Fragmen

132 Tahun KH Abdul Wahab Chasbullah (3): Perawakan dan Watak

Sab, 4 April 2020 | 05:00 WIB

132 Tahun KH Abdul Wahab Chasbullah (3): Perawakan dan Watak

KH Abdul Wahab Chasbullah

KH Saifuddin Zuhri salah seorang dari sedikit pengurus NUyang mewariskan karya tulis. Dari tangannyalah warga NU hari ini bisa mengetahui gambaran NU secara organisasi berikut pemikiran dan sisi manusiawi para tokonya. Dari dia pula misalnya warga NU hari bisa mengenal secara rinci KH Abdul Wahab Chasbullah, pemimpin tertinggi kedua setelah Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. 
 
 
Baca: 132 Tahun KH Abdul Wahab Chasbullah (2): Formasi Tua-Muda

Kalau dugaan tulisan ini tak meleset, Kiai Saifuddin, setidaknya bergaul secara langsung dengan Kiai Wahab sejak muktamar ke-15 di Surabaya pada tahun 1941. Kemudian lebih intens lagi setelah Indonesia merdeka dan ketika NU berubah menjadi partia politik pada 1952, setelah muktamar Palembang.  

Pengamatan melalui bergaul secara langsung dengan Kiai Wahab, baik dalam acara formal maupun informal, kemudian Kiai Saifuddin menyimpulkan sejarah hidup Kiai Wahab tak bisa dipisahkan dengan sejarah NU. Begitupun sebaliknya. Karena itulah Kiai Wahab sebagai NU dalam praktik. 

“Buatnya, NU adalah segala-galanya. Di sini tempatnya mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sepuas jiwa dan raganya. Di sana menemukan cara sebaik-baiknya menghidupkan syariat agama di masyarakat, dan di sana pula disalurkan cita-cita umat dengan segala lapisannya; ulamanya, pedagangnya, taninya, buruhnya, pemudanya, wanitanya, walhasil dari sejak kaum pemimpim sampai awamnya,” tulisnya dalam buku Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah, Bapak dan Pendiri NU. 

Kiai Saifuddin kemudian mengutip pendapat Kiai Idham Chalid yang populer hingga hari ini, yaitu terkait NU dan pesantren. Dua hal yang tak pernah terpisahkan.  

“Sebagai seorang pemimpin pesantren, Kiai Wahab ingin menjadikan Nahdlatul Ulama sebagai sebagai pesantren dalam format besar dalam arti yang seluas-luasnya. Tempat beribadah, menuntut ilmu, bergotong-royong, dan mengabdikan dirinya kepada masyarakat dengan menyumbangkan karya-karya bermanfaat,”  katanya masih di dalam buku itu. 

Namun, sayang dalam kalimat panjang itu tak dijelaskan sampai di mana batas pendapat Kiai Idham dan pendapat Kiai Saifuddin sendiri. Lanjutan kalimat tersebut adalah sebagai berikut: 

“Tidaklah berlebihan jikalau dikatakan bahwa tokoh Kiai Wahab merupakan Nahdlatul Ulama dalam praktik. Suatu integral antara takwa, ilmu, akhlak, dedikasi dan berkarya besar maupun kecil. Hampir tak ada batas pemisah antara cita-cita agama dan politik dalam hidup sehari-harinya sebagai sebagai yang dikatakan olehnya, agama Islam dan politik laksana gula dan rasa manisnya. Tentu saja dalam artian politik yang bersih dan jujur yang mendatangkan kesejahteraan lahir maupun batin,”   

Tapi dalam tulisan akan dibahas bagaimana sosok Kiai Wahab baik secara fisik maupun perangainya berdasarkan gambaran Kiai Saifuddin Zuhri di dalam buku Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah, Bapak dan Pendiri NU. 

"Jika disebut nama Kiai Wahab, orang yang pernah bergaul dengannya akan mudah teringat image seorang yang bertubuh kecil tetapi bersikap gagah, memiliki ketangkasan seorang genial yang hidup, ramah-tamah tetapi berwibawa. Kulitnya yang hitam tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih sayang kepada siapa pun. Tidak memiliki sifat pemarah dan pendendam karena -tokoh besar ini lebih banyak menampakkan hidupnya yang senang humor di muka siapa pun. Senang dan mudah sekali bergaul karena dalam pandangannya semua orang adalah sama, saling memerlukan.” 

“Ilmunya sangat luas tidak terbatas cuma dalam bidang agama, memiliki kekayaan pengalaman di banyak bidang. Orang yang dekat dengannya tak pernah merasa jemu mendengar uraian kata-katanya serba baru dan mengandung nilai kebenaran yang mempesonakan. Kiai Wahab bukan termasuk golongan "manusia klise”, karena tindak-tanduk serta tutur-katanya orisinil keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tak pernah merasa canggung berbicara di muka ribuan manusia sekalipun dengan mendadak, tetapi juga tak pernah merasa kecewa bila yang mengerumuni cuma sedikit orang.” 

“Kecerdasan otaknya diperlengkap dengan rhetorica (ilmu menguraikan masalah) menyebabkan kesanggupannya yang menarik apabila berbicara. Seolah-olah tanpa disiapkan lebih dulu, begitu enak Kiai Wahab berbicara dari masalah pencak dan kuntao sampai masalah bomm atom, dari masalah onderdil mobil hingga aparatur negara, dari masalah kasidah hingga pewayangan (wayang kulit), hingga masalah land reform sampai sosialisme.” 

Masih menurut Kiai Saifuddin, bagi pengikutnya, Kiai Wahab merupakan ilham perjuangan Islam dan umatnya. Sebaliknya bagi musuh-musuhnya merupakan sumber inspirasi untuk mencaci maki dan memukulnya. Bisa jadi karena sikap dan pemikirannya membawa NU pada situasi yang kontroversial. 

Dalam hal ini relevan apa yang dikatakan Greg Fealy, tidak banyak ulama yang lebih kontroversial dalam sejarah Indonesia modern daripada Kiai Wahab Chasbullah.

“Selama setengah abad terakhir –dalam berbagai peristiwa yang berkaitan dengan Islam- ia  hadir dengan sepak terjangnya yang menimbulkan emosi kuat yang bergeser dari pemujaan sampai penghujatan. Bagi para pengikutnya ia adalah ulama yang penuh inspirasi dan dinamis, yang tampil dengan kepemimpinan yang tegas bagi kalangan muslim tradisional pada saat-saat krisis. Para pengikutnya yang setia menganggapnya wali, ulam besar dan bapak spiritual,” tulisnya dalam Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU dan Negara, khusus bab Wahab Chasbullah, Tradisionalisme, dan Perkembangan Politik NU

Namun sebagaimana yang dikatakan Kiai Saifuddin, tak sedikit kalangan yang membenci Kiai Wahab. Greg meskipun tak menunjuk kalangan tersebut, menulis demikian, ia (Kiai Wahab) (dianggapa) contoh buruk ulama tradisional, kolot, otoriter, naif, mementingkan diri sendiri, dan korup. 

Menurut Kiai Saifuddin, pada buuku Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah, Bapak dan Pendiri NU, Kiai Wahab sendiri menyadari ada kalangan yang tidak menyukainya dan itu berasal dari kalangan luar Nahdlatul Ulama. 

“Tetapi tak apa. Bagi tiap-tiap pejuang, Cuma bersandar pada firman Allah,” Kiai Saifuddin menukil sebuah ayat yang artinya, “...Berjuang di jalan Allah, dan tidak takut celaan-celaan orang-orang yang kerjanya hanya mencela.”

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad