Internasional

7 Fakta di Balik Aksi Demo di Irak

Sen, 7 Oktober 2019 | 13:30 WIB

7 Fakta di Balik Aksi Demo di Irak

Massa membakar ban dan memblokir jalan dalam aksi protes di Baghdad, Irak pada Rabu (2/10). (Foto: AFP Photo/Hadi Mizban)

Baghdad, NU Online
Warga Irak menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di beberapa kota di Irak sejak Selasa, 1 Oktober lalu. Hingga sepekan berlangsung, massa masih terus berdemo. Akibatnya, lebih dari seratus orang dilaporkan meninggal dunia dan ribuan orang mengalami luka-luka.

Berikut fakta-fakta di balik aksi protes yang terjadi di Irak selama beberapa hari:
 
Berlangsung selama beberapa hari
 
Aksi protes terhadap pemerintah Irak telah berlangsung sejak Selasa (1/10) lalu. Hingga Ahad (6/10), massa masih mendesak pemerintah untuk menyelesaikan segala persoalan di negara tersebut dengan membakar kantor-kantor pemerintah. 
 
Aksi protes ini dinilai bersifat spontan karena tidak ada seruan secara langsung dari partai di Irak. Oleh karenanya, pada masa-masa awal aksi protes massa tidak menggunakan bendera atau poster partai. 

Terjadi di beberapa kota di Irak
 
Aksi protes antipemerintah di Irak tidak hanya terjadi di ibu kota Baghdad, namun juga di beberapa kota lainnya seperti Nassiriya, Amara, Baquba, Hilla, Najaf, Basra, Samawa, Kirkuk, Tikrit, Sadr, dan lainnya. 
 
Pada Ahad (6/10), terjadi bentrokan di Kota Sadr yang menewaskan 8 orang dan melukai 15 lainnya. Pihak kepolisian yang didukung tentara menggunakan peluru langsung dan gas air mata untuk membubarkan aksi demo di dua tempat terpisah di Kota Sadr. 
 
Korupsi hingga pengangguran picu aksi demo
 
Massa turun ke jalan memprotes tingginya korupsi, pengangguran, dan buruknya layanan publik di bawah pemerintahan Perdana Menteri (PM) Adel Abdel Mahdi. Selain itu, mereka juga menuntut agar PM Mahdi mengundurkan diri.
 
Para pemrotes Mmenuntut agar PM Mahdi mengundurkan diri, perbaikan kehidupan, dan mengakhiri praktik korupsi yang merajalela.
 
"Kami akan terus berdemo sampai pemerintahan tumbang," kata seorang lulusan universitas yang belum mendapat pekerjaan, Ali (22).
 
"Saya tak punya apa pun kecuali 250 lira (US$ 0,20) di saku saya sementara pejabat-pejabat pemerintah punya jutaan," cetusnya seperti dikutip kantor berita AFP, Jumat (4/10).
 
Korban jiwa terus berjatuhan 
 
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Irak, Saad Maan, mengatakan bahwa hingga Ahad (6/10), setidaknya 104 orang meninggal dunia dan lebih dari 6.000 orang mengalami luka-luka dalam aksi demo yang terjadi beberapa hari terakhir. Sebagian besar korban meninggal berada di Baghdad.
 
Sebagaimana diberitakan Reuters, Ahad (6/10), Maan menjelaskan, delapan anggota dari pasukan keamanan juga termasuk dalam korban yang meninggal. Selain itu, peserta aksi unjuk rasa juga membakar 51 bangunan umum dan delapan markas partai politik.
 
PM Mahdi sebut aksi demo sebagai pengrusak negara
 
Dalam pidato pertamanya sejak terjadinya aksi demonstrasi, PM Mahdi menyatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi tersebut sebagai 'pengrusak negara, seluruh negara'. Alih-alih merespons tuntutan para pengunjuk rasa, PM Mahdi justru membela pencapaian yang diraih di bawah pemerintahannya. Dia juga berjanji memberikan tunjangan bagi keluarga yang membutuhkan dan meminta waktu untuk menerapkan reformasi, sebagaimana yang dijanjikan tahun lalu.
 
Sebelumnya, PM Mahdi menerapkan jam malam di Baghdad dan beberapa kota lainnya di Irak sebagai respons atas aksi-aksi demo tersebut. Namun, kebijakan tersebut dicabut pada Sabtu (5/10) mulai pukul 05.00 waktu setempat. Selain itu, pemerintah juga membatasi siaran langsung dari tempat protes, juga media sosial. 
 
Ulama berpengaruh Irak serukan Mahdi mundur
 
Ulama berpengaruh Irak yang pernah menjabat Komandan Milisi Shiah, Moqtada Sadr, menyerukan agar PM Mahdi mengundurkan diri untuk menghindari korban meninggal lebih banyak lagi.
 
"Pemerintah harus mengundurkan diri dan pemilihan awal harus diadakan di bawah pengawasan PBB," katanya dikutip dari laman AFP. 
 
Sementara, dalam pernyataan tertulis, seperti diberitakan Anadolu Agency, Sabtu (5/10), mantan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi juga menuntut Mahdi mengundurkan diri dan menyerukan pemilihan dini.
 
PBB minta kekerasan di Irak dihentikan
 
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar segala bentuk kekerasan yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia. Kepala Misi Bantuan PBB, Jeanine Hennis-Plasschaert, mendesak agar mereka yang bertanggung jawab atas meninggalnya orang-orang yang meninggal dibawa ke pengadilan untuk diadili.
 
"Lima hari kematian dan korban luka: ini harus dihentikan," kata  Plasschaert, dikutip laman BBC, Ahad (6/10).
 
Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan