Fragmen

Teladan Ukhuwah Islamiyah dan Keilmuan KH Hasyim Asy’ari

Ahad, 14 Februari 2021 | 13:15 WIB

Teladan Ukhuwah Islamiyah dan Keilmuan KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy'ari. (Foto: dok. istimewa)

Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar yang sangat mencintai kerukunan sesama umat Islam. Sekalipun memiliki pandangan berbeda dengan kelompok Islam lain, ia kerap menempatkan posisi dirinya di tengah-tengah, sehingga berbagai konflik dapat diselesaikan melalui jalan perdamaian.


Bahkan, Mbah Hasyim sangat tidak suka dengan adanya kelompok atau aliran keagamaan yang suka menyalahkan kelompok lain. Karena itu, ia tak henti-hentinya mengajak kepada seluruh umat Islam untuk bersatu dan menjaga ukhuwah Islamiyah. (lihat Jurnal Pengaruh KH Hasyim Asy’ari dalam Membangun Serta Menjaga Nusantara dan Kemaslahatan Islam Dunia, volume 10 Nomor 1, 2020: 40)


Mbah Hasyim pernah merespons terhadap munculnya berbagai paham atau aliran Islam baru, pada sekitar 1330 hijriah atau 1908 masehi, di Indonesia. Ia merasa resah dengan berbagai paham tersebut, sehingga membuatnya berpikir keras untuk mencari solusi menyatukan semua golongan muslim.


Ia berpandangan, bagaimana bisa sesama umat Islam yang Tuhannya satu, kitab sucinya satu Al-Quran, Nabinya satu Muhammad saling bermusuhan dan menyalahkan satu sama lain. Atas dasar keresahan itulah, Mbah Hasyim kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), pada 21 September 1937. Inilah organisasi Islam pertama yang berhasil mengumpulkan kaum muslim antar-aliran dalam satu organisasi.


Muhammad Rifai dalam buku KH Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 (2010: 67) menyebutkan, ajakan ukhuwah Islamiyah itu merupakan kesepakatan antara Mbah Hasyim dengan salah satu ulama besar Timur Tengah yakni Al-‘Allamah Syekh Muhammad Husein Abi Kasyif As-Shata.


“Jika memang dia Islam ya tetap Islam (tidak kafir). Maka sesungguhnya perkara-perkara tersebut merupakan perbedaan pendapat dan perkara yang bersifat furu’iyah, tidak mungkin dimaksudkan untuk memecah-belah terhadap kalimatnya umat Islam dalam keadaan apa pun. Maka perkara-perkara yang memiliki perbedaan itu merupakan perkara yang bersifat sepele,” kata Mbah Hasyim, ditulis KH Ali Ma’sum Krapyak dalam Hujjah Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah (1983: 7).


Kontribusi Mbah Hasyim sebagai cendekiawan muslim


Zuhairi Misrawi dalam buku Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Kerukunan, dan Kebangsaan (2010: 94) mengatakan, Mbah Hasyim merupakan tokoh ulama nusantara yang memiliki keunikan dibandingkan dengan ulama lain, yakni kecerdasannya dalam mengarang kitab dari berbagai bidang keilmuan. Tak hanya itu, Mbah Hasyim juga memiliki jiwa sosial yang sangat kuat, berupa pengabdiannya kepada umat.


Karena itu, menurut Misrawi, keteladanan yang bisa diwarisi dari sosok Mbah Hasyim adalah soal pemikiran-pemikirannya yang direalisasikan ke dalam bentuk amaliah-amaliah terhadap umat dan juga keilmuan yang dituangkan dalam kitab-kitab pesantren (kutub al-turats).


Beberapa bidang keilmuan yang dikeluarkan Mbah Hasyim meliputi bidang pendidikan, akidah, tasawuf, fikih, dan hadits. Syekh Kholil Bangkalan, Madura, adalah salah satu guru Mbah Hasyim yang mengakui muridnya sebagai ahli hadits.


Puncak dari pemikiran Mbah Hasyim adalah ketika seluruh pandangan, kelimuan, dan pengaruhnya dijadikan sebagai nilai dan ruh dari umat kalangan Ahlussunnah wal Jamaah. Lalu nilai tersebut diinternalisasikan dan diinstitusionalkan menjadi sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, yakni Nahdlatul Ulama (NU). (lihat Achmad Muhibbin Zuhri dalam Pemikiran KH M Hasyim Asy’ari tentang Ahl Sunnah wal  Jama’ah, 2010: 44).


Karya-karya intelektual Mbah Hasyim sebagian besar ditulis menggunakan bahasa Arab dan sebagian lagi dengan bahasa Jawa. Di antaranya At-Tibyan fi An-Nahy ‘an Muqatha’at Al-Arham wal ‘Aqarib wal Ikhwan, Muqaddimah Al-Qonun Al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Risālah fi Ta’kīd al Akhdzi bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah, Muwā’idz, Arba’īna Hadītsan Tata’allaq bi Mabādi Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Al-Nūr al-Mubīn fi Mahabbati Sayyid al-Mursalīn, Al-Tambihāt al-Wajibāt li Man Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarāt.


Kemudian, Risālah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah fi Hadits al-Mautā wa Syurūth al-Sā’ah wa Bayāni Mafhūm al-Sunnah wa al-Bid’ah, Ziyādat Ta’līqāt ‘alā Mandzūmah Syaikh ‘Abdullāh bin Yāsīn al-Fāsuruanī, Dhaw’il Misbāh fi Bayān Ahkām al-Nikāh, Al-Dzurrah al-Muntasyirah fi Masāil Tis’asyarah, Al-Risālah fi al-‘Aqāid, Al-Risālah al-Tasawwuf, dan Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limihi wa Yatawaqqafu ‘Alaihi al-Muta’allim fi Maqamāti Ta’līmihi. (lihat Zuhairi Misrawi dalam Hadhratussyekh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Kerukunan, dan Kebangsaan, 2010: 96).


Penulis: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad