Fragmen HARI SANTRI 2019

Tiga Maklumat KH Wahid Hasyim untuk Pesantren

Sen, 7 Oktober 2019 | 02:30 WIB

Tiga Maklumat KH Wahid Hasyim untuk Pesantren

KH Abdul Wahid Hasyim. (Foto: Perpustakaan PBNU)

Wajah pondok pesantren tidak hanya dipenuhi akhlak dan pengajaran berbagai macam dispilin keilmuan agama, tetapi juga bimbingan masyarakat, pemberdayaan sosial, dan perjuangan merengkuh kemerdekaan bangsa Indonesia. Poin terakhir terlihat ketika kalangan pesantren melakukan sejumlah ikhtiar dan perlawanan terhadap setiap bentuk kolonialisme, baik perlawanan kultural maupun perlawanan bersenjata.

Keteguhan para kiai dan santrinya dalam upaya mengusir penjajah membuat setiap gerak-gerik pesantren disorot. Bahkan sejumlah tokoh Islam berpengaruh dimata-matai. Perlawanan pesantren mempunyai konsekuensi pengorbanan jiwa. Namun hal itu tetap harus dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara secara luas.

Seperti KH Hasyim Asy’ari yang rela ditangkap tentara Jepang untuk menyelamatkan para santrinya. Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap karena tuduhan Jepang yang tidak pernah dilakukannya, yaitu menggerakkan masyarakat untuk melakukan pemberontakan di Desa Cukir, Jombang. Berbagai siksaan fisik didapat Kiai Hasyim Asy’ari selama kurang lebih 6 bulan di penjara. Hal itu memunculkan perlawanan hebat dari seluruh santri di Indonesia.

Bukan hanya Kiai Hasyim, tragedi pada tahun 1943 tersebut sejumlah kiai yang mengkomandoi Jam’iyah Nahdlatul Ulama juga ditangkap yaitu KH Mahfudz Shiddiq. Hal ini memantik perlawanan ribuan santri kepada Jepang untuk membebaskan Sang Kiai. Sedangkan KH Abdul Wahab Chasbullah dan KH Abdul Wahid Hasyim berupaya keras melakukan diplomasi dengan tujuan yang sama.

Berhubung tertangkapnya KH Mahfudz Shiddiq oleh Jepang, pimpinan NU sementara diambil alih sepenuhnya oleh KH Wahab Chasbullah didampingi Kiai Wahid Hasyim. Selama mendampingi Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim berupaya menggerakkan seluruh potensi dan kekuatan pesantren untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang (Nippon).

KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat, Kiai Wahid Hasyim melontarkan maklumat kepada pesantren dan para Alim Ulama. Kampanye tersebut dilakukan untuk memperkuat dan menyolidkan seluruh santri dan para kiai. Maklumat tersebut bernama Mahadi Nashrillah yang terdiri dari tiga pasal:

1. Tazawuru ba’dhuhum ba’dha, artinya: saling kunjung mengunjungi dan mempererat persatuan.
 
2. Tawashaw bil haqqi wa tawashaw bis shabri, artinya: saling memberi nasihat tentang kebenaran dan ketabahan berjuang.
 
3. Riyadhah Ruhaniyah, artinya: Memperdekatkan diri kepada Allah untuk memohon pertolongan-Nya sambil memperbanyak wirid, hizib, dan doa.
 
Dari jalan cukup panjang dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan Jepang, KH Wahid Hasyim dalam banyak kesempatan seringkali menjelaskan isi ramalan Ronggowarsito tentang Joyoboyo, bahwa Jepang hanya seumur jagung dalam menduduki Indonesia. (KH Saifuddin Zuhri, 2001: 272)

Kepercayaan tersebut ditegaskan oleh Kiai Wahid Hasyim harus menjadi dorongan untuk berjuang. Ayah Gus Dur tersebut mengatakan, “Namun, diinsyafkan kepada masyarakat bahwa perjuangan hendaklah jangan disandarkan pada ramalan-ramalan. Perjuangan itu harus disandarkan kepada penyusunan kekuatan lahir dan batin, pengorganisasian, dan tawakkal kepada Allah SWT.”

Sejarah mencatat, pimpinan Tentara Jepang di Indonesa ingin membentuk pertahanan tambahan untuk melawan tentara sekutu. KH Hasyim Asy’ari menyetujui santri dilatih militer oleh Jepang. Tetapi mereka tidak akan ke mana-mana, tetap menjaga Indonesia dan membentuk barisan tersendiri yang dinamakan Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Ini merupakan langkah Kiai Hasyim Asy’ari dalam menyiapkan tentara santri untuk menghadapi kemungkinan datangnya tentara sekutu ke Indonesia.

Prediksi Kiai Hasyim Asy’ari benar. Setelah mengalahkan Jepang, tentara sekutu yang di dalamnya ada tentara NICA Belanda ingin kembali menduduki Indonesia. Belanda membonceng sekutu sehingga ini merupakan Agresi Belanda kedua setelah sebelumnya juga menduduki Indonesia.
 
Namun, kali ini persiapan tentara santri telah matang secara militer. Sebelumnya, Kiai Hasyim Asy’ari menyampaikan Fatwa Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk menggerakkan seluruh bangsa Indonesia, terutama umat Islam untuk memukul mundur tentara sekutu.

Bagi para santri dan kiai, perjuangan fisik saja tidak cukup. Mereka berperang sembari melantunkan doa dan hizib. Menurut catatan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013), kiai-kiai dari Jombang, Gresik, Pasuruan dan dari sekitar Surabaya menyerang musuh sambil meneriakkan doa-doa dalam Hizbul Bahr, Hizbun Nashr, dan Hizbus Saif.
 
Pertama kali dalam sejarah perang di Indonesia melawan penjajah, kalimat takbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar bersahut-sahutan dengan letusan bom dan rentetan suara mitraliur.

Rakyat Indonesia tidak gentar. Bagai air bah yang tidak dapat dibendung, rakyat Surabaya maju menyerbu semua kubu tentara Sekutu di seluruh kota. Tua dan muda serentak menerjang musuh meski hanya bersenjatakan bedil, pistol, pedang, dan bambu runcing. Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober memberikan kekuatan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia untuk mengusir NICA dan tentara Sekutu.

Seluruh pergerakan nasional dari santri, tokoh nasionalis, dan rakyat tidak terlepas dari bimbingan kiai-kiai pesantren terutama KH Hasyim Asy’ari. Namun, proklamasi kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan karena Indonesia masih harus berjuang menghadapi agresi militer Belanda II dan para pemberontak berkedok sosialis dan agamis.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi