Fragmen

Penyebab Bencana Kabut Asap Selama Berabad-abad Silam

Sel, 24 September 2019 | 05:10 WIB

Penyebab Bencana Kabut Asap Selama Berabad-abad Silam

Perusahaan membakar hutan di Gala-Gala, Tapanuli tahun 1933. (Foto: KITLV via Historia)

Bencana kabut asap, khususnya di Indonesia kerap kali terjadi dan hampir setiap tahun mendatangi sebagian kawasan Pulau Sumatera dan seluruh wilayah Pulau Kalimantan. Ironisnya, tragedi yang terjadi setiap tahun ini seolah tidak menjadi pelajaran bagi pihak-pihak terkait (stakeholders), baik masyarakat maupun pemerintah untuk menanganinya secara taktis dan strategis.

Bahkan, bencana kabut asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukan hanya terjadi beberapa 20 tahun belakangan, tetapi juga sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Asap pekat yang sudah sering membumbung, pernah dicatat para pejabat kolonial Hindia-Belanda dan para pengelana.
 
Kisah William Marsden dalam History of Sumatra yang pertama kali terbit tahun 1783 menjadi pintu gerbang dalam memahami sejarah kabut asap di Nusantara. Dikutip dari Historia, Marsden pernah bertugas sebagai pegawai sipil di East India Company (Kongsi Dagang Inggris) yang berpusat di Bengkulu pada 1771 hingga 1779. Selama itu, dia berkelana meneliti etnografi dan kebiasaan suku-suku bangsa yang ada di Pulau Sumatera.
 
Dalam proses kelananya itu, Marsden mendapati pada April-Mei, jelang musim kemarau, petani telah memilih dan menandai hutan untuk ladangnya. Masyarakat memilih cara cepat meratakan pohon-pohon besar di hutan dengan memercikan api dari penggosokan dua potong kayu kering.
 
Pada 6 Juli 1863, kapal Josephine membongkar sauh di Kuala Sungai Deli. Kapal tersebut membawa Jacobus Nienhuijs, wakil-wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen & Co. (perusahaan tembakau Belanda di Surabaya), seorang pangeran bernama Said Abdullah Ibnu Umar Bilsagih dan para pemilik kapal tersebut.

Kedatangan Nienhuijs dkk, sekaligus memulai babak baru Deli, menjadi pusat perkebunan di Timur. Lands Dollar, begitu media barat menyebutnya. Sultan Deli menyewakan tanah dan hutan di Sumatera Timur untuk dikavling-kavling menjadi perkebunan tembakau. Selanjutnya berubah menjadi perkebunan karet dan sawit.
 
Liberalisasi perkebunan semakin tumbuh subur seiring keluarnya Undang-Undang Agraria tahun 1870. UU ini memberikan perlindungan pada para pengusaha yang akan menginvestasikan modal mereka, khususnya di sektor perkebunan dan pertambangan. UU ini menjamin ketersediaan tanah untuk dikelola.
 
Meski lahan dan hutan Sumatera dikapitalisasi, tetapi pola pembukaan lahan dan hutan untuk perkebunan tetap dengan metode nenek moyang, yaitu dibakar. Belum bergesernya sistem peladangan tersebut, dikatakan Eri Gas Ekaputra, ahli teknik tanah dan air Universitas Andalas, karena membakar adalah cara murah dan efektif dalam membuka ladang. Di sisi lain, pengawasan lemah, izin murah, dan tidak ada regulasi yang tegas.
 
"Di timur Sumatera, karena tanahnya datar, sehingga bisa diblok-blok. Tidak perlu minyak yang banyak, karena gambut. Cukup satu drigen miyak tanah, 500 ha bisa terbakar," ucap Eri. "Pengusaha tentunya mau untung besar. Efeknya tidak dipedulikan. Kalau rakyat membuka lahan tidak segini efeknya. Ini kan perkebunan."

Solusi yang bisa dikedepankan, sebut Eri, mekanisasi pertanian, artinya memakai alat-alat teknologi pertanian. Misal mesin pemotong rumput, kayu alat shinshaw, pakai alat berat (ekskavator). Tapi biayanya memang tinggi,
 
Eri mengatakan, secara mekanisasi, sebetulnya nenek moyang telah menerapkannya. Persis dengan temuan lain Marsden dalam kelananya di Sumatera. Di beberapa daerah Sumatera, sebetulnya pembukaan ladang cukup ramah lingkungan, tidak menebarkan bencana.

Madelon Szekely- Lulofs (1899-1958), istri Laszlo Szekely, sang pemilik perkebunan di Asahan tahun 1918-1930, berkisah, asap cokelat kusam mewarnai cakrawala. Panas terasa bagai lelehan metal yang turun dari langit.
 
"Menjelang siang, hutan di belakang rumah dibakar. Pada siang hari yang tidak berangin, lidah api tampak tegak bagaikan pilar-pilar di tengah kepulan asap yang pelan-pelan naik ke udara membentuk kabut keabu-abuan yang mulai menutupi langit," cerita Madelon dalam Sumatera Tempo Doeloe- dari Marco Polo sampai Tan Malaka suntingan Anthony Reid. Anthony Reid sendiri menulis dua jilid buku berjudul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1860. 
 
Jauh sebelum swastanisasi tanah Deli, masyarakat di sana sudah membiasakan pembakaran sebagai sistem pengelolaan pertanian. "Petani-petani ladang telah melakukan pembukaan dan pembakaran hutan pada musim kering yang akan digunakan menanam umbi-umbian, sayur-mayur, tebu, dan pisang," tulis Iyos Rosidah dalam tesis Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930 dikutip Historia.

Indonesia selalu dilanda kabut asap pada musim kemarau setiap tahunnya. Namun, kabut asap di tahun 2015 disebut NASA sebagai yang paling parah akibat fenomena El Nino.
 
Polusi asap ini terjadi akibat kebakaran hutan di beberapa provinsi yang ada di Sumatra, antara lain Riau, Jambi, Sumatera Selatan, serta dari Pulau Kalimantan. Pada 14 September 2015, status darurat ditetapkan di Riau lantaran tingkat pencemarannya telah melebihi batas berbahaya. Dilaporkan ribuan warga terpaksa mengungsi ke luar wilayah.
 
Tak hanya melanda Indonesia, kabut asap ini bahkan sampai 'diekspor' ke Singapura dan Malaysia. Dilansir dari The Guardian, pemerintah Indonesia menyebut korban tewas dalam peristiwa ini mencapai 19 orang. Sementara itu, Rp300-475 triliun harus digelontorkan untuk mitigasi. Sekolah di wilayah terdampak di Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga ditutup.
 
Saat hujan lebat mengguyur Sumatera dan Kalimantan di akhir Oktober 2015, jumlah kebakaran hutan secara signifikan menurun sehingga kabut asap berangsung-angsur hilang. Peringatan kabut asap di Singapura pun dicabut pada 15 November 2015.
 
Namun, kabut asap ini seakan telah menjadi bencana tahunan tanpa solusi berarti. Pembakaran hutan dan lahan untuk kebutuhan tertentu telah mengabaikan keselamatan masyarakat. Warga secara umum mungkin tidak habis pikir, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa hutan dan lahan dibakar secara sengaja. Para pengambil kebijakan harus bertindak tegas terhadap praktik pembakaran hutan dan lahan yang tidak hanya mengganggu, tetapi juga membunuh ini.
 
Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan