Fragmen

Saat KH Saifuddin Zuhri Keberatan Snouck Hurgronje Disebut Santri

Sab, 29 Oktober 2022 | 08:15 WIB

Saat KH Saifuddin Zuhri Keberatan Snouck Hurgronje Disebut Santri

KH Saifuddin Zuhri di podium dalam sebuah kegiatan NU. (Foto: dok. Perpustakaan PBNU)

Snouck Hurgronje pernah diutus oleh Hindia-Belanda untuk memata-matai aktivitas para ulama dan guru besar asal Nusantara yang sedang mengajar di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah). Ia berperan layaknya agen intelijen. Interaksinya dengan umat Islam membuahkan catatan-catatan penting sebagai bahan informasi penting untuk Hindia-Belanda. Suatu ketika, ia pernah menyamar di Makkah sebagai dokter mata dan tukang potret dengan memakai nama samaran Abdul Ghofur.


Dalam keterangan yang diungkapkan KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001), Snouck Hurgronje adalah seorang Kristen yang menjadi penasihat Hindia-Belanda perihal segala sesuatu tentang agama Islam. Yang menarik, Kiai Saifuddin menekankan bahwa meskipun pengetahuan Snouck megenai Islam sangat banyak, ia tidak bisa disebut sebagai seorang santri ketika bertahun-tahun sedang mempelajari agama Islam.


Pengetahuannya tentang Islam hanya ditujukan untuk kepentingan spionase penjajah Belanda. Selain itu, ilmunya mengenai Islam juga tidak diorientasikan untuk kepentingan dakwah lanjutan sebagaimana tanggung jawab santri. Barangkali, Snouck cukup berjasa dalam ilmu pengetahuan sejarah karena catatan-catatan historisnya memberikan banyak informasi berharga terkait sejarah-sejarah masa lalu.


Hal itu dilakukan karena tugasnya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam Indonesia berhubung perlawanan umat ini terhadap kekuasaan Belanda di mana-mana. Khususnya saat Belanda cukup kewalahan menghadapi Perang Aceh, Perang Diponegoro, Perang Imam Bonjol.


Dari tujuan spionesnya itu, KH Saifuddin Zuhri (2001) menjelaskan bahwa kalangan pesantren sangat keberatan kalau Profesor Belanda ini digolongkan sebagai santri. Sebutan santri untuk Snouck muncul ketika dia dianggap banyak berinteraksi dengan ulama, belajar Islam, dan melakukan banyak catatan tentang agama Islam. Namun, aktivitasnya tersebut tidak lain tercampur dengan tujuan-tujuan politik kekuasaan Hindia Belanda.


Muhammad Misbachul Munir dalam Keterlibatan Snouck Hurgronje dalam Menalukkan Aceh Tahun 1889-1906 M (2019) mencatat, Snouck Hurgronje selain menjadi dosen di Leiden juga aktif dalam melakukan penelitian dan membuat tulisan-tulisan yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan kolonialisme Belanda di Indonesia dalam bentuk pemikiran-pemikirannya.


Dengan berbagai informasi yang diterima tersebut Snouck Hurgronje mampu meredakan berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Hindia Belanda, khususnya pada Perang Aceh. Pada saat bersamaan perang Aceh yang tengah berlangsung sangat menyulitkan bagi pihak Belanda. 


Taktik yang digunakan oleh pihak Kerajaan Aceh adalah perang gerilya dan orang-orang Aceh sendiri lebih terlatih untuk perang tersebut. Orang-orang Aceh mendapatkan sekutu-sekutu yang baik dalam medan pertempuran yang mereka kuasai.


Keadaan geografis Aceh yang banyak terdapat perbukitan, pegunungan, hutan-hutan, lembah, dan wilayah pesisir pantai membuat pasukan Belanda banyak mengalami kesulitan. Selain itu infrastruktur di daerah pedalaman Aceh juga belum memadai menjadikan wilayah Aceh cukup sulit bagi para pasukan Belanda.


Snouck Hurgronje menyatakan selain ideologi jihad yang sudah tertanam dalam masyarakat Aceh, hal yang cukup berpengaruh bagi semangat pasukan Aceh adalah hikayat yang di dalamnya terdapat syair-syair yang mengandung ajakan berjihad banyak ditulis oleh para tokoh agama Aceh.


Menurut Snouck Hurgronje Perang Aceh bukan suatu perang antarkelas, melainkan perang rakyat. Karena itu, Perang Aceh tidak akan selesai jika masih ada rakyat yang melakukan perlawan dan semua rakyat yang melakukan perlawanan harus dimusnahkan sampai tuntas. Setelah merekomendasikan hal tersebut kepada pemerintah Belanda akhirnya tahun 1898 van Heutsz diangkat menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh dengan Snouck Hurgronje sebagai pensehatnya. 


Tekanan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Belanda menyebabkan sultan menyerah dan disusul kemudian oleh Panglima Polim. Setelah Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman meninggal dunia, putranya Tgk Muhammad Amin yang menggantikannya tidak mempu menyamai kegemilangan dan pengaruh Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman atau pengaruh Syaikh Abbas ibnu Muhammad alias Tgk Chik Kutarang ataupun Tgk Tapa.


Pada akhirnya rakyat terpecah-belah dari rasa solidaritas mempertahan wilayah Aceh dan perang jihad menghadapi pasukan Belanda, yang menandai akhir perang dengan keberhasilan Belanda menaklukkan wilayah Aceh pada tahun 1912 M.


Secara umum, dalam narasi sejarah Indonesia Snouck banyak dikonstruksikan sebagai aktor jahat di balik takluknya Aceh oleh pemerintah kolonial dalam perang yang berlangsung dari 1878 hingga 1908. Ia juga dianggap sebagai pembelah sekaligus pelemah Islam Indonesia.


Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Kendi Setiawan