Fragmen

Ketika Gus Dur Menangis Lihat Kitab Etika Aristoteles

Sab, 12 Maret 2016 | 06:25 WIB

Dalam kesempatan sambutan ketika silaturrahim ke Pondok Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber Wonosobo, Jawa Tengah tahun 2000, Gus Dur yang waktu itu sedang menjabat sebagai Presiden RI menceritakan bahwa pada tahun 1979 dirinya pernah berkunjung ke Maroko. 

Di salah satu masjid negara setempat ia mendapati sebuah kitab terjemahan arab, yaitu kitab etika karangan Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno. 

Kitab yang berisi tentang materi etika atau akhlak tersebut terletak di sebuah bejana kaca ruang hampa udara. Itu dimaksudkan supaya bisa tahan lama, karena kitab dimaksud ada sejak zaman permulaan Islam.

Menyaksikan kitab langka yang berada di bejana kecil itu, Gus Dur menangisinya. Melihat Gus Dur menangis terharu, imam masjid setempat bertanya:

"Kenapa anda menangis,” tanya sang imam masjid.

"Kalau bukan karena kitab ini, saya tidak akan jadi muslim," jawab Gus Dur.

Lewat cerita di atas Gus Dur menyimpulkan bahwa akhlaknya para kiai dan ulama Indonesia yang selama ini dipraktikkan itu bersumber tidak hanya diambil dari nilai-nilai saja, melainkan juga diambil dari nilai-nilai dan etika sebelumnya. Dia mencontohkan, Aristoteles lahir 1200 tahun sebelum Islam. Kalau tidak karena kitab ini, kata Gus Dur, dirinya tidak akan jadi seorang muslim.

Karena menurut Gus Dur, seorang muslim adalah yang menerapkan nilai-nilai dan etika Islam yang ditujukan untuk mewujudkan kebaikan bersama dan keadilan di tengah masyarakat. Bukan muslim yang hanya menonjolkan simbol-simbol Islam, tetapi jauh dari nilai dan etika Islam rahmatan lil 'alamin.

Pada kesempatan pidato itu Gus Dur juga bercerita, dirinya  sering ditanya orang tentang perbedaan Islam di Indonesia dengan Islam di negara lain. Menurut Gus Dur, Islamnya sama, tetapi perwujudan dan manifestasinya itu yang lain-lain.

"Yang membedakan adalah adanya tradisi keulamaan (di Indonesia) yang diambil dari Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yaitu tradisi LSM yang bergerak di luar pemerintahan. Dalam istilahnya Taufik Abdullah yaitu tradisi multikratonik," jelas Gus Dur.

"Ada kraton pusat yang memegangi satu tata nilai, namun tidak sampai mematikan tata nilai di pondok-pondok pesantren, di padepokan-padepokan kejawen, dan di pasturan," tambahnya. 

Dengan kata lain, menurut Gus Dur, hal semacam itu adalah ungkapan dari apa yang kita miliki bersama sebagai bangsa Indonesia. Dan ini menjadi inti dari keputusan muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, sepuluh tahun sebelum Indonesia merdeka.

Karena itu, dalam pandangan Gus Dur, Islam di Indonesia dapat berkembang dengan baik, tanpa harus melalui bermacam-macam hal. Sedangkan sekarang (tahun 2000) terpampang di hadapan kita, adanya bahaya kalau agama dijadikan alat politik untuk mencapai sesuatu. Maka jadinya seperti di Maluku, saat terjadi konflik hebat bermuatan SARA.

"Karena itu, kita harus berhati-hati jangan sampai agama jadi alat politik. Partai politik berdasar agama boleh-boleh saja. Tetapi partai politik harus mendasarkan programnya  pada kepentingan nyata masyarakat. Bukan pada ajaran agama yang resmi. Jadi agama dalam pelaksanaanya bukan dalam perumusannya,” tutur Gus Dur. (M Haromain)

Disarikan dari:
Tabloid POLES, edisi 09 (10 September 2000)
Elis Suyono dan Samsul Munir Amin, Biografi KH Muntaha Alhafidz: Ulama Multidimensi, Penerbit UNSIQ Wonosobo dan Pesantren Al-Asy'ariah Kalibeber.