Internasional

Negara-negara Ini Tandai Buka Puasa dengan Tembakan Meriam

NU Online  ·  Jumat, 18 Mei 2018 | 13:00 WIB

Riyadh, NU Online
Salah satu tradisi Ramadhan yang paling populer adalah menembakkan meriam sebagai tanda masuknya waktu salat Maghrib dan berakhirnya puasa. Tradisi ini masih dipraktikkan di beberaapa negara Arab seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, serta Arab Saudi. Dan yang paling terkenal adalah di wilayah pegunungan Makkah.

Juru bicara Departemen Kepolisian Makkah Mayor Abdul Mohsin Al-Maimani mengatakan, publik dengan bersemangat menunggu suara meriam selama bulan Ramadhan. Ada tim khusus yang ditugaskan untuk menembakkan meriam sehingga tidak ada yang terluka.

Meriam-meriam tersebut dirawat dan dijaga polisi. Beberapa hari sebelum Ramadhan, meriam tersebut dikirim ke gunung. Sementara ketika Ramah dan usai maka meriam tersebut dikembalikan ke tempat perawatan.

“Setelah Idul Fitri, meriam dikembalikan ke departemen khusus,” Al-Maimani seperti diberitakan Arab News, Jumat (18/5).

Di Madinah juga demikian. Kota yang dulu bernama Yatsrib itu kini memiliki dua meriam. Satu meriam ada di gunung Salaa dan satunya lagi ditempatkan di atas bukit di luar benteng Quba. Akan tetapi, tahun ini tidak ada tradisi penembakan meriam di Madinah malfungsi operasional dan kendala teknis lainnya. Namun demikian, otoritas terkait akan menghidupkan tradisi penembakan meriam pada tahun depan.

Negara-negara Arab memiliki akar tradisi penembakan meriam yang cukup kuat. Jika ditelusuri, tradisi tersebut mulai ada sejak abad ke-15 atau pada era Dinasti Mamluk. 

Tradisi penembakan meriam dilakukan dua kali pada hari-hari bulan Ramadhan. Pertama, pada waktu salat Magrib sebagai tanda puasa telah usai atau saatnya buka puasa. Kedua, pada saat salat Subuh atau tanda dimulainya puasa hari itu.

Sejarah tradisi meriam

Ada banyak versi tentang asal usul tradisi meriam ini. Pertama, ketika sultan Mamluk di Kairo ingin menguji salah satu meriam barunya, dan eksperimen itu bertepatan dengan waktu Maghrib. 

Penduduk mengira sultan telah menembakkan meriam untuk memberitahu mereka bahwa waktu berbuka puasa telah tiba. Melihat rakyatnya gembira dengan ‘inovasi’ tersebut, sultan  memutuskan untuk melakukannya setiap hari selama bulan Ramadhan.

Kedua, suatu ketika penguasa Mesir pada awal abad ke-19 Muhammad Ali menembakkan meriam buatan Jerman pada waktu Magrib. Orang-orang yang mendengar itu mengira bahwa tembakan meriam tersebut sebagai tanda waktu berbuka puasa.

Ketiga, suatu saat tentara sedang menguji coba meriam pada waktu Magrib. Kemudian Fatimah –putri Ismail Pasha, penguasa Mesir pada akhir abad ke-19- mendengar meriam tersebut, dia langsung mengeluarkan ‘dekrit’ yang menyatakan bahwa meriam harus ditembakkan pada waktu Magrib selama bulan Ramadhan dan acara resmi pada Idul Fitri. Maka tidak mengherankan, jika hari ini ada yang menyebut tradisi meriam tersebut dengan “meriam Fatimah.” (Red: Muchlishon)