Internasional

Myanmar Bangun Fasilitas Pemerintahan di Bekas Perkampungan Rohingya

Sel, 10 September 2019 | 07:30 WIB

Myanmar Bangun Fasilitas Pemerintahan di Bekas Perkampungan Rohingya

Kamp transit Hla Poe Kaung dibangun di atas lahan yang sebelumnya merupakan dua kampung warga Rohingya, Haw Ri Tu Lar dan Thar Zay Kone. (bbc)

Jakarta, NU Online
Lebih dari 700 ribu etnis Rohingya meninggalkan kampung halamannya di negara bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh setelah terjadi operasi militer yang dilakukan tentara Myanmar pada 25 Agustus 2017 lalu.

Setelah etnis Rohingya dipaksa pergi, pemerintah Myanmar menghancurkan perkampungan mereka dan kemudian membangun bangunan-bangunan pemerintahan, barak-barak polisi, dan kamp relokasi pengungsi. Demikian dilaporkan BBC, Selasa (10/9).

Ada empat lokasi yang dilaporkan dibangun sejumlah fasilitas pemerintahan di mana dulunya lokasi tersebut adalah wilayah perkampungan warga Rohingya. Berdasarkan analisa foto satelit yang dilakukan Institut Kebijakan Strategis Australia, setidaknya 40 persen perkampungan warga Rohingya yang hancur akibat operasi militer 2017 lalu telah dihancurkan total.

Di bekas perkampungan Rohingya juga dibangun kamp-kamp transit seperti kamp transit Hla Poe Kaung, sebuah kamp yang dilaporkan mampu untuk menampung hingga 25 ribu pengungsi Rohingya yang kembali.

Ironisnya, kamp tersebut dibangun di atas lahan yang sebelumnya merupakan dua kampung warga Rohingya, Haw Ri Tu Lar dan Thar Zay Kone, yang dihancurkan pada saat operasi militer pada 2017 lalu. Kamp yang dilaporkan kondisinya buruk–toilet umum rusak–ini menjadi tempat singgah sementara pengungsi Rohingya yang kembali sebelum mereka pindah ke permukiman permanen.

Begitupun dengan kamp relokasi Kyein Chaung. Sebuah kamp relokasi yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal jangka panjang untuk para pengungsi yang kembali. Kamp yang dibangun dengan dana Jepang dan India ini berdiri di lahan yang dulunya kampung Rohingya, Myar Zin. Penghancuran desa Rohingya ini dikonfirmasi pejabat setempat.

Dulu Myo Thu Gyi, wilayah di luar kota utama Maungdaw, memiliki penduduk Muslim lebih dari 8 ribu orang. Setelah operasi militer 2017, banyak rumah warga yang terbakar. Meski demikian, bangunan besar masih utuh dan pepohonan masih ada. Namun saat itu, wilayah tersebut disulap menjadi kompleks pemerintahan dan kepolisian.

Hal yang kurang lebih sama juga ditemui di Desa Inn Din. Dulu sekitar tiga perempat penduduk desa ini adalah Muslim dan sisanya adalah umat Buddha. Namun saat ini, tidak ada jejak umat Muslim di sana. Sebelumnya juga di desa ini berdiri rumah-rumah warga Rohingya dan pepohonan yang mengelilinya. Kini, itu semua digantikan dengan pagar kawat yang mengelilingi barak-barak baru Polisi Penjaga Perbatasan.

Belum ada respons resmi dari pemerintah Myanmar terhadap beberapa temuan tersebut di atas.

Dulu mayoritas penduduk Maungdaw dan Buthidaung–dua distrik di perbatasan–adalah Muslim. Namun setelah wilayah tersebut dihancurkan pada operasi militer 2017, umat Muslim menjadi minoritas di sana. Diperkirakan, umat Muslim di sana hanya tersisa 10 persen dari populasi awal.
 

Pewarta: Muchlishon
Editor: Alhafiz Kurniawan