Fragmen HARLAH PANCASILA

Pancasila dan Kontribusi NU dalam Perumusannya

Rab, 1 Juni 2022 | 11:30 WIB

Pancasila dan Kontribusi NU dalam Perumusannya

Ilustrasi: NU dan Pancasila. (Foto: NU Online)

Nahdlatul Ulama menaruh peran penting dalam perumusan dasar negara ini melalui kader-kader terbaiknya, di antaranya adalah KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masykur. Keduanya telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya bagi negeri ini. Kiai Wahid ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 24 Agustus 1964 melalui Keppres Nomor 206 Tahun 1964, sedangkan Kiai Masykur ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2019 melalui Keppres Nomor 120/TK/2019.


Keduanya yang masih sangat muda di zaman itu sudah aktif berperan dalam forum-forum penting dalam mempersiapkan negara yang diimpikan melalui Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bahkan Kiai Wahid yang lahir pada 1 Juni 1914 itu menjadi anggota termuda di dalamnya.


Meskipun ia menjadi anggota yang terhitung paling muda, sosoknya menjadi salah satu yang diperhitungkan. Hal itu tidak lain karena kecerdasan dan kealimannya yang di atas rata-rata berkat didikan kedua orang tuanya, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah, serta pengembaraan keilmuannya di berbagai daerah, hingga ke Makkah. Hal ini terbukti dengan pelibatannya bukan hanya sebagai anggota BPUPKI, tetapi juga sebagai salah satu Panitia Sembilan bersama Soekarno, Mohammad Hatta, Abdoel Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Yamin, AA Maramis, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoeyoso, dan Haji Agoes Salim.


Dengan keterlibatannya pada BPUPKI dan Panitia Sembilan, tentu dua tokoh NU itu menaruh peran penting di dalamnya, termasuk dalam perumusan Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Bahkan, di luar forum itu, Kiai Wahid dan KH Masykur pernah terlibat diskusi panjang bersamanya dengan Soekarno, Mohammad Yamin, dan Kahar Muzakkir. Pada penghujung Mei 1945, di kediaman Yamin, para pendiri negeri itu berdiskusi mulai pukul 19.00 hingga 04.00 Subuh.


Pada kesempatan tersebut, Kiai Wahid dan Kiai Masykur menaruh sumbangsih penting dalam meletakkan diksi adil pada sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini diceritakan Kiai Masykur dalam sebuah wawancara pada 1 Oktober 1988 yang dikutip Andree Feillard dalam NU vis a vis Negara (1999), sebagaimana dikutip ulang Zudi Setiawan dalam tulisannya di Jurnal Spektrum Vol 18, Nomor 2, 2021, berjudul Peran Tokoh Nahdlatul Ulama dalam Proses Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Berikut petikan wawancaranya.


Lantas kita (Kiai Masykur), sama Wahid Hasyim, kita…: “Kemanusiaan boleh, tapi mesti yang adil. Jangan sendiri boleh, tak diapa-apakan, kalau orang lain yang salah dihantam. Tidak adil itu. Kalau Siti Fatimah mencuri, saya potong tangannya: Siti Fatimah putri Rasulullah. Jadi harus adil. Biar anaknya, kalau salah, ya salah. Dihukum bagaimana. Ini Islam. Ya, benar, benar ini memang.


Dari kutipan tersebut, tampak jelas bahwa dua tokoh NU meletakkan nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila. Adil sebagai nilai keislaman menjadi ruh dan jiwa Pancasila. Untuk meyakinkan bahwa kemanusiaan itu harus adil, Kiai Wahid dan Kiai Masykur menceritakan sebuah hadits Rasulullah yang tak segan akan memotong tangan Sayyidah Fathimah Az-Zahra jika terbukti mencuri.


Selain itu, hal lain yang menjadi sumbangsih penting NU dalam merumuskan Pancasila adalah jumlah poin yang disepakati. Kiai Masykur dan Kiai Wahid, serta perwakilan umat Islam lain menegaskan bahwa poin-poin dasar negara itu harus berjumlah lima, tidak perlu ditambah. Hal ini agar sama dengan jumlah rukun Islam.


Kesimpulan lima tadinya mau ditambah, tapi kita umat Islam mengatakan, rukun Islam itu lima, jadi lima ini saja bisa dikembangkan satu per satu, tetapi jangan ditambah, hitungannya supaya bisa lima. Ramai… dari jam 7 malam sampai jam 4 pagi, sampai subuh. Ini dijadikan oleh Bung Karno.


Dengan begitu, Kiai Masykur dan Kiai Wahid menegaskan bahwa Pancasila dirumuskan dengan tanpa sedikit pun menafikan nilai-nilai keislaman. Meskipun tidak secara eksplisit mendasarkan negara ini pada Islam, tetapi nilai-nilai Islam menjadi kandungan penting bagi Pancasila. Artinya, Islam menjadi pondasi bagi negara ini.


Penulis: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad