Fragmen

Kiai NU di Surakarta Menghadapi Huru-hara 1965

Rab, 30 September 2020 | 10:30 WIB

Kiai NU di Surakarta Menghadapi Huru-hara 1965

Ilustrasi (NU Online)

Di masa tahun 1960-an, wilayah Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah merupakan salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal itu bisa dilihat dari perolehan suara PKI di Karesidenan Surakarta, pada Pemilu tahun 1955. Pun dengan keberhasilan mereka menempatkan tokohnya menjadi Walikota dan Bupati.


Namun, setelah terungkapnya peristiwa penculikan terhadap sejumlah jenderal pimpinan TNI AD, membalikkan seluruh keadaan tersebut. Terlebih ketika situasi nasional yang menunjuk PKI sebagai dalang di balik gerakan itu, membuat para petinggi PKI di Surakarta mesti bereaksi untuk menenangkan masyarakat.


Di Surakarta, Walikota Oetomo Ramelan yang notabene tokoh PKI, pada tanggal 7 Oktober 1965, mengeluarkan surat “Seruan” yang berisi empat poin, untuk ditujukan kepada segenap instansi dan masyarakat di Kota Surakarta.


Untuk menghadapi situasi ini, golongan nasionalis dan agama di Surakarta, banyak yang memilih untuk bersembunyi, sembari menunggu kepastian informasi yang masih simpang-siur. Banyak dari kalangan pemuda NU, yang juga ikut berjaga di sekitar kediaman kiai.


Para santri dan aktivis GP Ansor, Banser dan IPNU Surakarta misalnya, mereka berkumpul di Pesantren Jenengan (Jl Honggowongso 40 atau Selatan Kantor PCNU Surakarta di masa kini), untuk menjaga kediaman Kiai Ma’ruf (Rais Syuriah PCNU Kota Surakarta), yang terletak berdekatan dengan Kantor CC PKI Surakarta. Sedangkan para anggota Banser GP Ansor Solo menggunakan Pesantren Al-Muayyad sebagai markas komando.


Pada perkembangannya, wilayah Karesidenan Surakarta yang dulu menjadi basis massa PKI, kini mulai goyah. Banyak dari para tokoh PKI yang kemudian ditangkap. Tak terkecuali Walikota Surakarta Oetomo Ramelan, dan para petinggi PKI lainnya. Masyarakat bersama tentara melakukan gerakan “pembersihan” PKI hingga ke akar-akarnya, juga ke pelosok kampung-kampung.


Ada satu hal yang cukup menarik, yang terjadi di daerah Kecamatan Kebonarum Klaten. Di saat banyak orang menyerukan untuk melakukan pengganyangan terhadap PKI dan semua unsur-unsurnya, Rais Syuriah NU Sukoharjo dan Klaten Kiai Ahmad Hilal memberikan sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana bersikap adil, bahkan terhadap mereka yang telah memusuhi.


Di saat wilayah Kecamatan Kebonarum Klaten mulai didata para tokoh PKI oleh sejumlah ormas dan tentara, alih-alih membalaskan dendam untuk membunuh orang-orang PKI, Kiai Hilal justru melindungi mereka dengan berkata: “Wargaku ora entuk ana sing kelong. wargaku jangan ada yang berkurang (ditangkap/dibunuh, pen),” kata Kiai Hilal, seperti yang dituturkan kembali oleh cucunya, Zaenul Arifin.


Padahal di masa lampau, PKI juga banyak memberikan gangguan terhadap dakwah Kiai Hilal, bahkan meneror jamaah pengajiannya. Bahkan beberapa santri dan jamaah pengajiannya di Jagir, Dragan, Musuk, Boyolali, yakni 15 sejumlah guru madrasah dan aktivis NU menjadi korban dari aksi penyerangan yang dilakukan PKI. Para korban yang meninggal, di antaranya Mursidi Mustofa (Syuriah NU) dan Muhammad Salim (Ketua Tanfidziyah NU), oleh warga setempat disebut sebagai Syuhada’ Lima Belas.


Dengan sikapnya yang melindungi semua warganya, termasuk para tokoh PKI, pada akhirnya banyak dari mereka dan juga keturunan mereka kemudian masuk Islam dan menjadi pengikut Kiai Hilal. Dampak positif lainnya, di daerah tersebut warga tetap rukun damai hidup berdampingan sampai sekarang.


Di daerah lain, Ada pula dari kiai yang melakukan upaya merawat anak-anak yatim dari daerah perkampungan PKI, untuk kemudian diasuh, disekolahkan, diajarkan ilmu agama, bahkan dilindungi dan diakui sebagai anaknya. Upaya yang kemudian disebut sebagai langkah rekonsiliasi alami ini, setidaknya mampu meminimalisir trauma dan dendam tak berkesudahan akibat sebuah konflik.


Penulis: Ajie Najmuddin

Editor: Fathoni Ahmad