Fragmen

Polemik Keras Rukyatul Hilal di Kalangan Ulama Betawi Abad Ke-19-20 M (1)

Sab, 4 Mei 2019 | 15:45 WIB

Oleh Rakhmad Zailani Kiki

Dari data hisab Ephemeris tahun 2019, dengan markaz hisab Pulau Karya, Kepulauan Seribu, ketinggilan hilal pada saat matahari terbenam di tanggal 29 Sya`ban 1440 H adalah 6 derajat, 18 menit, 52 detik dan elongasi bulan 7 derajat 26 menit 35 detik.

Ketentuan terkini, yaitu berdasarkan Rekomendasi Jakarta Tahun 2017 yang merupakan penyempurnaan Rekomendasi Istanbul Turki Tahun 2017, menyatakan bahwa hilal dapat terlihat (visibilitas hilal) dengan tinggi bulan minimal 3 derajat dengan elongasi bulan minimal 6,4 derajat. Dengan demikian, ketinggian hilal saat matahari terbenam di tanggal 29 Sya`ban 1440 H sudah memenuhi syarat terlihatnya hilal.

Namun, tidak demikian dengan alim ulama dan umat Islam di Basmol, Jakarta Barat dan di Cipinang Muara, Jakarta Timur yang berpegang pada pendapat Habib Utsman bin Yahya (1822 M-1913 M), Mufti Betawi, sampai hari ini.

Menurut pendapat Habib Utsman bin Yahya, Mufti Betawi, praktik rukyat mustahil dilakukan jika hilal di bawah tujuh derajat. Jadi, penganut pendapat Habib Utsman bin Yahya ini akan mengistikmalkan bulan Sya`ban 1440 H menjadi 30 hari karena hilal di bawah tujuh derajat.

Di sisi lain, ada alim ulama dan umat Islam di Betawi yang berpegang pada pendapat Guru Manshur Jembatan Lima (1878 M-1967 M) yang menyatakan bahwa hilal bisa dirukyat walau kurang dari tujuh derajat.

Tulisan ini tidak dalam rangka menyudutkan pihak mana pun yang terlibat dalam polemik perihal rukyatul hilal. Tulisan ini dibuat sebagai pelajaran bagi generasi masa kini bahwa polemik perihal agama bukan barang terlarang.

Di samping itu, polemik agama yang dicontohkan oleh para ulama Betawi abad ke-19-20 Masehi dapat dipertangguhjawabkan secara akademik-argumentatif dan diekspresikan melalui karya tulis.

Perbedaan pendapat ini telah lama berlangsung, yaitu ketika Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (yang menganut pendapat Habib Utsman bin Yahya) dan Guru Manshur Jembatan Lima masih hidup sezaman.

Perbedaan pendapat ini diwujudkan dalam bentuk risalah bantahan yang ditulis oleh Guru Marzuqi bin Mirshod Muara (1877 M-1934 M) dengan judul Fadhlurrahman fi Raddi Man Radda Al-Marhum As-Sayyid Utsman yang jika diterjemahkan artinya Keutamaan Ar-Rahman di Dalam Menolak Orang yang Menolak (pendapat) Al-Marhum As-Sayyid Utsman.

Dalam risalah berjumlah delapan halaman tersebut, Guru Marzuqi bin Mirshod Muara membela pendapat Habib Utsman bin Yahya  dan membantah pendapat Guru Manshur Jembatan Lima dalam masalah rukyatul hilal.

Poin-poin penting bantahannya yang saya nukil dari risalah tersebut dengan beberapa perubahan redaksi agar sesuai dengan EYD sebagai berikut: Pertama, penetapan awal Ramadhan atau `Aid oleh qadhi telah berlaku di Betawi dengan terlihatnya bulan yang imkanur rukyah atau dengan istikmal tiga puluh hari.

Terkadang ditetapkan dari jauh-jauh hari jika bulan di malam tiga puluh itu mustahil rukyah karena kurang dari tujuh derajat. Hal ini telah berlaku sejak masa yang begitu lama hingga dekat kepada seratus tahun  di era fatwa Al-Marhum Habib Utsman bin Yahya.

Kedua, kemudian sekarang di masa ini ada seorang bernama  Haji Muhammad Manshur Kampung Sawah Betawi (maksudnya Guru Manshur Jembatan Lima) yang membuat satu perkumpulan komite untuk menyalahkan fatwa Al-Marhum (Habib Utsman bin Yahya) dan berkata bahwa bulan (hilal) terlihat kurang dari tujuh derajat dan harus menerima saksi yang mengaku melihat bulan di malam kurang dari tujuh derajat tanpa syarat `adalah dan muruah.

Maka inilah pokok persoalan terjadinya perbantahan antara dua pihak ini, yaitu pada qadar imkanur rukyah. Maka masing-masing kedua pihak itu  memiliki hujjah dan burhan.

Ketiga, burhan yang pertama dari pihak Habib Utsman bin Yahya. Burhan ini berasal dari pendapat Tuan Hoof Penghulu (pemuka agama) Betawi, Haji Muhammad Hasan, yaitu dua burhan, yaitu aqli dan naqli. Untuk burhan `aqli, yaitu ketokohan dan kepakaran dari Habib Utsman bin Yahya dalam bidang agama, termasuk falakiyah.

Adapun burhan naqli bahwa imkanur rukyah itu sekurang-kurangnya hilal berada di tujuh derajat yaitu istiqra’ut tam memberi faidah yakin. Pasalnya, belum  pernah bulan (hilal) dapat dilihat orang di bawah tujuh derajat dan belum pernah pula dapat dilihat orang di Betawi  dengan penglihatan yang shahih.

Dengan demikian, jika ada orang yang mendakwah, mengaku melihat bulan (hilal) padahal kurang dari tujuh derajat itu semata-mata dusta belaka. Atau mungkin saja benar jika melihatnya dengan  dua mata yang tajam luar biasa atau dengan perantaraan teropong, tapi syar`i  tidak meng`itibarkan dua penglihatan itu dan juga tidak membatalkan dengan keyakinan mustahil rukyat bulan yang kurang dari tujuh derajat yang  diketahui dengan istiqra’ut tam.

Dan kala di mana atas jalan fardhu kifayah melihat bulan di awal tiap-tiap bulan itu jika telah imkanur rukyah di awal bulan itu dengan tujuh derajat atau lebih. Sedangkan jika bulan itu kurang dari tujuh derajat, maka itu tiada wajib malah tiada sunnah karena `abats, yakni sia-sia sedang syar`i tiada memerintah yang sia-sia. (bersambung...)


*) Penulis adalah Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Sekarang ia diamanahi sebagai Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta.