Fragmen HAUL GUS DUR

Kanjeng Pangeran Aryo Abdurrahman Wahid

Rab, 24 Desember 2014 | 05:01 WIB

Solo, NU Online
Setahun setelah ‘dilengserkan’ dari kursi kepresidenan, tepatnya pada 9 Oktober 2002, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapatkan undangan dari Keraton Kasunanan Surakarta, bersamaan dengan peringatan naiknya tahta Paku Buwono (PB) XII yang ke-57.
<>
Tidak hanya itu, dalam kesempatan tersebut Gus Dur mendapatkan gelar kehormatan Kanjeng Pangeran Aryo (KPA), sebuah gelar gelar tertinggi yang pernah diberikan keraton kepada orang yang bukan kerabat asli istana penerus dinasti Mataram tersebut.

“Saat itu tidak ada prosesi istimewa, penganugerahan gelar bersama yang lain, hanya saja gelar yang disematkan kepada Gus Dur ini berbeda,” terang Sekretaris PW GP Ansor Jawa Tengah, Sholahudin Aly, kepada NU Online beberapa waktu lalu.

Gus Dur sendiri saat ditanya mengenai pemberian gelar ini mengaku tidak mengetahui alasan pasti pemberian gelar KPA ini kepadanya. Namun Gus Dur mengaku sebelumnya tidak pernah berharap untuk mendapat gelar ini.

“La wong kehormatan kok. Ngarep-arep wae ora wani (berharap saja tidak),” kata Gus Dur, sebagaimana tertulis di beberapa koran lokal, ketika itu.

Memelihara Tradisi

Meski demikian, Gus Dur memberikan makna tersendiri atas gelar ini. "Menerima gelar itu untuk melestarikan budaya daerah. Itu secara umum. Kalau kesan secara pribadi yang sangat dalam sekali, yang saya juga belum habis mengkajinya. Bagi saya ini adalah sebuah penghormatan bagi jalan hidup yang saya pilih, yakni supaya selalu menyerasikan Islam dengan budaya daerah,” lanjutnya.

Gus Dur juga berharap dari pemberian gelar itu, akan tercipta hubungan yang baik antara Keraton dan Islam.

“Dengan saya diakoni oleh keraton berarti hubungan Islam dan kekuasaan multikratonik. Dalam arti, bisa ngritik. Dulu ada keraton seperti ini, lalu ada keraton kecil-kecil, yakni pesantren-pesantren,” ujar dia.

Satu harapannya, Keraton Surakarta dapat meneruskan tradisi. Itu sangat penting, terutama menyangkut teori multikratonik, antara agama dan budaya. “Selama ini Kraton telah menjadi pemelihara dan pelestari budaya. Kalau ada yang hilang maka kebudayaan di daerah kita ini akan terganggu,” papar Gus Dur. (Ajie Najmuddin)


Sumber terkait :
Harian Suara Merdeka edisi cetak, 10 Oktober 2002.
Wawancara Ketua Gusdurian Jateng, Hussein Syifa, 5 November 2014.