Internasional

Kudeta Militer di Myanmar, RI Perlu Dorong Perlindungan Muslim Rohingya

Sel, 2 Februari 2021 | 02:05 WIB

Kudeta Militer di Myanmar, RI Perlu Dorong Perlindungan Muslim Rohingya

Muslim Rohingya. (Foto: Reuters)

Jakarta, NU Online

Myanmar dalam kondisi memanas setelah berlangsungnya Pemilu pada November 2020 lalu. Ketegangan mencapai puncaknya manakala Aung San Suu Kyi dan beberapa petinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) ditahan pihak militer. Jam malam diberlakukan. Masyarakat prodemokrasi pun diburu.


Fakta tersebut memberikan dampak terhadap masyarakat Muslim Rohingya semakin tidak menentu. Mereka yang sampai saat ini masih belum diakui kewarganegaraannya tidak menutup kemungkinan akan semakin tertindas di tangan militer yang telah melakukan kudeta.


Peneliti Muslim Minoritas di Asia Tenggara Ahmad Suaedy menegaskan bahwa Indonesia memiliki kekuatan untuk menekan Myanmar dalam rangka melakukan diplomasi untuk perlindungan terhadap Muslim Rohingya. Pasalnya, kedudukan Indonesia sebagai anggota dewan keamanan PBB memberikan wibawa tersendiri.


“Kita bisa menyodorkan perlindungan dan pengakuan Rohingya untuk diperlakukan sama. Rohingya harus diperlakukan sama sebagai warga negara Myanmar sebagaimana warga negara lainnya,” ujarnya kepada NU Online pada Selasa (2/2).


Dengan kedudukannya itu juga, Indonesia, menurutnya, dapat mengimbau kepada negara lain untuk melakukan upaya perlindungan terhadap Rohingya juga. Sebab, ia melihat ada dua ancaman sekaligus dari Rohingya bagi militer, yakni etnis minoritas yang menempati suatu wilayah tertentu dan Islam.


“Dua hal ini dianggap sebagai ancaman negara lebih dari yang lain,” kata Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.


Pasalnya, Myanmar merupakan negara yang multietnis. Dalam tradisinya, mereka dari etnis-etnis itu menempati wilayah tertentu secara komunal. Mereka, bagi militer, dianggap mengancam negara kesatuan.


Tak ayal, ia menyebut bahwa kudeta itu akan sangat memberikan pengaruh yang besar dan makin buruk. Sebab, kudeta itu dilakukan karena kekuasaan Aung San yang dianggap tidak cukup tegas terhadap etnis yang secara historis pernah ingin otonomi atau merdeka, tak terkecuali Rohingya.


Meskipun sebenarnya, Aung San punya kekuasaan yang cukup tinggi sebagai penasehat negara. Tampaknya, dia tidak menggunakan kekuasaan itu dengan baik. Sebab, ada dua arus besar di tengah masyarakat membuatnya diam tak berkutik, yakni militer yang selalu mengawasi dan para pemuka agama yang mengusung sektarianisme, terutama anti-Islam.


Meskipun ada upaya untuk mengubah konstitusi, Suaedy tidak melihat Aung San dapat memanfaatkan posisinya secara maksimal mengingat tidak melakukan reformasi terhadap militer. Perempuan yang pernah menempuh studi di Inggris itu tidak begitu tegas terhadap militer sekaligus tidak berani melawan agamawan, dua entitas yang menjadi arus besar di tengah masyarakatnya.


“Selama ini, dia diam seribu bahasa terhadap Rohingya. Genosida alasan agama juga alasan militer,” jelas penulis buku Islam, Minorities, and Identity in Southeast Asia itu.


Aung San dalam pandangannya belum memberikan andil terhadap perubahan situasi, baik militeristik maupun sektarianisme. Karenanya, pemimpin Rohingya mestinya tidak tenang dulu mengingat adanya kemungkinan yang lebih buruk setelah kudeta.


Paling parah, selama kekuasaan sipil partai NLD di bawah Aung San cukup kuat, ia tidak melihat adanya upaya dari pemerintah Myanmar terhadap Rohingya sebagai status warga negara. Alasan bagi negara maupun militer menindas atau menggenosida mereka.


Pewarta: Syakir NF

Editor: Fathoni Ahmad