Fragmen

Saat KH Wahab Chasbullah Pecahkan Kebuntuan Politik dengan Humor

Jum, 30 Agustus 2019 | 04:25 WIB

Saat KH Wahab Chasbullah Pecahkan Kebuntuan Politik dengan Humor

KH Wahab Chasbullah sedang bersantai sambil membaca. (Dok. Perpustakaan PBNU)

Ketika Nahdlatul Ulama masih menjadi bagian dari Masyumi, terjadi perdebatan sengit untuk mengambil sikap terhadap duduk tidaknya Masyumi dalam kabinet yang disusun Bung Hatta. Menjadi persoalan bagi Masyumi karena kabinet Hatta hendak melaksanakan Perjanjian Renville dimana bangsa Indonesia banyak dirugikan secara kewilayahan atau demografis.

NU sejak lama konsisten menolak hasil Perjanjian Renville. Bagitu juga dengan ulama dari berbagai unsur di Masyumi. Seperti yang dilakukan oleh KH Raden Hadjid (Muhammadiyah) yang menolak tegas bergabung dengan kabinet Hatta. Dalam rapat pengambilan sikap tersebut, pendekatan lain justru diambil oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai Wahab mendorong Masyumi untuk menerima tawaran Bung Hatta.

Bagi Kiai Wahab, menerima tawan Bung Hatta bukan berarti menyetujui Perjanjian Renville, tetapi justru agar ulama bisa mempengaruhi dan memperbaiki kebijakan kabinet Hatta dalam setiap pengambilan kebijakan. Logika sederhananya, bagaimana bisa memperngaruhi sistem dan kebijakan pemerintah jika Masyumi berada di luar pemerintahan.

Malam pertama, KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) rapat dipenuhi perdebatan yang cukup sengit sehingga belum bisa mengambil keputusan. Lalu, Sidang DPP Masyumi tersebut dilanjutkan di malam kedua. Di hari kedua sidang tersebut, Kiai Wahab mengusulkan untuk menerima tawaran Bung Hatta.

“Saya usulkan agar kita menerima tawaran Bung Hatta,” ujar Kiai Wahab dengan suara cukup lantang. “Tapi orang-orang kita yang duduk dalam kabinet itu atas nama pribadi sebagai warga negara yang loyal kepada negara. Jadi yang duduk di kabinet itu bukan Masyumi sebagai partai yang tegas-tegas menentang Persetujuan Renville dan Persetujuan Linggarjati!”

Pemikiran Kiai Wahab tersebut mendapat sambutan positif dari pengurus Masyumi. Sebab menurutnya, meskipun secara organisasi menolak Perundingan Renville, tetapi sebagai warga negara tentu tidak bijak ketika negara memanggil untuk melaksanakan tugas kenegaraan namun menolaknya. Tetapi, usulan Kiai Wahab mendapat respon sebaliknya dari Kiai Raden Hajid.

“Loh, alasannya apa kita duduk dalam kabinet yang akan melaksanakan Renville padhal sejak semula kita menolak Renville? Apa ini tidak melakukan perbuatan munkar?” kata Kiai Raden Hajid tidak kalah lantangnya.
 
“Kita tidak hendak melaksanakan perkara munkar, bahkan sebaliknya, kita hendak melenyapkan munkar,” tutur Kiai Wahab merespon reaksi Kiai Raden Hajid.

Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad berupaya mengubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dengan perbuatan. Dengan duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melakasanakan misi tersebut. Kiai Wahab justru menilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pengacau,” tegas Kiai Wahab.

“Tetapi kenapa dulu kita menolak Renville, lalu kini hendak melaksanakannya?” ujar Kiai Raden Hajid kembali mempertanyakan.

“Sejak pertama kita menentang Persetujuan Renville, sekarang dan seterusnya pun kita tetap menentangnya. Tapi cara penentangan kita dengan falyughoyyirhu biyadih dengan perbuatan jika kita bisa duduk dalam kabinet. Sejak semula kita mencegah orang membakar rumah kita. Setelah rumah terbakar, apakah kita cuma duduk berpangku tangan?” kata Kiai Wahab merumuskan sebuah qiyas.

Akhirnya, Kiai Raden Hajid bisa menerima usulan dan pendapat Kiai Wahab dengan menyampaikan agar kelak anggota DPP Masyumi yang diangkat menjadi menteri di Kabinet Hatta supaya mengikrarkan janji, tidak cukup hanya berniat dalam hati untuk terus berkomitmen menolak Perjanjian Renville.

Terkait niat ini, Kiai Wahab menjelaskan salah satu Hadits Nabi SAW yang menyebutkan, “Ista’inu  ‘ala injaahil hawaiji bil kitmaan...” (HR Imam Thabrani dan Baihaqi). Artinya, mohonlah pertolongan kepada Allah tentang keberhasilan targetmu dengan jalan merahasiakannya. Sebab itu cukup dengan niat dalam hati,” jelas Kiai Wahab.

“Tapi niat mereka harus dinyatakan agar saudara-saudara yang bakal menjadi menteri itu berjanji di hadapan kita, tidak cukup dinyatakan dalam hati,” tanggap Kiai Hadjid.

“Ooh...jadi saudara menghendaki niat itu diucapkan?” Kiai Wahab mengulurkan pancingan.

“Ya, supaya disaksikan kita-kita ini,” ujar Kiai Hadjid tegas.

“Mana bisa...? Niat harus diucapkan...? Mana haditsnya tentang talaffudz bin niyyaat...(melafazkan niat atau mengucapkan niat)?” sindir Kiai Wahab.

“Ggggggrrrrr....” hadirin di forum yang tadinya sempat tegang menjadi cair dengan candaan Kiai Wahab kepada Kiai Raden Hadjid yang juga ikut mesam-mesem.

Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menguraikan, bukan hanya memecahkan gelak tertawa tetapi adegan spektakuler itu merupakan teknik berdebat yang sangat bernilai dalam nada humor yang tinggi. Kiai Wahab (NU) personifikasi dari fiqih yang beraliran talaffudz bin niyyaat dan Kiai Raden Hadjid (Muhammadiyah) personifikasi dari aliran non- talaffudz bin niyyaat saling “bertukar tempat” tetapi seperti berganti sikap.

Kiai Wahab telah memperlihatkan kesigapan berdebat dan mampu mengunci lawannya dengan argumentasi yang justru mampu menggiring lawan ke dalam kesimpulan yang selama ini ditentangnya.

Kalau niat tentang hal yang harus dirahasiakan saja membutuhkan talaffudz, apalagi niat untuk hal-hal yang tidak perlu dirahasiakan seperti membaca usholli dalam shalat dengan talaffudz. Di situ kalangan Masyumi menyadari bahwa NU yang dituduh tradisional, tidak rasional, ternyata mampu berpikir cerdik dan rasional.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi