Fragmen

Transportasi Haji: 1978 Berakhirnya Kapal Laut

Sel, 10 September 2019 | 09:30 WIB

Transportasi Haji: 1978 Berakhirnya Kapal Laut

Sejumlah jamaah haji di kapal luat. (Dok. istimewa)

Pada bagian sebelumnya diceritakan bahwa semangat orang Indonesia untuk berhaji sangat tinggi. Dan itu berlaku turun-temurun hingga sekarang sejak ratusan tahun lalu. Hanya saat penjajahan Jepang dan beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, terjadi kekosongan orang Indonesia yang berhaji. 

Setelah Indonesia merdeka dan keadaan normal kembali, semangat orang Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji menguat juga. Pada tahun 1950 misalnya, Indonesia memberangkatkan 10 ribu jamaah haji dengan menggunakan kap laut. Dua tahun berikutnya bertambah menjadi 14 ribu orang. Namun, kapal laut yang mengangkut tidak cukup.   

Menteri Agama RI waktu itu, KH Abdul Wahid Hasyim mencari cara untuk pemberangkatan haji agar umat Islam Indonesia tidak kecewa. Ia pun mencari kapal tambahan dengan mendatangi Jepang. Berikut ini laporan Tempo yang menceritakan upaya dia. 

“Setelah mampir di Bangkok dan Hong Kong, Menteri Agama KH Wahid Hasym tiba di Tokyo pada 1 April 1952. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: mendapatkan kapal murah untuk mengangkut jemaah haji Indonesia ke Tanah Suci,” tulis Tempo. 

Menurut Tempo, setahun sebelum upaya yang dilakukan Kiai Wahid itu, yakni tahun 1951, pemerintah Indonesia memberangkatkan jemaah haji dengan menyiapkan kapal dari Kongsi Tiga dan Inaco, tapi hanya mampu membawa 11 ribu orang. Padahal jumlah peminat haji ada sekitar 14 ribu orang.

“Wahid dan timnya berangkat ke Negeri Sakura untuk mencari kapal tambahan. Setelah 18 hari di sana, akhirnya ia mendapatkan kapal milik maskapai Osaka Sissen Kaisha. Seluruh perjalanan dan perundingannya itu dia laporkan secara terperinci di akhir masa jabatannya,” ungkap Tempo.    

Di tahun yang sama, yakni tahun 1952, Indonesia untuk pertama kalinya memberangkatkan jemaah haji dengan peswat terbang. Namun, ongkosnya dua kali lipat lebih mahal daripada perjalanan laut. Waktu itu, menurut Kompas ongkos naik haji dengan menggunakan kapal laut adalah Rp7.500 sementara pewawat terbang Rp16.691. Oleh karena itu, pebedaan jumlah antara yang menggunakan kapal laut dan pesawat terbang sangat jauh, yaitu 14.031 banding dengan 293 orang. 

Sampai tahun-tahun berikutnya, transportasi calon jemaah haji Indonesia menggunakan kapal laut dan pesawat terbang. Trasportasi yang pertama lebih lama, tapi murah, sedangkan yang kedua, lebih cepat tapi mahal. Namun pada tahun 1970-an, perbandingan jumlah haji laut dan udara tidak terlalu besar. Jemaah haji Indonesia sudah banyak memilih pesawat terbang. Menurut Arsip Kompas yang dimuat Sabtu (7/9), pada tahun 1977 jumlah haji laut sebanyak 7.450 orang, sementara haji udara 12.899 orang. 

Masih menurut Arsip Kompas, pada tahun itu, ongkos kapal laut justru  lebih  mahal dengan waktu tetap saja lama, sementara pesawat terbang lebih murah dan dengan waktu yang lebih cepat. Arsip itu menyebutkan, ongkos naik haji (ONH) laut sebesar Rp795.000, sementara ONH udara Rp690.000. Harga itu kedua ONH itu sama-sama naik di tahun itu. ONH laut 16 persen. ONH udara 29 persen. Dengan demikian, ONH udara lebih murah dan lebih cepat sehingga mempercepat jamaah haji Indonesia yang menggunakan kapal laut beralih. 

Khusus untuk angkutan haji via laut, masih meenurut Arsip Kompas, dilakukan PT Arafat dengan lama perjalanan 30 hari pergi dan pulang. Namun, perusahaan itu, sejak tahun 1970-an, mengalami kesulitan uang. Padahal pemerintah sudah membantunya dengan memberi subsidi dari perjalanan haji udara. Namun, tetap saja tidak perjalanan laut tetap mahal dan waktu lebih lama. Akhirnya tahun 1978, pemerintah menghentikan perjalanan haji dengan trasportasi laut. 

Meski demikian, menurut Arsip Kompas, animo masyarakat untuk berhaji dengan kapal laut masih tetap tinggi. Oleh karena itu, Menteri Agaa Ratu Alamsyah Prawiranegara membuka kesempatan perusahaan kapal laut untuk angkutan jamaah haji. Namun, hingga menjelang musim haji tahun itu, tak ada satu perusahaan pun yang mengajukannya sehingga jamaah haji laut benar-benar berakhir. (Habis)

Penulis: Abdullah Alawi
Editor: Fathoni Ahmad