Fragmen

Haji di Tengah Wabah: Karantina hingga Korban yang Berjatuhan

Sen, 20 Juni 2022 | 14:00 WIB

Haji di Tengah Wabah: Karantina hingga Korban yang Berjatuhan

Jamaah haji tahun 1953. (Foto: Majalah National Geographic 1953)

Paling tidak butuh waktu sekitar satu bulan untuk menempuh perjalanan dari tanah air menuju kota suci Makkah selepas Terusan Suez kembali dibuka. Bukan waktu yang sebentar untuk terombang-ambing di tengah lautan dengan berdesak-desakan selama perjalanan. Apalagi ada penyakit yang tengah mewabah. Lengkap sudah penderitaan calon jamaah haji waktu itu.


Meski demikian, hal tersebut tak menyurutkan niat mereka untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Mereka menganggap hal tersebut sebagai satu tantangan demi menggapai ridha-Nya sehingga harus disikapi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.


Karantina

Dalam rangka mencegah penyebaran wabah, Pemerintah saat itu memberlakukan karantina di sebuah pulau kosong dekat Aden (sekarang Yaman), yakni Pulau Kamaran. Karantina di sini, dalam tulisan Marcel Witlox yang berjudul Mempertaruhkan Jiwa dan Harta Jemaah Haji dari Hindia Belanda pada Abad Ke-19, dalam Indonesia dan Haji (1997), menjadi bahan tertawaan bagi bangsa lain. Pasalnya, pulau tersebut minim sumber air sekaligus cuaca panas yang tidak terkira.


Tak ayal, bukannya kesehatan terjaga, tinggal di pulau tersebut barang sebentar saja membuat calon jamaah haji kian menderita. Panas yang demikian menyentak ditambah ketersediaan air yang tipis mengakibatkan mereka kelelahan dan mudah terserang penyakit. Akan tetapi, dalam laporan dokter yang bertugas di sana, kebutuhan jamaah di pulau tak berpenghuni itu terpenuhi. Snouck Hurgronje (1996) menyebut hal tersebut sebagai kabar bohong.


Tidak hanya itu, karantina juga membuat kantong calon jamaah haji kian kempis. Pasalnya, saban karantina, mereka akan dikenai biaya pemeriksaan kesehatan dan biaya tambahan lain oleh petugas yang berjaga.


Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008) mencatat, bahwa penumpang kapal yang terinfeksi penyakit harus diinformasikan kepada penguasa pelabuhan untuk ditanggulangi. Paling tidak, penumpang selama 120 jam harus dipantau kesehatannya sampai dinyatakan negatif dari penyakit yang tengah mewabah itu. Selama pemeriksaan, tidak ada seseorang pun yang boleh menaiki kapal. Bahkan nakhoda berkewajiban mengawasi kapal selama berada di Pelabuhan sesuai dengan Ordonansi Karantina (Stbl. 1911 No.299 dan 277). 


Bukan hanya penumpang, tetapi barang-barang yang dicurigai terinfeksi virus kolera, pes, atau cacar berdasarkan pertimbangan dokter tidak boleh dinaikkan ke kapal. Barang-barang itu juga ditempatkan di ruang khusus guna dibersihkan dari kuman penyakit.


Setiap penumpang harus membayar f.3 untuk setiap pemeriksaan kesehatan. Uang tersebut diberikan kepada kepala pelabuhan terakhir sebelum berangkat ke luar negeri untuk disetorkan ke kas negara. Karenanya, nakhoda, pemilik kapal, atau agen diperintahkan mengirimkan daftar penumpang dalam waktu 24 jam kepada kepala pelabuhan guna pemeriksaan administrasi dan menetapkan waktu dan hari embarkasi.


Kees van Dijk dalam tulisannya yang berjudul Perjalanan Jemaah Haji Indonesia dalam Indonesia dan Haji (1997), mencatat bahwa Pulau Kamaran pernah dikuasai Inggris. Saat itu, jamaah haji harus dua kali menjalani karantina saat keberangkatan. Setelah rampung karantina di pulau itu, mereka harus kembali dikarantina di Jeddah sebagai wilayah yang ada dalam penguasaan Arab. Baru setelah itu, mereka dipersilakan melanjutkan perjalanan.


Ketika pulang dan tiba di Nusantara, mereka juga harus menjalani karantina lagi di Batavia, tepatnya di Pulau Onrust, sebuah pulau di Kepulauan Seribu. Parahnya, pemeriksaan Kesehatan di tempat ini mengharuskan jamaah haji menanggalkan pakaiannya. Karena adanya peraturan itu, para ulama berfatwa perempuan tidak wajib berhaji.


Penyebaran dan korban wabah

Wabah kolera mulai menjangkiti Makkah sejak tahun 1831 M sewaktu berlangsungnya ibadah haji setelah 10 tahun lalu ditemukan untuk kali pertama di dataran Arabia. Dalam catatan Snouck Hurgronje (1996) dan Eric Tagliacozzo (2013), India menjadi pembawa wabah kolera ini ke kota suci itu. Di tahun tersebut, tak kurang dari 20 ribu orang meninggal akibat wabah tersebut.


Wabah pun kian merebak manakala banyak orang yang melanggar peraturan dan memalsukan pelaporan. Kepentingan perdagangan Inggris dalam hal ini, menurut Snouck Hurgronje (1996) lebih utama ketimbang kesehatan umum.


Parahnya lagi, ada yang membawa kabar bahwa wabah itu tersebar karena kondisi Makkah yang kotor. Bahkan ada juga yang menyebut hal tersebut gegara air Zamzam. Tuduhan tersebut tentu saja sama sekali tidak berdasar. Sebab, air Zamzam yang begitu jernih merupakan obat yang dapat menjadi wasilah bagi orang sakit menjadi sehat.


Wabah kolera ini, dalam catatan Marcel Witlox pada tulisannya yang berjudul Mempertaruhkan Jiwa dan Harta Jemaah Haji dari Hindia Belanda pada Abad Ke-19, dalam Indonesia dan Haji (1997), menjangkiti Makkah sepanjang abad 19. Tahun 1865 menjadi puncaknya dengan korban jiwa tak kurang dari 15 ribu di seluruh Makkah. Wabah pun menjalar ke seluruh pelosok Hijaz.


Tahun 1872, 4 ribu orang menjadi korban wabah tersebut. Tahun 1881, ada 2 ribu korban kolera dari Nusantara. Banyak juga jamaah haji yang terkena cacar. Sementara tahun 1875 terjadi wabah pes. Menurut dokter bedah berkebangsaan Inggris, 88 persen korban kolera meninggal di pertengahan tahun 1880-an.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad