Daya maksimal yang dimiliki oleh Kiai Wahab memberikan pesan mendalam kepada para santri dan sahabat-sahabatnya agar kemampuan pribadi harus dimaksimalkan ketimbang menuruti tuntutan orang banyak yang kerap kali di luar naluri. Dengan prinsip ini, Kiai Wahab senantiasa mampu menyelesaikan persoalan serumit apa pun.
Kala itu, menjelang Muktamar ke-4 NU di Semarang pada tahun 1929, ini untuk pertama kalinya Muktamar diselenggarakan di luar kota kelahiran NU Surabaya. Karena itu maklum kalau perizinan sulit diperoleh dari pemerintah kolonial.
Menurut catatan Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017), menghadapi persoalan ini Kiai Wahab Chasbullah akhirnya pergi ke Batavia untuk menemui Adviseur voor Inlandsche Zaken (Menteri Urusan Pribumi) yang dijabat oleh orientalis terkemuka Van der Plas. Ia tinggal di Jalan Cikini Nomor 12 Menteng di rumahnaya itulah ia menerima Kiai Wahab.
Komunikasi berlangsung dalam bahasa Arab, maklum pengganti Snouck Horgronye ini juga pernah menduduki posisi Snouck sebagai wakil Belanda di Jeddah. Kiai Wahab meminta izin dilaksanakannya Muktamar di Semarang dan diumumkannya hasil Muktamar di Masjid Jami' kota itu.
Kiai Wahab beralasan bahwa yang akan disampaikan itu bukan persoalan politik yang mengganggu ketenteraman umum, seperti yang dikhawatirkan pemerintah, tetapi murni masalah diniyah ijtimaiyah.
Selain itu ada beberapa persoalan yang dibawa antara lain soal pembatasan gerakan NU di beberapa tempat, seperti di Mojokerto, dan Pekalongan yang dibatasi hanya 50 orang, sementara anggota NU di kota-kota tersebut lebih dari 2500 orang.
Selain itu, Kiai Wahab juga usul agar dalam menunjuk hoof-penghulu benar-benar memilih orang yang allamah yakni yang paham betul dalam ilmu keislaman.
Berkat kelihaian Kiai Wahab dalam melobi akhirnya pengumuman hasil Muktamar diperbolehkan untuk disampaikan di Masjid Jami’ Semarang, demikian juga pengajian diperbolehkan dilaksanakan di beberapa masjid kota besar di Jawa.
Pola kemandirian dalam berpikir, berjuang, dan bergerak juga ditunjukkan Kiai Wahab saat melontarkan sudut pandang lain di antara ulama-ulama di Masyumi. Moderasi berpolitik ditunjukan Kiai Wahab saat para ulama menolak hasil Persetujuan Renville. Perjanjian Renville ditandatangani pada 17 Januari 1948 antara Indonesia dan pihak Belanda di atas Kapal Renville Amerika Serikat. Salah satu isinya ialah, pembentukan dengan segera Republik Indonesia Serikat atau RIS.
Poin-poin dalam Perjanjian Renville dinilai lebih buruk ketimbang Perjanjian Linggarjati yang dilakukan sebelumnya, 11 November 1946 di Jawa Barat. Hasil perundingan Renville ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang tergabung dalam “Benteng Republik Indonesia”, terutama oleh golongan Islam. (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, 2013)
Singkatnya, hasil perundingan Renville ini menjadi sebab jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. Kabinet ini hanya berumur 6 bulan dan digantikan oleh Kabinet Hatta (Presidentil) yang dilantik oleh Presiden Soekarno pada 29 Januari 1948.
Pada Kabinet Hatta, Bung Hatta selaku pembentuk kabinet ingin merangkul berbagai golongan, termasuk golongan Islam yang getol menolak Perjanjian Renville. Kabinet Hatta yang salah satu program kabinetnya ialah melaksanakan hasil Perundingan Renville, menyebabkan umat Islam yang tergabung dalam Partai Masyumi menolak untuk bergabung. Namun demikian, Masyumi sebagai partai besar tetap mengadakan rapat untuk menentukan sikap persetujuan duduk tidaknya DPP Masyumi dalam Kabinet yang sedang disusun Bung Hatta.
Malam pertama, rapat dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan. Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.
Pemikiran Kiai Wahab tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya, meskipun secara organisasi menolak Perundingan Renville, tetapi sebagai warga negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas kenegaraan namun menolaknya.
Contoh lain, ketika Kiai Wahab, Kiai Saifuddin Zuhri, dan Kiai Idham Chalid diangkat sebagai anggoata Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) pada 1959. Lagi-lagi, peran kiai-kiai NU di DPAS sangat penting karena saat itu PKI menghendaki sosialisme Indonesia sebagai sosialisme Komunis ala Moskow maupun Peking. Selama berbulan-bulan dewan pertimbangan ini bersidang membicarakan tentang Sosialisme Indonesia, Landreform, dan Pancasila.
Para kiai NU tersebut selalu mengimbangi konsep PKI dan secara tidak langsung menghalau pikiran-pikiran PKI yang berupaya mengancam keselamatan Pancasila. Kalangan pesantren dan para kiai NU senantiasa mendekat kepada Presiden Soekarno bukan bermaksud ‘nggandul’ kepada penguasa, melainkan agar bisa memberikan pertimbangan-pertimbangan strategis supaya keputusan-keputusan Soekarno tidak terpengaruh oleh PKI.
Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menyebutkan, hubungan baik antara Presiden Soekarno dan Kiai Wahab Chasbullah memudahkan diterimanya saran-saran NU yang disampaikan oleh Kiai Wahab lewat DPAS. Misalnya, ketika DPAS sedang membicarakan perlu tidaknya berunding soal Irian Barat (sekarang Papua) dengan pihak Belanda.
Begitu juga saat Kiai Wahab menerima konsep Nasakom Soekarno pada 1960. Ide Nasakom Soekarno terlihat jelas pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960 yang kemudian terkenal dengan rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek). Menerima konsep Nasakom tidak mudah bagi partai Islam lain seperti Masyumi sehingga Kiai Wahab dituduh macam-macam, di antaranya dituduh tidak konsisten, oportunis, bahkan dituduh ‘Kiai Nasakom’ pada masaera Demokrasi Terpimpin Soekarno.
Dalam pandangan Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (2018), bagi pengkaji fiqih, strategi politik Kiai Wahab tidak salah karena berpijak pada prinsip fiqih yang fleksibel dan elastis. Fleksibel tidak dapat disamakan dengan oportunis. Fleksibel mampu masuk di berbagai ruang dengan tetap mempertahankan ideologi, sedangkan oportunis berpihak pada siapa pun asal diberi keuntungan materi. Sejak dahulu kala, bahkan saat NU menjadi partai, para kiai konsisten menjalankan politik kebangsaan dan politik kerakyatan dengan pijakan norma agama dan etika, bukan politik kekuasaan yang oportunis.
Ketika Bung Karno menyatukan kaum agama, nasionalis, dan komunis dalam bingkai Nasakom, Kiai Wahab mendukung konsep tersebut dengan cara bergabung dalam sistem pemerintahan. Komitmen Kiai Wahab dan ulama-ulama pesantren tidak berubah terhadap gerak-gerik PKI dengan komunismenya, yaitu tetap melawan dan menentang karena ideologi politik PKI bertentangan dengan prinsip Pancasila. Sebab itu, Kiai Wahab memilih bergabung dalam Nasakom bertujuan untuk mengawal kepemimpinan Bung Karno supaya perjalanan pemerintahan tetap bisa dikendalikan oleh NU sebagai perwakilan umat Islam dan tidak dimonopoli oleh PNI atau pun PKI.
Penulis: Fathoni Ahmad
Terpopuler
1
Kronologi Penembakan terhadap Guru Madin di Jepara Versi Korban
2
Silampari: Gerbang Harapan dan Gotong Royong di Musi Rawas
3
Sejarah Baru Pagar Nusa di Musi Rawas: Gus Nabil Inisiasi Padepokan, Ketua PCNU Hibahkan Tanah
4
Hukum Mengonsumsi Makanan Tanpa Label Halal
5
NU Peduli Salurkan Bantuan Sembako kepada Pengungsi Erupsi Lewotobi
6
Kekompakan Nahdliyin Inggris Harus Terus Dijaga
Terkini
Lihat Semua