Fragmen

Perjuangan NU Melawan PKI

Sel, 12 Februari 2019 | 00:45 WIB

Perjuangan NU Melawan PKI

Forum NU (Dok. Perpustakaan PBNU)

Keterlibatan Nahdlatul Ulama (NU) dalam pusaran politik pasca-kemerdekaan mendapat tantangan yang tidak semakin mudah karena menghadapi penjajahan dalam bentuk lain. Penjajahan tersebut muncul dalam bentuk pemberontakan atau bughot terhadap pemerintahan yang sah, baik dari kelompok Islam konservatif maupun dari komunisme yang mewujud dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bagi NU, pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara harus diiringi nilai-nilai agama. Namun, NU tidak merekomendasikan sama sekali negara berdasarkan formalisme agama. Sebab itu, meskipun masuk dalam golongan atau faksi Islam dalam sidang Majelis Konstituante, NU sepakat Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara dengan dijiwai Piagam Jakarta.

Ketentuan menjalankan syariat Islam seperti tertuang dalam Piagam Jakarta cukup hanya menjiwai dasar negara, bukan sebagai dasar negara itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan berbangsa dan bernegara tetap dijiwai oleh nilai-nilai agama Islam dan spiritualitas secara umum.

Pada rentang tahun 1957-1959, Majelis Konstituante memang sedang membahas rancangan dasar negara. PKI masuk dalam faksi Pancasila. Namun, dasar negara Pancasila yang PKI perjuangkan hanya kamuflase politik karena yang diperjuangkan justru materialisme historis yang ateis.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mengungkapkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang termaktub dalam sila pertama dalam Pancasila ingin diubah menjadi “Kemerdekaan Beragama” oleh PKI. Padahal, “Kemerdekaan Beragama” merupakan esensi dasar demokrasi Pancasila. Pemerintah Indonesia menganjurkan setiap warga negara memeluk agama dan menjalankannya berdasar keyakinan masing-masing.

Upaya penjajahan dalam bentuk lain yang dilakukan PKI, pertama bisa dilihat dari usaha penetrasi ideologi komunis. Kedua, PKI melakukan pemberontakan fisik. Upaya bughot yang dilakukan PKI menelan banyak nyawa, termasuk dari kalangan NU yang sedari awal berjuang melawan ideologi komunis. NU melakukan perlawanan terhadap PKI di medan politik dan di lapangan selama kurun waktu 17 tahun.

Terkait penetrasi ideologi komunis, Abdul Mun’im DZ dalam Benturan NU-PKI 1948-1965 tidak terlepas dari perang global saat itu, yaitu Perang Dunia II. Marxisme merupakan pemikiran yang lahir dari filsafat Barat yang berjuang melawan perkembangan kapitalisme. Namun, keduanya lahir dari budaya yang sama, keduanya sama-sama ateis dan materialis. Karena itu, sekeras apapun permusuhan kedua saudara sekandung tersebut bisa ketemu dan saling bergandengan bahu-membahu.

Kapitalisme dan imperialisme Barat bisa bergandengan tangan dengan komunisme Soviet dalam menghadapi fasisme Nazi, Jepang, dan Italia dalam Perang Dunia II. Begitu juga dengan kolonialisme Belanda yang kapitalis itu bisa bekerja sama dengan komunisme yang sosialis dalam menghadapi Jepang dan dalam pemberontakan Madiun.

Para kiai NU tidak menutup mata, bahkan melek terhadap penetrasi ideologi itu. Sedari awal kalangan pesantren menolak segala bentuk penjajahan atau kolonilaisme, baik saat Belanda dan Jepang menjajah bangsa Indonesia. Namun, para kiai tidak terkecoh dan tidak melibatkan diri dalam pertarungan antara komunisme dan kolonialisme di Indonesia. Karena keduanya sama-sama ateis dan sama-sama imperialis.

Dengan tegas KH Idham Chalid dalam perhelatan Hari Lahir ke-39 NU di Jakarta mengatakan bahwa politik non-komunis atau anti-komunis yang dijalankan NU tidak hanya untuk menghadapi komunisme saja, tetapi NU akan berhadapan dengan segala bentuk la diniyun (sekularisme) dan segala bentuk zanadiqoh (ateisme). Karena keduanya merupakan satu-kesatuan sebagai musuh NU. (Lihat Verslaag Muktamar ke-22 NU tahun 1959 di Jakarta, dalam Abdul Mun’im DZ)

Bahkan jauh sebelumnya, Pendiri NU Hadhratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1947 mengingatkan bahaya ajaran materialisme historis yang ateis itu bagi bangsa Indonesia. Karena konsep yang sedang dikembangkan secara gencar oleh PKI yaitu menyerukan pengingkaran terhadap agama dan pengingkaran terhadap adanya akhirat. (Lihat Naskah Khotbah Iftitah KH Hasyim Asy’ari pada Muktamar ke-14 NU di Madiun tahun 1947)

Terkait strategi dalam menghadapi PKI itu ditegaskan kembali oleh KH Saifuddin Zuhri (2013: 502) dalam sebuah tulisannya yang menyatakan bahwa: “Dengan dalil agama sebagai unsur mutalk dalam nation building, maka kita dapat menyingkirkan kiprah PKI di mana-mana. Bahkan kita bisa menumpas segala bentuk ateisme, baik ateisme yang melahirkan komunisme maupun ateisme yang melahirkan kapitalisme, liberalisme, atau fasisme. Setiap ideologi yang berbahaya tidak hanya bisa dilawan dengan kekerasan dan senjata, tetapi juga harus dihadapi dengan kesadaran beragama.”

Karena dari awal sudah memahami gerak-gerik PKI dengan komunismenya, tidak sulit bagi NU untuk mengidentifikasi siapa dalang dari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) di Madiun dan di beberapa daerah dengan melakukan penculikan dan perbuatan sadis lainnya. Sebab saat itu, belum banyak yang mengetahui siapa dalang bughot tersebut.

NU mengidentifikasi bahwa percobaan perebutan kekuasaan melalui pemberontakan fisik didalangi oleh PKI. Karena itu, pada tanggal 3 Oktober 1965, ketika banyak orang belum mengetahui siapa dalang G 30 S, NU telah menuntut agar pemerintah membubarkan PKI. (Fathoni)