Fragmen

Nasionalisme Pesantren, Cinta Tanah Air Ditambah Bismillah

Kam, 29 Agustus 2019 | 13:00 WIB

Nasionalisme Pesantren, Cinta Tanah Air Ditambah Bismillah

KH Wahab Chasbullah dan Soekarno. (Dok. Perpustakaan PBNU)

Ulama pesantren merupakan peletak dasar prinsip-prinsip Islam dan nasionalisme. Wujud dari pemahaman tersebut ialah ketika ulama dan santri berjuang melawan penjajah dari masa ke masa untuk membebaskan rakyat dari belenggu kolonialisme. Hal ini berangkat dari prinsip ajaran Islam yang tidak lepas kepentingan sosial-masyarakat sebagai ejawantah Islam rahmatan lil ‘alamin.

Bagi ulama pesantren, berjuang meraih kemerdekaan merupakan kewajiban kaum beragama sehingga pada 22 Oktober 1945 KH Hasyim Asy’ari tidak tanggung-tanggung mengeluarkan fatwa Resolusi Jihad ketika Belanda dengan membonceng berupaya kembali menduduki Indonesia. Prinsip nasionalisme Islam juga tertuang ketika Kiai Hasyim Asy’ari mencetuskan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Hal ini menunjukkan bahwa Islam dan nasionalisme tidak terlepas satu sama lain.

Peran sentral dan strategis yang dilakukan oleh pesantren, baik dalam melawan penjajah dan menanamkan rasa cinta tanah air membuat Ir Soekarno terkagum. Termasuk ketika dirinya mendatangi Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk bertanya tentang hukum membela tanah air menurut Islam.

Kala itu, pergerakan pasukan Inggris tidak dapat dibendung. Medan, Padang, Palembang, bandung dan Semarang telah mereka kuasai melalui pertempuran-pertempuran dahsyat. Sementara itu upaya diplomasi selalu menemui jalan buntu. Karena saking bingungnya Soekarno lalu sowan kepada Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari untuk menanyakan satu hal, bagaimana hukumnya membela tanah air. Bukan membela Allah, bukan pula membela Islam?

Menurut Abdul Mun’im DZ dalam Fragmen Sejarah NU (2017) menerangkan, pertanyaan Bung Karno sebenarnya tidak perlu dijawab, karena selama ini pesantren-lah yang selalu berada di garda terdepan perjuangan melawan penjajah. Namun, Kiai Hasyim Asy’ari pun memahami bahwa Bung Karno hanya ingin orang-orang pesantren bergerak kembali melawan penjajah seperti yang sudah dilakukan sebelum-sebelumnya.

Ketika itulah Soekarno semakin dekat dan selalu memperhatikan masukan-masukan dari kiai pesantren, termasuk dari teman sekaligus gurunya, KH Abdul Wahab Chasbullah. Kiai asal Tambakberas, Jombang ini memang ulama yang getol menanamkan cinta tanah air khususnya kepada generasi muda. Hal itu ia wujudkan melalui pendirian Madrasah Nahdlatul Wathan pada 1916. Peguruan berbasis keilmuan pesantren ini merupakan wadah untuk menggembleng para pemuda untuk mencintai tanah airnya.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) mengungkapkan bahwa Bung Karno sering mengampanyekan pentingnya nasionalisme yang sejak lama diperjuangkan oleh kiai-kiai pesantren. Sebab, nasionalisme ini bukan sekadar ‘isme’, tetapi mengandung nilai, tanggung jawab, rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa. Nasionalisme juga merupakan panggilan agama untuk menyelamatkan dan melindungi segenap manusia dari kekejaman para penjajah.

Pernah suatu ketika Bung Karno bertanya kepada Kiai Wahab Chasbullah, “Pak Kiai, apakah nasionalisme itu ajaran Islam?” Kemudian Kiai Wahab menjawab tegas, “Nasionalisme ditambah bismillah, itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar, pasti umat Islam akan nasionalis.”

Karena kedekatan tersebut, Bung Karno sangat dicintai oleh para kiai dan warga pesantren. Suatu saat slogan-slogan bertuliskan, “Hidup Mati untuk Soekarno” bertebaran di mana-mana, di pohon, tembok, spanduk, maupun selebaran. Warga pesantren pun tidak mu ketinggalan. Namun, cinta pada Soekarno dan cinta tanah air itu ada batasnya.

Menyaksikan warga pesantren yang terlalu antusias mencintai Soekarno, Ketua Umum PBNU saat itu KH Idham Chalid (Abdul Mun’im DZ, 2017) berpidato, “Atas restu Rais ‘Aam NU KH Wahab Chasbullah, saya nyatakan, hidup mati untuk Allah bersama-sama Bung Karno”. Karena Soekarno bukanlah tujuan, tetapi teman seperjuangan dalam perjuangan di jalan Alla, yaitu perjuangan membela keutuhan bangsa Indonesia.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi