Fragmen 31 TAHUN DEKLARASI KHITTAH NU 1926 (1)

Hikayat Khittah NU 1926

Sen, 14 Desember 2015 | 18:01 WIB

NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana. Kalimat ini begitu populer hingga sekarang setelah KH Achmad Siddiq menggunakannya untuk mengartikan Khitthah NU. Munculnya kalimat itu sangat erat dengan konteks sejarah yang melingkupinya, terutama pada sekitar tahun 1983-1984. Bagaimana asbabul wurud-nya?
<>
Potongan-potongan sejarah tentang perjalanan NU tersebar di berbagai sumber. Ada yang tersurat dalam buku-buku tentang NU, ada yang terlukis dalam surat kabar, ada yang tertuang dalam cacatan-catatan pribadi, ada pula yang lestari melalui tutur kata orang per orang, dan ada juga yang terkunci dalam memori para pelaku sejarahnya.

Secarik kisah berikut tentu tidak bisa mewakili aspek historis lahirnya Khitthah NU 1926 secara menyeluruh. Namun setidaknya inilah proses peristiwa yang berhasil direkam oleh Aula dari rujukan-rujukan utama tentang Khitthah NU 1926.

Khitthah adalah satu kata dari Bahasa Arab yang berarti garis. Dalam NU, kata Khitthah pertama kali diungkapkan oleh KH Achyat Chalimi (Mojokerto) pada tahun 1954, ketika berlangsung Muktamar NU ke-20 di Surabaya. Kiai Achyat saat itu mengusulkan, “NU harus kembali ke Khitthah, agar tidak awut-awutan begini,” katanya. Namun usulan itu tidak disertai dengan konsep yang utuh, sehingga tidak mendapat banyak perhatian.

Kata Khitthah NU kemudian kembali menjadi perhatian nahdliyin pada Muktamar NU ke-26 pada tahun 1979 di Semarang. Dalam muktamar yang dilaksanakan pada 5-11 Juni 1979 itu, Sekjen PBNU waktu itu, KH Moenasir Ali, memesan buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh KH Achmad Siddiq dalam jumlah besar. Buku kecil itu kemudian dibagi-bagikan kepada peserta muktamar tapi tidak menjadi pembahasan muktamar.

Proses penulisan buku itu juga memiliki kisah tersendiri. Almaghfurlah KH A Muchith Muzadi, yang berperan dalam penulisan buku itu, pernah menuturkan secuil kisahnya kepad penulis. Menurutnya, sewaktu Kiai Achmad akan berangkat haji pada tahun 1978, banyak kiai dan pengurus NU yang diundang, termasuk Kiai Muchit. Saat itu Kiai Achmad memohon didoakan oleh para kiai sekaligus berceramah tentang NU pada masa lalu. Secara spontan Kiai Achmad dan para kiai meminta Kiai Muchith menulis isi ceramah itu.

Saat Kiai Achmad hendak berangkat dan transit di Surabaya, Kiai Muchith berkata: “Pak Achmad, ini catatan kemarin sudah jadi. Apakah mau ditinggal atau dibawa ke Makkah dan dikoreksi di sana?”. “Endi, tak gowo wae (Mana, aku bawa saja),” kata Kiai Achmad.

Setelah Kiai Achmad pulang ke tanah air, ternyata catatan itu sudah dikoreksi. Kemudian digarap lagi oleh Kiai Muchith, diserahkan, dikoreksi lagi dan begitu seterusnya. Sampai pada tahun 1979, setelah dianggap cukup, catatan itu kemudian diketik oleh Kiai Muchith dan diperbanyak hingga 10 eksemplar.

Draf itu memang rencananya dicetak menjadi buku. Namun sebelum Kiai Muchith mencari percetakan yang bisa diajak kerjasama, ternyata ada pegawai percetakan dari Bangil yang datang membawa cetakan percobaan. Ia mengaku mendapat draf buku itu dari Amak Fadholi yang secara kebetulan diberi salinannya oleh Kiai Muchith.

Akhirnya buku itu dicetak dengan judul Khitthah Nahdliyah. Buku kecil itu juga diberi catatan pengantar oleh Wakil Rais Am waktu itu KH Masjkur dan Ketua Umum (Ketum) PBNU waktu itu KH Idham Chalid. Sejak saat itu, kata Khitthah banyak dibicarakan orang. Dan buku inilah yang menjadi  referensi utama untuk merumuskan Khitthah NU 1926 yang dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984.

Gejolak Organisasi
Khitthah NU 1926 sesungguhnya tidak hanya mengatur hubungan NU dengan partai politik. Tetapi secara historis, kelahiran Khitthah NU 1926 memang sangat dipengaruhi oleh realitas politik yang terjadi di Indonesia pada era awal 1980-an dan berdampak pada roda organisasi di tubuh NU.

Dalam konteks politik, NU pernah terjun ke dunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada 1952. Setelah itu, Partai NU mengikuti dua kali Pemilu dan berhasil menjadi tiga partai politik terbesar di tanah air. Namun Partai NU dipaksa fusi pada tahun 1973 oleh pemerintah (Orde Baru) dengan dalih penyederhanaan partai. Sehingga hanya ada dua partai politik, yaitu PPP dan PDI serta Golkar (yang bukan partai politik tapi ikut Pemilu).

NU secara resmi menyatakan bergabung bersama umat Islam lainnya ke dalam PPP. Banyak pengurus NU yang merangkap sebagai pengurus PPP, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.  Bahkan Rais Am PBNU KH M Bisri Syansuri juga sekaligus menjabat Ketua Dewan Syura DPP PPP secara bersamaan. NU juga menempatkan beberapa tokohnya untuk menduduki kursi anggota legislatif, hasil Pemilu tahun 1977, baik di pusat maupun di tingkat daerah.

Pada muktamar ke-26 tahun 1979 di Semarang, suara untuk mengembalikan NU lepas dari partai politik sudah mulai terdengar. Salah satunya melalui buku berjudul Khitthah Nahdliyah yang ditulis oleh Kiai Achmad itu. Namun suaranya kurang menggema sehingga tidak bisa menjadi keputusan muktamar. Salah satu keputusan muktamar tersebut adalah memilih KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am yang menjabat sejak 1971 dan KH Idham Chalid sebagai Ketum PBNU yang memimpin sejak 1956.

Suasana berorganisasi kembali seperti semula. Said Budairy menceritakan dalam catatan pribadinya bahwa NU benar-benar mengalami krisis jati diri saat itu. “Sebagai organisasi politik sudah bukan, sedangkan merubah diri menjadi organisasi sosial keagamaan, baru berupa pernyataan. Prilaku masih tetap saja seperti masih sebagai partai politik. Kantor NU ramai dan sibuk hanya ketika menyongsong pemilihan umum. Ketika memasuki fase penyusunan calon untuk Pemilu, Ormas ini tiba-tiba saja persis seperti Parpol, repot banget menyusun daftar calon. Orang-orang berdatangan dari daerah. Khawatir susunan calon di daerahnya tidak sesuai dengan yang diinginkan”.

Keadaan ini diperparah dengan wafatnya Kiai Bisri pada tahun 1980. Kekosongan jabatan Rais Am PBNU berlangsung hingga satu setengah tahun kemudian. Baru pada bulan September 1981, posisi Rais Am PBNU dipercayakan kepada KH Ali Maksum melalui Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta.

Namun gejolak di dalam internal NU belum berakhir. Bahkan perpecahan antara syuriah dan tanfidziyah semakin menjadi-jadi. Puncaknya, pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum dilangsungkannya Pemilu, empat orang kiai dari jajaran Syuriah PBNU berkumpul di Jakarta dan mengunjungi KH Idham Chalid di rumahnya di Cipete, Jakarta. Mereka adalah KH Ali Maksum, KH Machrus Aly, KH As’ad Syamsul Arifin dan KH Masjkur.

Mereka meminta Kiai Idham untuk lebih aktif mengurusi PBNU. Namun Kiai Idham tidak memenuhi permintaan mereka karena alasan kesehatan. Lalu Kiai As’ad mengusulkan, bagaimana jika Kiai Idham menyerahkan jabatan Ketum PBNU kepada Rais Am PBNU. Kiai Idham mengiyakan, dan pada hari itu pula Kiai Idham menandatangani surat pengunduran diri yang sebelumnya sudah disiapkan oleh empat kiai tersebut.

Tidak lama kemudian, Kiai Idham mencabut pengunduran diri itu karena para kiai dianggap menyalahi konsensus di antara mereka. Sebab berita pengunduran diri itu sudah tersebar luas dan sudah diketahui oleh pers sebelum perhitungan suara hasil Pemilu 1982 selesai.

Kiai Idham kemudian menyampaikan pengumuman bahwa jabatan Ketum PBNU masih ada di tangannya. Kiai Idham juga menentukan daftar pengurus yang berhak menandatangani surat keluar. Anehnya, nama Kiai Maksum sebagai Rais Am tidak ada dalam daftar itu. Seakan-akan Ketum PBNU itu telah memecat Rais Am. Padahal di pihak lain, Kiai Ali Maksum sudah merasa bahwa jabatan Ketum PBNU sudah diserahkan kepadanya, sehingga ia merangkap sebagai Rais Am sekaligus Ketum PBNU.

Peristiwa itu mengakibatkan kepemimpinan NU terpecah menjadi dua. Gerbong Idham Chalid dikenal dengan istilah kubu Cipete dan gerbong Kiai Ali Maksum dikenal dengan kubu Situbondo. Dualisme kepemimpinan ini berlangsung hingga setahun kemudian. Sampai akhirnya untuk menyelesaikan konflik itu kubu Cipete berencana mengadakan muktamar dan kubu Situbondo hendak menggelar Munas Alim Ulama.

Di tengah-tengah dualisme kepemimpinan itu, para aktivis muda NU mengambil inisiatif yang berbeda. Mereka kerap mengadakan diskusi untuk mencari solusi atas gejolak tersebut. Adalah dr Fahmi D Saifuddin yang menjadi motor penggeraknya. Dia merangkul tokoh-tokoh muda yang waktu itu peduli terhadap nasib NU dan sudah menjauh dari kepentingan politik manapun. Pertama-tama dr Fahmi bertamu ke rumah Said Budairy di rumahnya yang ada di Mampang, Jakarta Selatan, dan mengajaknya bergabung. Setelah itu, bergabung juga Mahbub Djunaidi, M Zamroni, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Danial Tandjung, Slamet Effendi Yusuf, M Ichwan Sam dan sebagainya. Diskusi dan rapat paling sering digelar di rumah Said Budairy yang kemudian dikenal dengan Kelompok G, karena rumah Said Budairy terletak di gang G.

Hasil diskusi-diskusi kecil itu semakin kongkret. Salah satunya adalah menggelar forum diskusi yang lebih besar dengan mengundang 24 tokoh NU dari berbagai daerah. Mereka adalah KH MA Sahal Mahfudz (tidak sempat hadir), KH Musthofa Bisri, KH M Moenasir Ali, KH A Muchith Muzadi, Gus Dur, KH Tholchah Hasan, Dr Asep Hadipranata, Mahbub Djunaidi, M Zamroni, dr Muhammad Thohir, dr Fahmi D Saifuddin, M Said Budairy, Abdullah Sjarwani, SH, M Saiful Mudjab, Umar Basalim, Drs H Cholil Musaddad, Gaffar Rahman, SH, Slamet Effendy Yusuf, M Ichwan Syam, Musa Abdillah, Musthofa Zuhad, M Danial Tanjung, Ahmad Bagdja dan Masdar F Mas’udi.

Diskusi yang membahas tentang NU masa depan itu kemudian dikenal dengan Majelis 24 karena pesertanya berjumlah 24 orang. Mereka berdiskusi pada 12 Mei 1983 di Hotel Hasta Jakarta. Pertemuan itu dilakukan dengan fasilitas yang sangat sederhana. Penyelenggara hanya menyewa ruangan dengan suguhan minuman dan kacang goreng. Malah waktu makan siang, semua peserta mencari makan di trotoar depan hotel. Pertemuan berlangsung sampai malam dan setelah pertemuan selesai, semua pulang ke tempat masing-masing.

Meskipun singkat dan penuh keterbatasan, tapi hasilnya sangat penting. Majelis 24 sepakat membentuk tim yang diberi nama Tim Tujuh Pemulihan Khitthah NU. Anggota tim ini diberi tugas untuk menyusun rumusan Khitthah NU 1926. Sedangkan acuan pokok tentang Khitthah NU adalah buku Khitthah Nahdliyah dan Fikrah Nahdliyah karya KH Ahmad Siddiq.

Kelompok ini disebut Tim Tujuh karena beranggota tujuh orang. Mereka terdiri dari Abdurrahman Wahid (ketua), M Zamroni (wakil ketua), M Said Budairy (sekretaris), Mahbub Djunaidi, dr Fahmi D Saifuddin, M Danial Tanjung dan Ahmad Bagdja (anggota).

Akhirnya Tim Tujuh berhasil menyusun rumusan Khitthah NU 1926 sebelum dilaksanakannya Munas Alim Ulama NU pada 18-21 Desember 1983. Rumusan tersebut kemudian menjadi pembahasan dan disahkan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbondo. Setelah mengalami beberapa koreksi dari peserta Munas, Khitthah NU 1926 disahkan menjadi keputusan muktamar melalui Komisi Khitthah. (A. Afif Amrullah)
 
Penulis adalah Redaktur pelaksana Majalah Aula dan Dosen FAI Unsuri Surabaya