Fragmen

Kantor PBNU dan Bayar Cicilan Gedung

Sel, 1 Februari 2022 | 07:45 WIB

Kantor PBNU dan Bayar Cicilan Gedung

Kantor PBNU yang lama di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

Sejak penyerahan kedaulatan Republik Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membuat kantor di Jakarta. Kantor PBNU terletak di Jalan Menteng Raya Nomor 24 sampai kemudian NU memasuki statusnya sebagai organisasi politik setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi pada 1952. Kantor PBNU terletak di sudut simpang empat Menteng-Prapatan-Kebun Sirih-Gambir.


Di tengah kesibukan layanan publik yang terus meningkat, pengurus NU tidak lagi merasakan kenyamanan karena kapasitas gedung dianggap kurang memadai untuk aktivitas politik. "Partai NU sedang tumbuh menjadi salah satu partai besar dan menduduki posisi penting." (KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, [Yogyakarta, LKiS: 2013 M], halaman 530).


Partai NU menjadi tempat berlindung dan harapan masyarakat Islam Indonesia di tengah efek pemberontakan DI/TII dan polarisasi Masyumi-PNI yang semakin runcing. NU oleh banyak kalangan dianggap sebagai partai yang dapat membawa angin segar politik, harapan, dan rasa aman. NU mendapat dukungan dan simpati dari kalangan awam sampai kalangan intelektual saat itu.


Adapun citra Islam sebagai anasir radikal dan ekstrem kanan ketika itu cukup melekat dan menyulitkan posisi umat Islam Indonesia menyusul proklamasi Negara Islam (Darul Islam) oleh Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya atau disebut pemberontakan DI/TII, dan pemberontakan Ibnu Hajar pada Oktober 1950 di Kalimantan (yang mengklaim gerakannya sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo).


"Inilah tugas berat NU selaku partai politik yang baru lahir untuk mengikis serta menanggulangi citra negatif yang bukan pembawaan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Sementara itu hubungan Masyumi-PNI makin tidak serasi karena selalu dikipasi oleh PKI lewat berbagai aksi adu domba antargolongan. Dalam pada itu, NU merasakan sikap tidak bersahabat  dari sebagian orang-orang Masyumi yang merasa dirugikan oleh menjelmanya NU menjadi partai politik, lepas dari ikatan Masyumi." (Zuhri, 2013 M: 530-531).


Setelah mencari-cari, mereka akhirnya membeli sebuah gedung di Jalan Kramat Raya 164. Sejumlah partai besar peserta pemilu 1955 berkantor di sini. "Tanpa disadari sebelumnya, Kantor PBNU ternyata berhadapan dengan kantor CC-PKI," (Zuhri, 2013 M: 532).


Jalan Kramat Raya menghubungkan Pasar Senen dan Pasar Jatinegara. Jalan Kramat Raya membentang sepanjang ujung Senen Raya dan Salemba Raya. Di jalan yang strategis dan sibuk, empat partai politik menempatkan kantor mereka.


Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, terletak pada ujung Kramat Raya mendekati Senen Raya, lalu CC-PKI, dan yang terletak di Kramat Raya yang mendekati Salemba Raya berdiri Kantor DPP-PNI. (Zuhri, 2013 M: 532).


Pemilu 1955 yang diumumkan di Gedung Olahraga Jakarta (kini lapangan Monas) pada 1 Maret 1956 memberikan 57 kursi untuk PNI, 57 Kursi untuk Masyumi, 45 kursi untuk partai NU, dan 39 kursi untuk PKI di DPR RI. Sementara peserta pemilu lainnya masing-masing mendapat kursi tidak lebih dari 10 jari, yaitu PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Perti, IPKI, Murba, dan partai lainnya.


"Aku kurang sreg dengan gedung ini jika digunakan untuk kantor PBNU," kata KH Saifuddin Zuhri.


"Mengapa?" tanya KHM Dahlan, plt Ketua Umum PBNU sepeninggal KH Abdul Wahid Hasyim (w 1953).


"Ini sih bukan tampang kantor partai. Gedung begini hanya cocok buat toko."


"Yaaa, tapi tempat ini amat strategis," tegas KHM Dahlan.


"Carilah dahulu di tempat lain," kata KH Saifuddin Zuhri masih belum sreg.


"Saya sudah capek mencari di tempat lain tetapi tidak menemukan sebagus ini. Lagi pula harganya murah, Rp. 1.250.000, boleh dibayar separo dulu pula. Tapi kalau ente mau cari di tempat lain, silakan!"


"Wah aku tidak punya keahlian untuk itu. Lagi pula aku bukan penduduk Jakarta."


"Sudahlah… kalau tidak lekas kita beli, uang kita bisa habis dan tempat ini keburu dibeli orang."


Kantor PBNU pun dipindahkan dari Menteng Raya 24 ke Kramat Raya 164. Segera setelah itu, Kiai Saifuddin Zuhri (Sekjen PBNU saat itu) memanggil tukang letter untuk membuat sejenis 'papan nama gedung', dasar hijau dengan huruf berwarna putih.


"Aku sendiri yang mendiktekan, bunyinya: ‘PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA’ dengan huruf-huruf hampir 70 cm besarnya, terpancang di bawah atap dan sepanjang permukaan gedung. Siapapun yang sedang berlalu lalang di jalan Kramat Raya bisa dengan amat mudah menangkap rangkaian huruf-huruf tersebut sekalipun berada dalam kendaraan yang sedang melaju," (Zuhri, 2013 M: 532).


Warna papan nama gedung yang melekat di bawah atap sepanjang permukaan Kantor PBNU itu memucat karena sengatan panas dan terpaan hujan sekira 20 tahun lebih. Sekali waktu pada 1984 warna cat papan nama gedung itu ditebalkan sebelum akhirnya diubah menjadi huruf timbul. (Zuhri, 2013 M: 532).


Dengan gedung baru dua lantai itu kantor PBNU mulai menjalankan roda organisasi dan administrasi kepartaian. (Zuhri, 2013 M: 533). Sedangkan bekas kantor PBNU di Menteng Raya 24 kemudian digunakan oleh harian Duta Masyarakat (harian resmi partai NU) dan juga PP Muslimat NU. (Zuhri, 2013 M: 534).

 

Gedung baru berdiri di atas tanah seluas 801 meter. "Di surat tanahnya 801 m persegi. tidak ada berapa kali berapa," kata Sahid, staf pengelola gedung PBNU. Gedung tersebut dipergunakan selama puluhan tahun sampai Kantor PBNU direnovasi Januari 2000-November 2001 yang kita kenal sekarang dengan 8 lantai. (Alhafiz Kurniawan)