Fragmen

Kantor Jawatan Agama Awalnya sebagai Alat Penjajah Jepang

Sel, 3 Januari 2023 | 19:30 WIB

Kantor Jawatan Agama Awalnya sebagai Alat Penjajah Jepang

Kantor Kementerian Agama di Jalan Medan Merdeka Utara No 7 Jakarta (kini kompleks kantor Kementerian Dalam negeri). Kementerian Agama menempati gedung ini sejak Menteri Agama KH Abdul Wahid Hasyim. Penampakan foto tahun 1950. (Foto: Dok. Kementerian Agama)

Penjajahan atau kolonialisme di Indonesia mengakar kuat sejak zaman Hindia Belanda. Bangsa pribumi tidak berkutik, bahkan terus dieksploitasi dari sisi kemanusiaan dan sumberdaya alam. Teknologi bangsa penjajah yang sudah terbilang lebih maju menambah derita fisik yang harus dialami oleh bangsa Indonesia. Belum lagi pemimpin-pemimpin daerah yang dengan mudahnya menjadi alat penjajah asalkan masih diberi kekuasaan di daerahnya.


Kondisi memprihatinkan tersebut memunculkan perlawanan tentu saja. Mula-mula, perlawanan rakyat hadir dari kalangan pesantren yang secara terang-terangan menolak segala bentuk budaya orang-orang penjajah. Perlawanan kultural itu sedikit banyak menghentak hari nurani dan sanubari rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.


Dari zaman penjajahan Belanda hingga Jepang, percikan-percikan perlawanan umat Islam dari kalangan pondok pesantren membuat mereka menyusun strategi sedemikian rupa untuk mematikan perkumpulan dan pergerakan-pergerakan umat Islam. Demikian ini termasuk menempatkan para mata-mata dan membentuk wadah para agamawan dalam satu lembaga atau jawatan.


Di zaman Jepang, salah satu perhatian besar Pimpinan Tentara Nippon ialah sosok ulama kharismatik, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, untuk memimpin Kantor Jawatan Agama Shumubu (cikal bakal Departemen/Kementerian Agama). Institusi ini dibentuk pada Mei 1942.


Nouruzzaman Shiddiqi dalam Menguak Sejarah Muslim (1983) mengungkap bahwa tiga orang Jepang yang sudah haji, Abdul Hamid Ono, Muhammad Shaleh Suzuki, dan Abdul Mun’im Inada awalnya ditunjuk oleh Jepang dalam pembentukan Shumubu. Tiga tokoh muslim Jepang ini juga awalnya ditempatkan sebagai mata-mata.


Terlihat bahwa politik kolonial berusaha merangkul dan memberikan jabatan tinggi kepada tokoh yang dianggap berpengaruh. Tujuannya agar mengecilkan pengaruhnya karena berada di bawah kekuasaan penjajah. Namun, tidak untuk KH Hasyim Asy’ari dan anaknya, KH Abdul Wahid Hasyim.


Kiai Hasyim Asy’ari ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin Shumubu pada 1 Agustus 1944. Namun Hadratussyekh menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada Kiai Wahid Hasyim. Selanjutnya, Kiai Wahid berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang berlokasi di daerah-daerah (Shumuka) yang dipimpin oleh seorang Shumuka-cho.


Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan bahwa visi Kiai Wahid Hasyim membentuk Shumuka-cho tidak lain untuk memperkuat konsolidasi urusan-urusan agama di daerah bagi keperluan perjuangan bangsa Indonesia secara umum.


Sebelumnya, Kiai Wahid memang melakukan diplomasi dengan Jepang untuk mendirikan Shumuka meskipun pada awalnya berdiri di Jawa dan Madura. Setelah potensi umat Islam terbina dengan baik melalui jalur Masyumi, Hizbullah, Shumubu, dan Shumuka, Kiai Wahid Hasyim kembali memusatkan perhatiannya pada janji kemerdekaan yang dipidatokan oleh Perdana Menteri Jepang Kunaiki Koiso pada 7 September 1944.


Terlihat kepiawaian Kiai Wahid Hasyim dalam menyikapi pembentukan Shumubu oleh Jepang. Tujuan Jepang untuk menampung umat Islam ke dalam sebuah wadah dan menarik ulama ke struktur birokrasi agar mudah dikontrol justru dimanfaatkan oleh Kiai Wahid Hasyim untuk membentuk Kantor Jawatan Agama di berbagai daerah, tujuannya memperkuat konsolidasi dan transfer informasi.


Transfer informasi ke sejumlah Shumuka terkait pergerakan Jepang ini penting untuk kemudian disampaikan ke masyarakat secara luas. Pembentukan departemen Shumubu tersebut menguntungkan bangsa Indonesia, baik di bidang sosial-keagamaan, pendidikan maupun politik. Administrasi Shumubu ternyata memberikan banyak manfaat bagi umat Islam pascakemerdekaan. Sebab itu, Shumubu lalu ditetapkan sebagai departemen independen pada 3 Januari 1946. Kemudian lembaga ini ditetapkan sebagai Departemen Agama yang lalu beralih nama menjadi Kementerian Agama.


Dalam Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim (Mizan, 2011), H Aboebakar mencatat, salah satu jasa besar KH Wahid Hasyim di Kementerian Agama setelah Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk pada 20 Desember 1949 ialah mengadakan Konferensi Besar di Yogyakarta.


Kegiatan yang berlangsung pada 14-18 April 1950 itu dilakukan Kiai Wahid Hasyim untuk mempersatukan kembali kementerian, departemen, dan jawatan-jawatan agama, serta negara-negara bagian yang didirikan oleh Belanda di seluruh daerah di Indonesia.


Meskipun Kementerian Agama RI sebenarnya Kementerian Agama Bagian, yang sama dengan Negara-Negara Bagian yang lain, tetapi KH Wahid Hasyim mendorong Kementerian Agama ke depan sebagai modal dan pimpinan sehingga sentimen yang ada pada waktu itu dapat diperkecil sekecil-kecilnya.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Syakir NF