Fragmen

NU Menjadi Inisiator Pembentukan Liga Muslimin Indonesia

Jum, 2 September 2022 | 13:00 WIB

NU Menjadi Inisiator Pembentukan Liga Muslimin Indonesia

NU berada dan menjadi salah satu inisiator Liga Muslimin Indonesia setelah menyatakan keluar dari partai Masyumi pada 1952.

Pada 30 Agustus 1952 atau 70 tahun yang lalu, 3 partai politik membentuk Liga Muslimin Indonesia. Tiga parpol itu adalah Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Sarekat Islm Indonesia (PSII). Belakangan, Darud Dakwah wal Irsyad (DDI), sebuah ormas Islam di Sulawesi, dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia (PTII) bergabung dengan liga tersebut.   


Peristiwa pembentukan liga itu diabadikan koran Merdeka edisi 30 Agustus 1952. Koran itu menulis pada berita berjudul Penggabungan 3 Partai Hari Ini Diresmikan: 


Oleh: Korespondensi Kita Sendiri: 


Djakarta, 30 Agustus: 


Hari ini djam 9 pagi diadakan upacara peresmian penggabungan atau federasi dari 3 partai: Nahdlatul Ulama, PERTI, PSII dengan bertempat di ruangan muka gedung Parlemen. 


Ditetapkan hari ini sebagai hari peresmian dari federasi ketiga partai itu, menurut keterangan dari kalangan PERTI ialah dimaksudkan supaya bersamaan harinya dengan wukuf di Padang Arafah, dalam bulan dari Hari Raya Haji tahun ini. 


Upacara peresmian penggabungan partai-partai ini mendapat kunjungan dari hampir semua kalangan di Jakarta dan kalangan pemerintah.  


NU berada dan menjadi salah satu inisiator Liga Muslimin Indonesia setelah menyatakan keluar dari partai Masyumi pada 1952. Sikap dan keputusan NU tersebut merupakan salah satu dari keputusan muktamar ke-19 di Palembang pada 1951. Lalu, NU menjelma menjadi partai politik dari tahun itu hingga 1984.   


Tentang peristiwa itu, sejarawan NU, H Abdul Mun’im DZ menjelaskan bahwa saat NU di Masyumi hanya digunakan sebagai pendulang suara. Lalu, ketika keluar dari Masyumi, NU dituduh sebagai pemecah-belah ukhuwah Islamiyah. 


Padahal apa yang dilakukan NU bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, PSII sudah melakukannya terlebih dahulu. Tak hanya itu, Perti dan beberapa partai kecil lainnya, juga tak mau bergabung dengan Masyumi. 


Jadi, menurut Mun’im, terbantahkan sudah tuduhan itu.  


Sementara, menurut KH Saifuddin Zuhri, NU terpaksa keluar dari Masyumi, dan dilakukan dengan secara demokratis. Dalam bukunya, Secercah Dakwah (1983), ia mengatakan, NU memutuskan berpisah dengan partai yang turut didirikannya itu karena ketidakcocokan mengenai sturktur organisasi dan praktik demokrasi yang, menurut keyakinan NU, sangat merugikan perjuangan Islam dan umum. 


Kiai Saifuddin Zuhri memberikan catatan bahwa NU keluar dari Masyumi adalah pilihan paling terakhir setelah berunding berulang-ulang, mengirimkan delegasi berkali-kali. Namun tanpa hasil. Hal ini jalan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dilakukan partai lain waktu itu ketika melakukan pisah jalan. Bersatu dengan seluruh elemen umat Islam adalah cita-cita NU. Terpaksa keluar dari sebuah perkumpulan mana kala hal prinsipil tidak terpenuhi.  


“Bagi umat Islam, menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang,” tulis Kiai Saifuddin di buku yang sama.  


KH Abu Bakar Aceh dalam buku Sejarah Hidup KH A. Wahid Hasyim menceritakan proses berdirinya Liga Muslimin Indonesia pada tanggal 30 Agustus 1952. KH A. Wahid Hasyim dari NU terlebih dahulu mendapatkan kesempatan pertama untuk berpidato. Ia menekankan pentingnya persatuan bangsa, khususnya di kalangan umat Islam yang kala itu terkotak-kotak karena perbedaan pemahaman dan bahkan pilihan politik.  


“... Pada hari Arafah seperti pada hari Arafah sekarang, 1360 tahun yang lalu, junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW, berdiri di Padang Arafah, di dalam pertemuan sedunia oleh umat Islam kala itu. Maka sesungguhnya, merupakan nikmat dan rahmat dari Allah SWT yang besar sekali bagi kita, bahwa pada hari yang bersejarah seperti hari Arafah ini, kita sekalian berkumpul di sini mengeratkan persaudaraan Islam yang telah ada dalam jiwa kita, dengan ikatan lahir berupa organisasi, ialah Liga Muslimin Indonesia!” tegas Kiai Wahid.  


“Dalam keadaan hidup perseorangan yang tidak mempunyai ikatan sesama jamaahnya demikian itu, tidaklah heran apabila tiap-tiap orang Islam lalu tenggelam dan terseret oleh aliran-aliran dan golongan-golongan lain dengan tidak sadar dan insaf. Dan bukanlah pada suatu hal yang tidak masuk di akal, kalau propaganda penjajahan yang pada suatu masa pernah dijalankan oleh golongan yang berkepentingan, kadang-kadang masih mendapatkan telinga yang suka mendengarkannya, disebabkan hilangnya ikatan sesama jamaah itu.” lanjut Kiai Wahid.  


Setelah Kiai Wahid, pidato selanjutnya disampaikan perwakilan dari Perti, yakni Tuan Guru KH Sirajuddin Abbas dan PSII Abikusno Tjokrosuroso, yang keduanya juga kembali menegaskan pentingnya untuk mempererat persatuan antarumat Islam.   


Pada 1955, NU turut serta dalam pemilihan umum untuk pertama kalinya. Saat itu, NU berhasil mendulang 6.955.141 suara (18,41 persen) dan berhasil mengirimkan 45 wakil duduk di kursi parlemen.


Penulis: Abdullah Alawi

Editor: Fathoni Ahmad