Fragmen

Lautan Itu Bernama Gus Dur

Jum, 6 September 2019 | 05:30 WIB

Lautan Itu Bernama Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid berseragam TNI Angkatan Laut. (Ilustrasi: NU Online)

Lautan luas disebut samudera yang di dalamnya berisi banyak makhluk hidup, materi, dan benda-benda berharga lainnya. Bahkan lautan luas menjadi penopang hidup masyarakat sejak dahulu kala. Kekuatan sebuah bangsa juga diukur seberapa tangguh pertahanan lautnya.

Sebagai bangsa berkarakter maritim, tokoh Nahdlatul Ulama KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tidak ingin Indonesia mengabaikan potensi laut, baik dari sisi pertahanan keamanan dan sumberdaya alamnya. Sebagai ulama, pemimpin bangsa, tokoh nasional, dan presiden yang dekat dengan rakyatnya, Gus Dur adalah lautan itu sendiri.

Berangkat dari pemikiran historis tentang potensi maritim itu, Muhammad AS Hikam dalam Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013) menegaskan bahwa Gus Dur adalah presiden pertama yang membentuk Departemen Kelautan (Kementerian Kelautan) serta pertama kali mengangkat Panglima TNI dari matra Angkatan Laut. Dimulai dari Presiden Gus Dur, jabatan Panglima TNI digilir per matra (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara).

Untuk pertama kali dalam sejarah militer Indonesia sampai saat itu, TNI dipimpin seorang panglima yang berasal dari luar Angkatan Darat (AD). Sebenarnya, pada 1955-1961, sempat terjadi rotasi di pucuk pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata.

Tapi saat itu, tidak ada posisi Panglima secara resmi. Bung Karno menghapus jabatan Kepala Staf Angkatan Perang dan menggantinya dengan Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf—jabatan yang hanya berfungsi sebagai koordinator, bukan komando. Marsekal Soeriadi Soeriadarma dari AU pernah menempati jabatan tersebut.

Institusi pertahanan dan keamanan Indonesia eksis secara resmi sejak didirikannya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945. Panglima pertamanya adalah Jenderal Soedirman. Dia berasal dari Angkatan Darat.

Dari 1945 sampai 1968 terjadi berbagai perubahan dalam nama dan jalur komando institusi tersebut. Dari TKR menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), lalu menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun, yang jelas, lembaga tersebut membawahi semua matra angkatan dan, dalam perkembangannya kemudian, termasuk Kepolisian. Semua pucuk pimpinan semasa itu berasal dari AD.

Pola tersebut berlanjut saat Soeharto menjadi presiden dari 1966 hingga 32 tahun berikutnya. Semua panglima ABRI pada masanya juga berasal dari Angkatan Darat. Dimulai dari yang pertama Jenderal Soeharto sendiri sampai yang terakhir Jenderal Wiranto. Baru pada pemerintahan Presiden Gus Dur, Laksamana Widodo A.S. ditunjuk sebagai sebagai Panglima TNI. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Panglima TNI.

Wisdom Kelautan Gus Dur

Seorang perwira dari Korps Marinir TNI AL dalam sebuah percakapan mengatakan, “pernah sewaktu KH Abdurrahman Wahid saat menjabat Presiden RI berbicara di depan pasukan Marinir TNI AL di tempat saya, beliau berbicara begini”:

"Menyelamlah kalian sampai ke dasar lautan yang terdalam hingga tubuhmu resap oleh kecintaanmu kepada-Nya. Dan jangan palingkan mukamu ke sisi lain jika kamu belum mengenal apa yang kamu perbuat.”

Dawuh Gus Dur tersebut penting menjadi perhatian bahwa proses persenyawaan manusia dengan alam maupun dengan seluruh makhluk ciptaan Allah harus dilakukan. Hal ini juga terkait dengan proses belajar dan memahami ilmu yang terhampar di muka bumi.

Pernyataan Gus Dur itu juga menyoroti tradisi dan proses instan dalam proses belajar dan memahami ilmu. Hal ini tersirat dalam kalimat kedua dari dawuh di atas. Proses penggalian ilmu dan proses belajar harus bersifat dawam atau terus-menerus dan berkelanjutan ketika seseorang belum memahami ilmu tersebut.

Selain wisdom di atas, Gus Dur juga mempunyai cerita lucu dengan TNI AL. Gus Dur ingin menegaskan bahwa dua pertiga wilayah RI adalah laut. Dalam sejarah, bangsa Nusantara adalah bangsa maritim. Benteng utama pertahanan laut Indonesia dilakukan oleh TNI AL dengan Marinir sebagai pasukan elitnya.

Dalam The Wisdom of Gus Dur: Butir-Butir Kearifan Sang Waskita (2014), suatu ketika dalam suasana santai, Presiden Gus Dur berbincang ringan dengan ajudannya yang lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL).

Karena dikenal sebagai sosok egaliter, Gus Dur tak sungkan berbincang dengan siapa pun. Alasan itulah yang membuat orang-orang dekatnya juga tak segan meski Gus Dur adalah seorang Presiden.

“Gus, salah satu negara di Amerika Latin, yaitu Paraguay nggak punya laut, kok punya Angkatan Laut?” tanya Ajudan.

“Sama seperti saya, punya Ajudan, tetapi saya bukan seperti Presiden. Lah, kamu manggil saya Gus,” ujar Gus Dur sambil terkekeh dalam hati.

“Siap Pak Presiden!” sontak Ajudan langsung sadar dan memberi hormat.

“Ndak apa-apa, saya cuma ngetes seberapa besar selera humor seorang tentara,” lontar Gus Dur dengan tawanya yang khas, sedangkan Ajudan hanya bisa menahan tawa karena sudah terlanjur hormat.

Di tengah komitmennya dalam memperkuat bidang kelautan, Gus Dur juga tidak melepaskan diri untuk memberi masukan, saran, dan kritik terhadap pertahanan kelautan Indonesia. Hal ini ia lakukan setelah tidak menjabat sebagai Presiden RI. Bukan Gus Dur namanya jika tidak melontarkan humor, bahkan saat menyampaikan kritik sekalipun.

Suatu saat Muhammad AS Hikam (2013) sowan menemui Gus Dur. Sampai di kediaman, Hikam mengetahui Gus Dur sedang beri’tikaf. Seketika itu, Hikam langsung menyimpuhkan diri di belakang Gus Dur. Mengetahui ada orang hendak menemuinya, Gus Dur menengok dan membalikan badan.

Obrolan berjalan ringan dan santai. Presiden ke-4 RI dan mantan menterinya itu membincang persoalan kebangsaan yang seolah tak ada habisnya. Sampailah obrolan tentang kekuatan pertahanan Indonesia. Gus Dur tidak memungkiri bahwa kekuatan pertahanan nasional harus terus dikembangkan.

“Tapi kata TNI persenjataan kita itu kuat lho, Gus,” sergah Hikam. “Kuat apanya? Kang, kalau misalnya perang di laut, kapal angkatan luat kita belum sampai ditembak pun sudah tenggelam. Tahu sampean kenapa?” kata Gus Dur sambil nyengir.

“Kenapa, Gus?” tanya Hikam. “Karena keberatan dempul untuk nambal kapal-kapal kita,” jawab Gus Dur terkekeh.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi