Fragmen

Gus Dur Mencintai Musuh

Sen, 26 Desember 2022 | 09:30 WIB

Gus Dur Mencintai Musuh

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Meskipun banyak pelajaran tak mudah dari Gus Dur, dia tetap memegang prinsip mempermudah atau mengambil jalan sederhana dari persoalan sesulit apapun. Maka dari itu, muncullah istilah khasnya, gitu aja kok repot? Sebagai pelajaran dari Gus Dur bahwa setiap persoalan itu mudah, yang susah lika-liku atau birokrasinya dan main mutlak pemikiran sehingga pemikiran tertutup (eksklusif) dalam menyikapi sebuah perbedaan. 


Suatu ketika datang seseorang yang mengungkapkan semua persoalan hidupnya kepada Gus Dur dengan segala rona kesusahannya. “Ini kira-kira bagaimana, Gus?” Gus Dur menanggapi, “Bisa kamu kerjakan nggak?” “Bisa Gus.” “Ya sudah tidak perlu dipikirkan,” jawab Gus Dur enteng. “Kalau pun tidak bisa kamu kerjakan, ya sudah tidak perlu dipikirkan,” kata Gus Dur lagi.


Dari percakapan tersebut, begitu mudahnya Gus Dur menaikkan mental seseorang beribu-ribu kali lipat dari kesusahan dan beban berat yang dipikulnya. Tentu Gus Dur secara langsung tidak ikut andil mengerjakan semua kesulitan seseorang. Namun, Gus Dur mengajarkan kepada orang bahwa di dalam kesulitan terpampang luas kemudahan dan jalan keluar sehingga yang perlu dipikirkan ialah solusi bukan kesulitan itu sendiri.


Salah satu pelajaran tersulit dari Gus Dur diungkapkan sahabat karibnya, Muhammad AS Hikam dalam Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013). Pelajaran tersebut ialah berteman dengan pihak yang tidak sependapat atau bahkan pihak yang memusuhi kita. Nampaknya hal ini sederhana saja, apalagi jika hanya diomongkan, diseminarkan, dikhutbahkan, dan ditulis. Yang sulit ketika dipraktikkan. Di sinilah Gus Dur mampu melakukannya tanpa sedikit pun rasa khawatir dan terbebani apapun.


Bahkan, Gus Dur tidak hanya mempraktikkan, tetapi juga sudah sampai pada level “mencintai musuh”. Meskipun Gus Dur pribadi tidak pernah mempunyai musuh, kecuali orang-orang yang memusuhinya. “Saya di dunia ini, pemimpin di Indonesia ya, yang pantes jadi musuh saya itu cuma satu, yaitu Pak Harto. Tapi itu pun juga saya masih ke sana (silaturahim ke rumah Pak Harto), masih jadi teman baik saya. Artinya saya tidak punya musuh dong di Indonesia,” tutur Gus Dur dalam sebuah kesempatan talkshow di salah satu stasiun televisi nasional.


Level “mencintai musuh” tidak hanya kerja keras pribadi, tetapi juga punya dampak  atau mengundang reaksi hebat dari yang lain. Bahkan bisa jadi gara-gara melaksanakan kata-kata tersebut secara konsisten, seseorang bisa minimal dicurigai dan maksimal dimusuhi oleh seantero negeri. Apalagi jika sudah ada sentimen primordial seperti agama, ras, etnik, dan gender lalu dibumbui politik.


Namun, “cintailah musuhmu” bagi Gus Dur merupakan diplomasi kultural paling ampuh untuk memunculkan jalan keluar dari persoalan yang dinilai sangat sulit oleh sebagian orang. Ini memang tidak mudah, tetapi tidak ada sesuatu yang sulit bagi Gus Dur.


Buah cinta Gus Dur

Prinsip mencintai semua inilah yang kemudian menjadikan Gus Dur dicintai oleh siapapun. Cinta kepada Gus Dur terlihat ketika Guru Bangsa ini meninggal dunia pada 30 Desember 2009 di RSCM, kemudian ketika disemayamkan di Pesantren Ciganjur, lalu dikebumikan di kompleks makam keluarga di Pesantren Tebuireng, Jombang.


Gus Dur meninggal setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Cipto Manungkusumo Jakarta. Baik dalam kondisi dirawat dan setelah kepergiannya, orang-orang tidak pernah berhenti mengunjungi Gus Dur. Bahkan, padatnya petakziah yang tidak terhitung jumlahnya dari berbagai daerah di Indonesia turut mengantar jenazah putra sulung KH Wahid Hasyim tersebut ke tempat peristirahatan terakhir di Tebuireng. 


Tebuireng saat itu tumpah ruah penuh dengan orang-orang yang ingin menyaksikan proses dikebumikannya Gus Dur. Pesantren Tebuireng penuh dan sesak. Begitu juga jalanan utama di depan pesantren terlihat manusia berbondong-bondong ingin ikut mengantar Gus Dur.


Di luar sana, tidak hanya teman-teman Muslim yang memadati masjid, mushala, dan majelis-majelis untuk mendoakan Gus Dur, tetapi juga teman-teman dari agama Khonghucu, Katolik, Kristen, Hindu, dan Budha turut meramaikan rumah ibadah masing-masing untuk mendoakan Gus Dur. Bahkan, mereka memajang foto Gus Dur di altarnya masing-masing.


Kini, pemikiran, gagasan, tulisan, dan pergerakan sang zahid Gus Dur yang di batu nisannya tertulis, “Here rest a Humanist” itu tidak pernah kering meneteskan dan mengguyur inspirasi bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik ini. Begitu juga makamnya yang hingga sekarang terus ramai diziarahi.


KH Husein Muhammad Cirebon dalam buku Gus Dur dalam Obrolan Gus Mus (2015) mengungkapkan persamaan kondisi wafatnya Gus Dur dengan kepergian salah seorang penyair sufi masyhur, Maulana Jalaluddin Rumi dari Konya, Turki. Kepulangan Rumi ke Rahmatullah dihadiri beribu-ribu orang yang mengagumi dan mencintainya.


Saat itu, di antara mereka yang berduka ialah para pemimpin, tokoh-tokoh penganut Yahudi, Kristen berikut sekte-sektenya, segala mazhab-mazhab pemikiran, serta rakyat jelata yang datang dari pelosok-pelosok dan sudut-sudut bumi yang jauh. Gambaran singkat dari kepergian dua zahid (manusia dengan maqom zuhud) yang disambut iringan ribuan orang dari berbagai penjuru serta didoakan pula dari segala penjuru menunjukkan sebuah cinta dan kasih sayang.


Rasa tersebut mengkristal dari seluruh komponen masyarakat sebagai wujud cinta dari dua zahid kepada semua manusia ketika hidupnya. Kiai Husein menuturkan, Gus Dur, Maulana Rumi, dan para wali Allah merupakan orang yang selama hidupnya diabdikan untuk mencintai seluruh manusia, tanpa pamrih apapun. Mereka memberikan kebaikan semata-mata demi kebaikan itu sendiri, bukan bermaksud kebaikan tersebut kembali kepada dirinya.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Syamsul Arifin