Internasional

Lima Fakta yang Harus Diketahui di Balik Tragedi Rohingya

Ahad, 10 September 2017 | 08:00 WIB

Lima Fakta yang Harus Diketahui di Balik Tragedi Rohingya

Ilustrasi (Reuters)

Eskalasi kekerasan di Myanmar yang melibatkan etnis Rohingya, kelompok Buddha, dan militer kembali meledak. Dalam dua minggu terakhir, hampir 300.000 orang Rohingya telah melarikan diri menuju tenda-tenda pengungsi yang sudah ramai di negara tetangga, Bangladesh.

Apa yang tampak sekarang adalah eksodus massal ketiga dalam empat dekade. Komunitas internasional menjuluki Rohingya sebagai minoritas paling teraniaya di dunia, sebuah kelompok tanpa kewarganegaraan (stateless) dan kerap mendapat perlakuan diskriminatif dan kekerasan.

Kondisi memilukan belakangan ini merupakan bagian dari serangkaian sejarah panjang puluhan tahun silam, hingga muncul penyerangan oleh militan Rohingya atau ARSA terhadap pos-pos keamanan Myanmar pada 25 Agustus 2017 dan menimbulkan situasi semakin buruk.

Berikut ini adalah beberapa fakta yang menjadi latar belakang di balik krisis kemanusiaan yang sedang menjadi sorotan dunia itu. Informasi pokok dari artikel ini dikutip NU Online dari The Associated Press (AP) pada Ahad (10/9).

Tanpa Kewarganegaraan di Negara Sendiri

Diperkirakan ada 1 juta sampai 1,2 juta orang di negara bagian Myanmar, Rakhine, mengidentifikasi diri sebagai Rohingya. Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka sebagai salah satu dari 135 etnis minoritas yang sah di negara yang sebelumnya dikenal dengan nama Burma itu. Pemerintah Myanmar menyebut mereka ā€œorang Benggalaā€, dengan implikasi bahwa tanah kelahiran mereka berada di Bangladesh dan menetap di Myanmar secara ilegal.

Malangnya, mereka juga tidak diinginkan di Bangladesh. Situasi makin buruk menimpa Rohingya ketika undang-undang kewarganegaraan tahun 1982 ditetapkan. Dampak praktis dari peraturan itu adalah hilangnya kewarganegaraan sebagian besar dari mereka, dan karena itu lenyap pula hak-hak sipil, termasuk peluang ekonomi. Hak etnis Rohingya dibatasi secara hukum, seperti hak mereka untuk bepergian dan menikah berikut jumlah anak yang boleh mereka miliki. Secara praktis, akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang layak juga terbatas.

Sejarah Migrasi

Status Rohingya sebagai penduduk pribumi masih menjadi perdebatan sengit di Myanmar. Legitimasi atas klaim tersebut hingga kini dipertanyakan sebagian pihak. Tapi mayoritas sejarawan sepakat bahwa kerajaan Arakan (kini wilayah Rakhine) telah ada sejak abad ke-9.

Kedatangan para pedagang Arab melalui jalur laut telah mengubah kawasan tersebut menjadi mayoritas beragama Islam. Seiring dengan dinamika kehidupan selama berabad-abad, kawasan itu pun tercampur dengan beberapa etnis luar, antara lain dari Arab, Turki, Persia, Mughal, dan Pathan. Proses percampuran antara penduduk lokal dan luar ini lantas membentuk apa yang para ilmuwan sebut sebagai Rohingya. Kerajaan Arakan ditaklukkan oleh seorang raja Burma pada tahun 1784, namun tak sampai membuat komunitas Muslim itu berubah menjadi komunitas Buddha.

Nasib berubah signifikan ketika aneksasi atau perampasan tanah oleh Inggris terhadap Arakan berlangsung pada tahun 1824-1826, yang satu paket dengan praktik penjajahannya di India. Saat itu orang-orang Asia Selatan, termasuk Muslim Bengali, pindah ke Arakan sebagai buruh murah dan banyak dari mereka mengintegrasikan diri ke dalam komunitas Muslim yang sudah ada. Migrasi umat Islam asal Bangladesh inilah menjadi patokan bagi segelintir nasionalis Buddha Myanmar yang mengakui adanya identitas Rohingya pribumi: para keturunan penduduk yang tinggal selama masa penjajahan Inggris tak berhak mengklaim diri sebagai penduduk asli. Tetapi mayoritas dari umat Buddha di sana tak menerima mereka sebagai penduduk asli.

Kolonialisasi: Politik Adu domba

Inggris menganut praktik kolonial tradisional yang sinistis dengan menempatkan orang minoritas--dalam hal ini orang India--di posisi administratif tingkat menengah. Dalam pekerjaan, mereka mendapat kehormatan, yang di saat bersamaan memancing kebencian umat Buddha Burma sebagai kelompok mayoritas.

Rohingya yang diidentifikasi oleh banyak orang sebagai pendatang dari India kian tersudut ketika nasionalisme Burma menguat pada tahun 1920-an dan 1930-an di bawah dukungan penuh para biksu. Apalagi saat Burma memisahkan diri secara politik dari India pada tahun 1937 lalu nasionalis Burma menjalin aliansi dengan Jepang dalam konteks kepentingan taktis Perang Dunia II. Dengan demikian, Rohingya yang dipersepsikan sebagai "anak emas" Inggris pun kian dimusuhi Burma karena Inggris adalah musuh bebuyutan Jepang. Pada tahun 1942, ketika penjajah Inggris menarik diri dari Arakan, praktik saling bantai antara umat Buddha dan Islam berlangsung mengerikan.

Diskriminasi dan Gelombang Eksodus

Rohingya, seperti minoritas lainnya di negara itu, berjuang untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar dan pada gilirannya dijanjikan persamaan hak oleh pemerintah sipil pascaperang. Namun, sebuah kediktatoran militer yang merebut kekuasaan pada tahun 1962 menampik tuntutan kaum minoritas. Di waktu beriringan, junta militer mempromosikan penguatan nasionalisme yang banyak menganakemaskan umat Buddha Burma sebagai mayoritas.

Rohingya menjadi sasaran kekerasan pasukan keamanan dalam kurun 1977-1978, yang memicu sekitar 200.000 orang melarikan diri melintasi perbatasan Bangladesh. Sedangkan serangan bersenjata junta militer pada 1991-1992 memaksa lagi 250.000 lainnya masuk ke Bangladesh. Sebagian besar mereka akhirnya pulang ke Rakhine, meski dengan hak hukum yang tetap terkatung-katung dan dalam banyak kasus, Rohingya mendapati tanah mereka telah diambil alih. Penganiayaan berat maupun ringan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Rohingya.

Ketegangan Rohingya dengan minoritas massa Buddhis Rakhine mengakibatkan kerusuhan komunal pada tahun 2012 yang mendorong setidaknya 120.000 orang Rohingya pindah ke tenda-tenda pengungsian yang sebagian besar masih bertahan hingga sekarang. Gelombang sentimen anti-Muslim diembuskan oleh kaum ultra-nasionalis Buddha yang memanfaatkan atmosfer politik demokratis untuk memelihara situasi tetap panas.

Pemberontakan Rohingya dan ā€œOperasi Pembersihanā€

Sebuah kelompok gerilyawan Rohingya melakukan serangan ke arah pos-pos terluar polisi pada Oktober lalu menewaskan sembilan penjaga perbatasan. Tentara menanggapi pemberontakan tersebut dengan "operasi pembersihan". Sejumlah kelompok hak asasi manusia menilai langkah militer ini sebagai kebrutalan terorganisasi terhadap warga desa Rohingya.

Para pemberontak, yang menamakan diri Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), lalu memanfaatkan para anggota yang baru direkrut untuk melancarkan serangan yang jauh lebih besar pada 25 Agustus.Ā  Akibatnya, serangan balasan kembali terjadi dengan intensitas lebih besar dan lebih keras.

Pemerintah Myanmar melaporkan, sekitar 400 orang telah terbunuh dan menyebut hampir semuanya "teroris". Sebaliknya, pengungsi Rohingya menuduh pasukan keamanan telah melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu dan membakar desa-desa. Banyak orang Rohingya dan pendukungnya mengatakan tindakan keras tersebut merupakan rencana jangka panjang untuk pembersihan etnis, beberapa bahkan menyebutnya genosida.

Dari lima fakta ini tampak bahwa huru-hara di Myanmar dipicu oleh persoalan yang cukup kompleks, bertumpuk-tumpuk, dan melibatkan banyak kepentingan politik. Masa kolonialisasi Inggris dan hawa politik Perang Dunia II menjadi titik-mulai dari panasnya ketegangan antara Muslim dan Buddha di Myanmar. Politik adu domba telah sukses memecah kubu minoritas-mayoritas melakukan perseteruan berdarah.

Permasalahan kian runyam ketika pemerintah sipil pascaperang hendak memperkuat nasionalisme. Bukan sebab nasionalisme itu sendiri, melainkan karena spirit itu memanfaatkan sentimen agama Buddha, disusul dengan kebijakan pemerintah yang mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas setempat, termasuk Rohingya. Politik pembangkitan nasionalisme telah mengorbankan etnis minoritas. Gelombang pemberontakan berdarah pun datang dari sebagian kecil Rohingya, yang lantas disambut militer Myanmar yang juga merasa sah melakukan langkah-langkah brutal atas nama ā€œmenumpas terorisā€.

Pada titik ini, meski sangat mewarnai, isu agama dan etnis tak pernah dominan dan menjadi penentu konflik. Identitas kultural tersebut dalam sejarahnya ternyata hanya dijadikan instrumen oleh segelintir elite, baik untuk kepentingan kolonialisme maupun politik pemerintahan dan militer.

(Mahbib Khoiron)