Fragmen

Ngaji Pasaran Shahih Bukhari Bersama Hadhratussyekh Selama Ramadhan

Jum, 24 April 2020 | 09:15 WIB

Ngaji Pasaran Shahih Bukhari Bersama Hadhratussyekh Selama Ramadhan

Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari. (NU Online)

Tradisi ngaji pasaran di pesantren, mushola, dan masjid lazim dilakukan ketika bulan suci Ramadhan tiba. Biasanya dalam tradisi ngaji pasaran tersebut, seorang kiai atau ustadz beserta para santrinya menentukan satu kitab yang hendak dikhatamkan selama bulan Ramadhan.

Tradisi ngaji pasaran sudah berlangsung lama di pesantren dan menyebarluas di tengah masyarakat melalui masjid, mushola, madrasah diniyah, dan lain-lain. Seperti yang juga dahulu dilakukan oleh Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, KH Hasyim Asy’ari biasa menggelar ngaji pasaran kitab Shahih Bukhari dan menamatkannya selama bulan Ramadhan.

Di pesantren mana pun, kitab hadits tersebut biasa dibaca. Namun ketika Hadhratussyekh yang membaca kitab Shahih Bukhari, kiai-kiai dan para santri dari luar daerah berduyun-duyun untuk mondok di Tebuireng karena ingin mendengarkan KH Hasyim Asy’ari membaca kitab Al-Bukhari.

Memang, dari banyak ilmu yang dimiliki KH Hasyim Asy’ari, beliau paling menonjol sebagai seorang ulama ahli hadits. Orang yang pernah melihat sendiri cara Hadhratussyekh membaca kitab Shahih Bukhari, mengatakan bahwa beliau sebenarnya telah hafal seluruh isi kitab hadits masyhur ini seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri.

Orang-orang yang belajar kitab Al-Bukhari di hadapan KH Hasyim Asy’ari merasa puas, selain belajar dari guru yang terpandang, juga karena paling tidak dapat menikmati suasan Ramadhan bersama KH Hasyim Asy’ari di pesantrennya, Tebuireng.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013: 202) juga mengungkapkan cerita yang didapatkannya dari para ulama alumnus Tebuireng, Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari—seperti kebanyakan ulama di Indonesia—termasuk golongan fuqaha. Artinya orang yang sangat dalam penguasaannya tentang ilmu-ilmu keislaman.

Dalam redaksi lain, Kiai Saifuddin Zuhri mengatakan, sudah menjadi wiridan (kebiasaaan rutin) tiap bulan Ramadhan, Hadhratussyekh membaca kitab hadits al-Bukhari, kitab kuning berisi himpunan hadits Nabi Muhammad sebanyak 7.275 hadits.

Kepakarannya terlihat bukan hanya ketika ia membaca kitab hadits dengan cermat dan cepat, tetapi juga ketika Hadhratussyekh mengontekstualisasikan dengan dinamika kehidupan dan perubahan zaman.

Zuhairi Misrawi dalam Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, Kebangsaan (2010) merupakan salah satu pemilik sanad Kitab Hadits Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Ini menunjukkan bahwa KH Hasyim Asy’ari telah hafal ribuan hadits yang diperoleh dari guru-gurunya dengan sanad keilmuan yang jelas. Geneologi atau sanad sebuah kitab tidak bisa diijazahkan kepada seseorang tidak menguasai dan memahami kitab tersebut.

Perihal Kiai Hasyim Asy’ari yang telah hafal ribuan hadits ini ditegaskan oleh Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh (2019).
 
Bahkan menurut Kiai Ubaidullah, kealiman Kiai Hasyim Asy’ari mendekati tingakatan seorang mujtahid. Mujtahid dapat dikatakan ialah orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur'an dan Hadits.

Meskipun hafal ribuan hadits dan kealimannya mendekati level mujtahid, Kiai Hasyim Asy’ari masih memberikan ruang musyawarah dengan kiai-kiai di Jawa dan Madura seperti misalnya saat mencetuskan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 dalam rangka melawan agresi militer Belanda II.

KH Hasyim Asy'ari rahimahullah yang hafal beribu-ribu hadits, kealimannya mendekati mujtahid, tetapi untuk mengumumkan Fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang telah beliau tulis masih mengundang ulama se-Jawa dan Madura. Hal ini merupakan teladan dan bentuk sikap tawadhu’ karena konteks perjuangan saat itu membutuhkan gagasan, pikiran, dan perjuangan kolektif seluruh elemen bangsa.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi