Fragmen

Hubungan Masjid Agung Jami’ dan Alun-Alun Malang

Sel, 28 Desember 2021 | 10:00 WIB

Hubungan Masjid Agung Jami’ dan Alun-Alun Malang

Perubahan fungsi alun-alun Malang yang menjadi kawasan hijau berdampak pada hubungannya dengan Masjid Agung Jami’ yang tidak terlalu “terkoneksi” lagi. (Foto ilustrasi: malang-guidance.com)

Kota Malang adalah kota besar kedua setelah Surabaya di Jawa Timur. Saat berkunjung ke Kota Malang, biasanya sebagian kaum Muslim akan mampir ke lokasi ini: Alun-Alun Merdeka dan Masjid Agung Jami’ di seberangnya. Tempat ini menjadi destinasi mampiran istirahat banyak pelancong dengan tujuan ziarah atau pariwisata.

 

Masyarakat kota Malang mengenal dua trademark alun-alun, yaitu Alun-Alun Merdeka di bilangan Jalan Merdeka yang berada di seberang Kantor Kabupaten Malang, dan Alun-Alun Tugu di seberang Balai Kota Malang. Alun-alun yang disebut terakhir, dibangun pada awal abad 20 saat Belanda menjadikan Malang sebagai kota yang terpisah dari pemerintahan kabupaten Malang. Sedangkan Alun-Alun Merdeka jauh lebih panjang sejarahnya, karena ia mengiringi berdirinya pusat pemerintahan Malang yang sudah berusia lebih dari 1200 tahun sejak kekuasaan Kerajaan Singhasari.

 

Masjid Agung Jami’ Malang di sisi barat Alun-Alun Merdeka, yang merupakan salah satu bangunan ibadah tua di Malang, tercatat diresmikan tahun 1853. Pembangunannya tidak terlepas dari bagaimana pendudukan kolonial Belanda memengaruhi pembentukan alun-alun di tahun 1882.

 

Pusat Malang – dulu masih berbentuk kadipaten, membangun pusatnya sesuai filosofi catur tunggal. Konsepsi catur gatra tunggal dikenal sebagai model pembangunan alun-alun pada lumrahnya pusat pemerintahan Hindu sampai Islam Jawa tempo dulu. Kalau Anda berkunjung ke kota atau kabupaten-kabupaten di Jawa, masih ditemukan struktur kawasan yang begini: suatu alun-alun, dikitari masjid atau rumah ibadah di sisi barat; keraton atau kantor di sisi timur; pasar atau pusat keramaian di sisi selatan; dan di utara biasanya adalah pusat keamanan.

 

Filosofi pusat kekuasaan yang semacam ini disebut-sebut perwujudan dari kesetimbangan makrokosmos dan mikrokosmos, dunia dan akhirat. Sehingga alun-alun, masjid, dan keraton semacam punya “koneksi”. Alun-alun menjadi ruang kekuasaan atau perluasan ritual keagamaan dari rumah ibadah di dekatnya.

 

Dengan mulainya pendudukan kolonial, alun-alun berubah menjadi lebih memiliki fungsi administrasi, bisnis juga politis Belanda. Untuk kasus Malang, hal ini dapat dilihat dari pembangunan Javasche Bank (kini Bank BI Malang) dan Palace Hotel (sekarang Hotel Pelangi). Terjadi desakralisasi alun-alun menjadi sekadar ruang publik terbuka. Ketika alun-alun dengan ragam fasilitasnya sudah tidak lagi menjadi arena kepentingan ritual pemerintah, dan berangsur menjadi public space, maka mulailah terjadi perubahan fungsi alun-alun yang “terhubung” dengan kantor atau masjid agung, menjadi memiliki fungsi yang terpisah.

 

Sebagaimana disinggung di atas, bagi kultur urban modern, alun-alun lebih dipahami sebagai public atau community plaza. Apalagi seperti proses yang terjadi pada lumrahnya kawasan perkotaan, terjadi penyusutan lahan-lahan terbuka menjadi daerah pemukiman dan industri.

 

Bentuk ruang terbuka yang menjadi kebutuhan masyarakat urban adalah kawasan hijau. Kota Malang memiliki beberapa ruang terbuka hijau (RTH) yang kerap dijadikan orang berkumpul, baik itu taman atau hutan kota. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Malang nomor 4 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2010-2030, bahwa target luasan ruang terbuka hijau (RTH) seluas 20 persen dari wilayah kota – meski menurut salah satu pemberitaan pada bulan September 2021 dari Radar Malang, luas RTH publik Kota Malang yang tercapai baru 4 persen, termasuk Alun-Alun Merdeka Malang ini.

 

RTH memiliki fungsi yang cukup penting secara sosiologis maupun ekologis. Fungsi sosial itu seperti bentuk sarana olahraga maupun ruang bermain, sampai fungsi ekologis sebagai tempat serapan air tanah, perlindungan maupun pembudidayaan tanaman, juga menjadi ‘paru-paru’ atau kantong oksigen perkotaan, yang kian padat oleh pemukiman dan industrialisasi.

 

Pascarenovasi alun-alun Malang terakhir kurun 2015-2016, beberapa pohon beringin yang terlalu besar menjuntai dipangkas untuk mengusir kesan singup. Ruang bermain anak dibikin dengan sertifikasi dari Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), jalur jogging dibuat, disediakan layanan Wi-Fi. Pedagang dilarang mangkal di dalam alun-alun, dan ada larangan merokok dengan plang milik Dinas Lingkungan Hidup untuk menguatkan kesannya sebagai kawasan hijau ramah lingkungan.

 

Fungsi alun-alun sebagai RTH di atas agaknya mungkin berada di luar bayangan konsepsi alun-alun dalam catur tunggal. Perubahan alun-alun menjadi ruang terbuka hijau yang steril dari kerumunan bisnis atau ritual tentu memiliki implikasi. Alun-alun dan masjid, di beberapa daerah non-urban masih dipandang sebagai entitas yang terhubung dalam aktivitas pemerintah dan keagamaan, semisal upacara pegawai, festival daerah, perayaan kurban, atau majelis pengajian besar. Namun perubahan fungsi alun-alun Malang yang menjadi kawasan hijau, berdampak pada hubungannya dengan Masjid Agung Jami’ yang tidak terlalu “terkoneksi” lagi, dan bergerak sesuai fungsinya masing-masing. Apakah ini juga terjadi di daerah Anda?

 

Muhammad Iqbal Syauqi, alumnus Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences; berdomisili di Malang.