin tersebut ditulis oleh B. Wiwoho dalam Bertasawuf di Zaman Edan: Hidup Bersih, Sederhana, dan Mengabdi (2006). Sikap tegas Al-Ghazali tentu tidak lepas dari konteks perjuangan Islam di Andalusia saat itu. Kelemahan dalam kepemimpinan, konflik internal, dan kekuatan musuh yang semakin banyak adalah di antara sebab jatuhnya masa-masa kejayaan Islam di Andalusia.


Al-Ghazali sendiri merupakan salah seorang ulama masyhur yang hidup ketika Islam di Andalusia mencapai kejayaan emasnya. Tercatat ilmuwan-ilmuwan Muslim yang lahir dari kemajuan peradaban Islam di Spanyol, Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Kejayaan Islam di Andalusia tidak lepas dari perkembangan peradaban ilmu pengetahuan.


Sejumlah displin ilmu dan berbagai teori yang ditemukan oleh para ilmuwan Muslim merupakan pintu masuk bagi perkembangan Islam di Barat, khususnya Eropa. Namun, kepemimpinan yang lemah kerap menjadi faktor runtuhnya masa Islam. Meski demikian, ilmu pengetahuan yang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan Muslim tetap masyhur meskipun saat ini masyarakat justru lebih banyak mengenal teori-teori pembaruan yang lahir dari para ilmuwan Barat.


Ketegasan Al-Ghazali dalam merespons kepemimpinan Islam di Andalusia merupakan kegelisahan seorang ulama kepada umara-nya. Kritisnya Imam Al-Ghazali tidak lebih dari perhatian dan kasih sayang kepada seorang pemimpin untuk tujuan yang lebih luas, kesejahteraan rakyatnya. Seorang pemimpin wajib melindungi rakyatnya jika mereka dalam kondisi menderita sebab perang. Seperti yang dimaksud Al-Ghazali dalam isi suratnya di atas.


Mengenai rakyat, penguasa, dan ulama, Al-Ghazali dalam kitab At-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk atau Nasihat Bagi Penguasa menjelaskan bahwa watak dan perangai rakyat merupakan buah atau hasil dari watak dan perangai pemimpinnya.


Sebab menurut Al-Ghazali, keburukan yang dilakukan orang awam hanyalah meniru dan mengikuti perbuatan para pemimpinnya. Pemimpin di sini tidak hanya ditujukan kepada satu orang saja dalam pemerintahan, tetapi juga para pemangku kebijakan di segala sektor.


Tentang Yusuf Ibnu Tasyfin

Yusuf Ibn Tasyfin dikenal sebagai pendiri serta penguasa pertama Dinasti Murabitun yang berada di Maroko, Afrika Utara. Ketika masih memegang tampuk kepemimpinan, Ibn Tasyfin membawa Islam kembali berjaya di Andalusia setelah sebelumnya berada dalam ancaman kekuatan Eropa.


Kekuasaan Ibn Tasyfin berlangsung dari tahun 1061 hingga 1107. Dia bergelar Amir al-Muslimin dan Nasiruddin. Dalam upaya melegitimasi serta memperkuat kekuasaannya, dia meminta pengakuan dan restu dari khalifah Abu Abbas di Baghdad, Irak.


Baru setelah itu, dia melakukan upaya konsolidasi internal. Antara lain dengan membenahi dan menata struktur administrasi pemerintahan, mempersatukan serta mengoordinasikan kekuatan berbagai suku yang ada, dan juga membentuk satu formasi militer yang tangguh.


Namun persoalan besar menghadang. Saat berjayanya Dinasti Murabitun di bawah kepemimpinan Ibn Tasyfin, nun di seberang sana, kerajaan Islam Andalusia tengah berada di ambang kehancuran. Hal ini dipicu oleh perbutan kekuasaan dan pertentangan antar-muluk at-tawa'if (raja, penguasa kelompok suku). Selain itu, ancaman lebih besar dari kekuatan bangsa Eropa yang menunggu momentum untuk menyerang.


Pada tahun 1107, Ibn Tasyfin meninggal dunia dan langsung digantikan oleh putranya yang bernama Ali bin Yusuf (1107-1143). Sepeninggalnya berangsur-angsur popularitas dan kekuatan Dinasti Murabitun menurun. Dan pada masa pemerintahan Ishaq bin Ali (1146-1147), kekuatan dinasti ini pun hancur dan digantikan Dinasti Muwahidun.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Syakir NF