Fragmen

Strategi Amoral Kolonial Belanda di Sekitar Pabrik

Rab, 7 Oktober 2020 | 14:05 WIB

Strategi Amoral Kolonial Belanda di Sekitar Pabrik

Ilustrasi zaman kolonialisme Belanda. (Foto: Pinterest)

Meskipun termasuk negara maritim dengan bentangan laut yang luas, masyarakat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari karakter agrarian. Dua karakter tersebut sekaligus menahbiskan bangsa Indonesia yang tidak bisa terlepas dari mata pencaharian sebagai nelayan dan petani.


Setelah berabad-abad bergelut dengan laut dan sawah, karakter masyarakat Indonesia sedikit demi sedikit mengalami perubahan dengan mulainya didirikan pabrik oleh kolonial Belanda di beberapa daerah. Karakter maritim dan agrarian saat itu bahkan hingga kini menghadapi gempuran kawasan-kawasan industri dengan berdirinya pabrik-pabrik.

 

Baca juga: Saat KH Hasyim Asy’ari Menyaksikan Kondisi Pesantrennya yang Hancur oleh Belanda


Bahkan di beberapa daerah, para petani harus merelakan tanah dan sawahnya untuk pembangunan kawasan industri. Dari sinilah muncul masyarakat urban. Generasi muda sekarang lebih memilih pergi ke kota ketimbang menjadi nelayan atau pun petani. Hal itu ditambah nasib para nelayan dan petani yang seolah tidak pernah beranjak dari garis-garis kemiskinan.


Namun, meski mata pencaharian petani dan nelayan hanya lekat pada diri masyarakat bawah, generasi saat ini setidaknya mampu mewarisi tradisi dan filosofi kehidupan masyarakat maritim dan agrarian.


Warisan tersebut berusaha terus ditanamkan oleh Pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari pada diri para santri di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya pada 1899 M. Hal itu menunjukkan bahwa filosofi kehidupan petani sangat ditekankan oleh para orang tua zaman dulu, termasuk oleh ulama pesantren.

 

Baca juga: Saat KH Hasyim Asy’ari Berkata Petani Adalah Penolong Negeri


KH Muhammad Hasyim Asy’ari sampai-sampai memberikan pengajaran agama melalui interaksi pertanian. Bahkan hal itu cukup ampuh menarik perhatian masyarakat untuk tidak mau bekerja lagi di pabrik dan meninggalkan dunia gelap prostitusi yang sengaja didirikan oleh penjajah Belanda di sekitar pabrik.


Upaya pelestarian lahan untuk bertani menjadi semacam media perlawanan rakyat dan kaum pesantren terhadap kekejaman dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda. Hingga penjajah beberapa kali menghancurkan dan menyerang pesantren.


Mengingat pentingnya pertanian untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan, Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) mengungkapkan bahwa KH Muhammad Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa tentang pentingnya membangun pertanian, agar bangsa Indonesia mandiri, maju, dan sejahtera.

 

Baca juga: KH Hasyim Asy’ari Meletakkan Perjuangan Melawan Penjajah dengan Mendirikan Pesantren


Karena itu, KH Hasyim Asy’ari menyebut petani sebagai pahlawan bangsa dengan jasanya menghidupi masyarakat banyak seperti yang dikatakannya dalam Soeara Moeslimin Indonesia, sebagai berikut:


“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.” (KH Hasjim Asj’ari, Soeara Moeslimin Indonesia, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363/15 Januari 1944).

 

Baca juga: Alasan Ibunda KH Hasyim Asy'ari Dipanggil Winih


Di akhir tulisan, Kiai Hasyim Asy’ari mengutip dari kitab akhlak Adabud Dunya wad Din, karya Syekh Imam al-Mawardi, bahwa dunia akan tertib jika enam hal terpenuhi. Pertama, agama yang ditaati. Kedua, pemerintah yang berpengaruh. Ketiga, keadilan yang merata. Keempat, ketenteraman yang meluas. Kelima, kesuburan tanah yang kekal. Keenam, cita-cita yang luhur. Kesuburan tanah yang kekal harus disyukuri melalui pengelolaan lahan untuk pertanian.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon