Fragmen

Dua Peluru Ayat Al-Qur’an yang Ditembakkan Kiai Uti Cirebon kepada Belanda

Rab, 11 November 2020 | 05:35 WIB

Dua Peluru Ayat Al-Qur’an yang Ditembakkan Kiai Uti Cirebon kepada Belanda

KH Abdul Mufti Umar (Kiai Uti). (Foto: dok. istimewa)

Bukan saja orang Indonesia yang sakti, tentara Belanda juga punya kesaktian atau entah mengenakan baju antipeluru. Yang pasti, saat ditembaki ia bergeming. Seolah tidak ada peluru yang mengarah padanya.


Melihat peristiwa demikian, KH Abdul Mufti Umar (95 tahun) yang saat itu masih berusia muda tidak tinggal diam. Sosok menantu KH Yusuf Abdul Mu’thi Buntet Pesantren itu tegas mengatakan kepada rekannya, bahwa tentara Belanda itu bukan lawan sebanding sehingga ia harus mengambil alihnya.


“Ini bukan musuh kamu, musuh saya,” kata KH Abdul Mufti Umar (Kiai Uti) dalam dokumen video Media Buntet Pesantren yang diambil pada Juli 2017 lalu itu.


Bukan saja tentara yang antipeluru, di belakangnya juga ada tank baja. Secara lahiriah, jika ia tank baja yang berjarak kurang dari 30 meter darinya bergerak menuju dirinya dan dilindas, selesai sudah perkaranya. Tetapi, ia meyakini Allah swt. menghalang-halanginya.


“Kalau dilindas tank baja itu menurut lahirnya ya udah kelar tapi ya Gusti Allah yang menghalang-halangi. Itu bukan musuh kamu, biar saya (yang mengatasi),” kata Kiai Uti, sapaan akrabnya.


Ia meyakini sepenuh hati, bahwa Allah swt. akan menolongnya. Tembakan yang ia lepaskan pasti mengarah tepat ke tubuh si penjajah dan meregang nyawa. Sebab sejatinya, bukan ia yang menembak, tetapi Allah swt.


Seberapa besar pun gunung, katanya, sedalam dan seluas apapun lautan, jika Allah yang melemparnya niscaya hancur.


Sebelum tembakan itu dilepaskan, ia membaca satu Al-Qur’an surat Al-Anfal ayat 17, wama ramaita idz romaita walakinna llaha rama. Musuh pun seketika tergeletak, mati.


Ilmu Siluman


Dalam kesempatan tersebut, Kiai Uti juga mengaku mempunyai ilmu siluman. Pikiran saya mengawang ke hal-hal negatif. Tentu saja mengingat diksi siluman itu negatif. Tetapi kata siluman ternyata metafora untuk menyebut ilmu menghilang. Ya, dia memiliki kemampuan menghilang begitu saja, menurut pengakuannya.


Suatu ketika, ia tiba-tiba saja dikepung pihak Belanda. Di antara mereka, ada yang berseru memintanya agar tidak berlari. Tapi ia dengan santai menceritakan memang tidak perlu berlari. Keluar juga tidak bakal mereka ketahui. “Ya gak perlu lari lagi. Keluar juga gak bakal tahu. Ayat Qurannya itu ada,” katanya.


Lalu, ia membacakan Al-Qur’an surat Al-An’am (6) ayat 103, “Laa tudrikul absharu wahuwa yudrikul abshar, wahuwa llathiful khobir,” ucapnya, lalu meniupkan nafasnya ke arah Belanda. Saat itulah, Belanda tidak lagi melihatnya sehingga ia bisa melenggang mulus dengan santainya.


“Seberapa rapatnya juga tetap saja bisa keluar. Beberapa kali saya begitu,” ujarnya. 


Ia menyebutkan peristiwa demikian yang dialaminya, seperti (1) di Desa Sumbakeling, Kecamatan Pancalang, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, (2) di Desa Kalisapu, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dan (3) di Desa Lemah Putih, Kecamatan Lemah Sugih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.


Wangi Syahid


Kiai Uti berjuang bersama dengan putra KH Abbas Abdul Jamil, yakni KH Abdullah Abbas. Dalam beberapa pertempuran, ia mengaku membersamai kiai yang pernah diamanahi sebagai Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat itu.


Misalnya saja, saat pertempuran di Desa Sukamulya (kemungkinan berada di Kabupaten Majalengka). Seorang warga Buntet Pesantren bernama Muhit dikenal dengan baunya yang sangat tidak sedap meninggal tertembak Belanda. Tapi siapa sangka, darahnya begitu wangi semerbak.


Saat itu, kata Kiai Uti, KH Abdullah Abbas menanyakan kepadanya, siapa yang menggunakan wewangian yang sedemikian harum dalam pertempuran di tengah hutan seperti ini. Ia pun menjawab, orang mana yang berlaku demikian, di tengah hutan menggunakan wewangian.


“Tidak ada di alam dunia bau minyak wangi yang demikian itu, eh ternyata darahnya Muhit. Orang yang baunya nggak kira-kira tadinya, pas meninggal saat pertempuran Masya Allah (wangi bukan main),” katanya.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad