Fragmen

Pengorbanan Mbah Ma’shum Lasem saat Pemberontakan PKI

Kam, 2 Juni 2016 | 08:00 WIB

Berbicara mengenai sifat-sifat dermawan dan sosial, sifat-sifat terbuka dan berterus terang, sifat-sifat satu kata dengan perbuatan, sifat-sifat kemauan keras dan berani tetapi cukup supel dan penuh toleransi yang terdapat dalam diri pribadi almarhum Mbah Ma’shum, belum sempurna dan tidaklah adil bilamana tidak ditonjolkan pula dua peristiwa besar yang hendak diutarakanberikut ini.

Peristiwa pertama adalah peristiwa pemberontakan PKI yang dikenal kemudian dengan nama G 30 S/PKI* pada tahun 1965. Sebab, peristiwa-peristiwa besar itu sangat berkesan di hati masyarakat. Suatu kesan yang benar-benar terpatri dalam benak kita bersama, khususnya di hati umat Islam dari aliran dan golongan apa dan mana pun.

Pada waktu itu sejarah telah mencatat, kompleks Pondok Pesantren Al Hidayat maupun mushala dan kediaman Mbah Ma’shum telah berubah seluruhnya menjadi markas besar pertahanan bagi pengikut-pengikut paham Pancasila. Mereka adalah pegawai dan pejabat pemerintah, maupun pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan partai-partai lain, terutama umat Islam, khususnya orang-orang NU dengan Ansor dan Bansernya.

Masih segar untuk dikenang bahwa pada waktu itu semua kamar-kamar santri di bagian atas terkunci pintu-pintunya, tetapi terbuka jendela-jendelanya. Sebab, dalam kamar-kamar di bagian atas seluruh kompleks pondok pesantren itu terisi penuh dengan senjata mesin yang mulutnya sudah dihadapkan ke timur dan ke barat, menantikan datangnya serangan-serangan G 30 S/ PKI yang dipimpin dan dikoordinasi seluruh kekuatannya oleh Moh Asik, oknum Komandan Koramil di Lasem pada waktu itu.

Dikarenakan berubahnya Pondok Pesantren Al Hidayat menjadi markas besar pertahanan pembela-pembela paham pancasila, itulah maka menjadi praktis dan otomatis, bahwa Fatayat dan Muslimat memegang peranan penting dalam dapur umum di rumah kediaman Mbah Ma’shum, yang selama 24 jam terus-menerus bekerja keras menyuplai konsumsi yang diperlukan oleh pahlawan-pahlawan pembela paham Pancasila, di kala itu.

Tidak dimengerti oleh penulis, dari mana didapat bahan-bahan pokok keperluan dapur umum yang kemudian diolah oleh tangan-tangan halus Fatayat dan Muslimat yang siang malam secara nonstop memberikan suplai konsumsi kepada ratusan orang. Tetapi yang jelas bahwa Mbah Ma’shum berkenan banyak mengobral harta bendanya untuk konsumsi ini habis-habisan.

Dalam mengenang kembali kesibukan-kesibukan di dapur umum ini tak boleh dilupakan jasa-jasa Fatayat dan Muslimat di bawah pimpinan putri Mbah Ma’shum, Nyai Azizah, seorang Ibu Muslimat yang pada setiap saat perjuangan memerlukan, pasti tampil ke depan tidak mengenal lelah.

Tidak sepatutnya diungkapkan di sini bahwa di kala itu banyak para pejabat-pejabat yang setiap malam datang bermalam dan tidur dengan aman di ruang atas pondok pesantren, terutama Dandis Kepolisian Negara di Lasem di saat itu, Saudara S. Daryo. Bahwa mulut usil berani menyatakan bahwa jalannya pemerintahan di Lasem pada waktu itu, praktis berkedudukan di Kompleks Pondok Pesantren Al Hidayat, di bawah perlindungan doa Mbah Ma’shum sebagai ulama besar dan tertua yang disegani dan ditaati. Di sana mereka mengolah roda pemerintahan. Dari sana mereka meronco dan mengeluarkan instruksi dan pengumuman-pengumuman. Dan dari sana pula mereka mengkoordinasi seluruh potensi untuk mengganyang G 30 S/PKI.

Tidak juga perlu dibuka rahasia almarhum Mbah Ma’shum yang untuk sementara waktu harus dan terpaksa berpisah dari keluarganya, karena dibawa lari oleh beberapa  anak didiknya di pagi-pagi buta ke suatu tempat yang aman. Walaupun pada mulanya Mbah Ma’shum ingin tetap bertahan di rumah dan ingin bersama-sama anak buahnya mempertahankan Kota Lasem, namun hasil musyawarah dengan stafnya menentukan: mempersilahkan beliau untuk sementara waktu dihijrahkan. Sebab strategi dan taktik perjuangan di kala itu menghendaki demikian. Menghendaki Mbah Ma’shum melakukan perjalanan penuh rahasia ke seluruh pelosok desa dan kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, guna memberikan spirit keberanian dan ketahanan daya juang kepada umat Islam, untuk melakukan jihad penumpasan sehabis-habisnya sampai seakar-akarnya kepada pemberontak-pemberontak G 30 S/PKI.

Dan kepergian Mbah Ma’shum melakukan perjalanan sejauh itu adalah dengan pertimbangan-pertimbangan, agar beliau dengan lebih leluasa bergerak memberikan indoktrinasi kepada umat. Lebih banyak diambil manfaatnya oleh umat. Dan tidak menghabiskan waktu, pikiran, dan fatwanya hanya untuk masyarakat di Lasem. Sebab, almarhum Mbah Ma’shum bukan milik umat Islam di Lasem saja, bukan milik umat di seluruh Kabupaten Rembang saja, tetapi milik umat di seluruh kepulauan ini, di mana murid-muridnya yang sudah menjadi ulama dan pemimpin-peminpin tingkat nasional banyak tersebar luas di seluruh penjuru tanah air, yang mereka ini pun dalam situasi gawat. Yang demikian itu tentu membutuhkan bimbingan tangan kuat dari gurunya.

Mendengar keputusan musyawarah beserta penjelasan-penjelasan dari stafnya itu, Mbah Ma’shum dapat melerai kekerasan hati untuk tetap bertahan di Lasem. Dan untuk kesekian kalinya terpampang kelapangan dada dan toleransinya. Dengan suatu upacara pelepasan yang mengharukan, dipercayakanlah pertahanan Kota Lasem ini kepada tokoh-tokoh Islam, pejabat-pejabat pemerintah sipil, dan Kepolisian Negara (S. Daryo Cs) beserta seluruh santri-santri yang ditinggalkan, di bawah pimpinan putra menantu Kiai Ali Nu’man.

Musyawarah memutuskan lebih lanjut bahwa santri-santri yang membawa dan bertanggung jawab penuh atas keamanan perjalanan Mbah Ma’shum adalah pemuda-pemuda Abdul Chamid bin Suratman (asal Jepara) dan Machfudz (asal Tulungagung). Pemuda pemberani yang dengan semangat menyala-nyala bertekad bulat menerima segala resiko penyerahan Mbah Ma’shum untuk dibawa ke tempat yang lebih aman.

Syahdan, pada suatu malam menjelang Shubuh, pemuda-pemuda Abdul Chamid dan Machfudz ini, sekira jam 02.00 (pagi-pagi buta), dengan kesigapan dan keberanian luar biasa, dengan tekad yang bulat dan semangat menyala-nyala, berkah doa restu dari seluruh yang ditinggalkan, pemuda-pemuda itu berhasil membawa lari Mbah Ma’shum keluar Kota Lasem, dengan berkendaraan becak yang sudah disiapkan lebih dulu dengan pengendara santri-santri pilihan. Setelah tiba di luar Kota Lasem dan melihat situasi aman terjamin, barulah rombongan Mbah Ma’shum dipindahkan ke lain kendaraan oleh pemuda-pemuda gagah berani di bawah pimpinan Abdul Chamid. Dengan demikian, maka keluarnya Mbah Ma’shum dari Kota Lasem tidak didengar dan tidak pula diketahuin oleh pihak lawan. Sampai di sini para pembaca tentu terkenang pada peristiwa yang terjadi dan pernah dialami oleh Rasulullah SAW di kala yang mulia itu terpaksa harus meninggalkan Kota Mekkah, di malam hari dengan pengawalan sahabat karib  Sayid Abu Bakar  Assiddiq RA menuju Goa Hira’, jauh di luar kota di malam buta. Di samping itu tentu kita teringat pula nasib putra menantu beliau Sayyidina Ali kw yang terpaksa ditinggalkan menggantikan tempat yang biasa digunakan oleh Rasulullah SAW dalam beristirahat.

Dari kisah perjuangan almarhum Mbah Ma’shum selama dua bulan selama perlawatan nonstop itu, terlalu panjang untuk diuraikan dalam manaqib singkat ini. Mungkin memerlukan 100 halaman tersendiri. Hanya saja yang perlu dicatat di sini adalah, bahwa selama dalam perantauan yang penuh suka dan duka itu selalu terdapat kontak dengan Markas Besarnya di Lasem. Dan bahwa sewaktu dua bulan kemudian Mbah Ma’shum tiba kembali di Lasem, baru diketahui korban-korban yang jatuh akibat peristiwa pengganyangan terhadap G 30 S/ PKI di Lasem. Dan baru dimengerti, bahwa oknum Koramil Moh Asik yang semula ingin memberondongkan senapan-senapan mesinnya kepada para santri-santri itu, sudah dapat diringkus, ditangkap, kemudian ditahan dalam penjara di Ambarawa. Sampai dimana kemudian vonis yang sudah dijatuhkan oleh Pengadilan Militer setempat terhadap tokoh berat militer  dari G 30 S/PKI itu, sampai kini orang belum mendengarnya. Bahkan jalannya sidang  Pengadilan Militer setempat yang tentunya berhak penuh mengadili perkara pemberontakan tersebut, pun belum pernah diberitakan orang.

Almarhum Mbah Ma’shum menerima berita laporan itu dengan tidak sungguh-sungguh. Sebab, diadili atau tidak diadili, sudah divonis atau belum divonis, itu adalah tanggung jawab pemerintah. Namun demikian, Mbah Ma’shum menerima semua laporan itu dengan perasaan lega, bahwa kemenangan terakhir berada di tangan pihaknya. Di tangan umat Islam. Di tangan pembela-pembela paham Pancasila. Di tangan santri-santrinya. Di tangan pemuda-pemuda Ansor dan Bansernya. Alhamdulillah.

Abdullah Hamid, Pesantren Budaya Asmaulhusna (SAMBUA)

*Penyebutan peristiwa pemberontakan PKI yang dikenal kemudian dengan nama G 30 S/PKI pada tahun 1965 dikutip dari Buku Manaqib Mbah Ma’shum sesuai aslinya karya Sayyid Chaidar yang diterbitkan  tahun 1973 oleh penulis, Abdullah Hamid, atas nasihat KH M Zaim Ahmad dan KH Syihabuddin Ahmad Ma’shoem. Pencetakan ulang oleh pihak lain tanpa menyebut PKI adalah pemalsuan sejarah.