Internasional

Organisasi HAM Israel: Kebijakan Negeri Zion di Wilayah Pendudukan Diskriminatif

Rab, 13 Januari 2021 | 11:30 WIB

Organisasi HAM Israel: Kebijakan Negeri Zion di Wilayah Pendudukan Diskriminatif

Sebuah kelompok hak asasi manusia terkemuka Israel, B-Tselem, menilai, Israel dan pendudukannya atas wilayah Palestina sebagai ‘pemerintahan apartheid’. 

Yerusalem, NU Online
Sebuah kelompok hak asasi manusia terkemuka Israel, B-Tselem, menilai, Israel dan pendudukannya atas wilayah Palestina sebagai ‘pemerintahan apartheid’. 


Dalam laporannya yang dirilis pada Selasa (12/1), B’Tselem mengatakan bahwa Israel menciptakan sistem di mana warga Yahudi menikmati hak penuh, sementara warga Palestina di empat wilayah pendudukan memiliki tingkat hak yang selalu di bawah warga Yahudi. Empat wilayah yang dimaksud adalah Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Israel sendiri. 

 

B-Tselem menambahkna, Israel berusaha memperkuat dan memajukan supremasi Yahudi di seluruh wilayah antara Sungai Yordania dan Laut Mediterania. Untuk itu, Israel telah membagi wilayah menjadi beberapa unit, di mana hak warga Palestina selalu lebih rendah dibandingkan dengan hak warga Yahudi. 


“Salah satu poin kunci dari analisis kami adalah bahwa ini adalah satu wilayah geopolitik yang diatur oleh satu pemerintahan. Ini bukan demokrasi dan pendudukan. Ini adalah apartheid antara sungai dan laut,” kata Direktur B’Tselem, Hagai el-Ad, dikutip Aljazeera, Selasa (12/1). 


Ada empat metode yang digunakan Israel untuk memajukan Yahudi, yaitu kebebasan bergerak, partisipasi politik, imigrasi ekslusif, serta perampasan tanah untuk warga Yahudi dan mendesak warga Palestina di daerah-daerah kantong.


Menurut laporan B’Tselem, banyak hak warga Palestina ditolak, termasuk di antarannya hak untuk menentukan nasib sendiri. Bagi warga Israel, perbatasan yang memisahkan Israel dan Tepi Barat yang diduduki ‘sudah lama hilang’ sehingga mereka bebas bepergian bolak-balik. Sementara warga Palestina harus mendapatkan izin ketika melewati perbatasan itu. Warga Palestina juga bergantung pada persetujuan Israel jika mereka ingin pergi ke luar negeri. Mereka juga dilarang menggunakan Bandara Ben Gurion, sehingga mereka melintasi perbatasan darat ke Yordania. 

 

Selama ini, Israel selalu menyebut dirinya sebagai negara demokrasi dan menyatakan bahwa warga Palestina memiliki hak yang sama. Untuk diketahui, 20 persen dari 9,2 juta populasi Israel adalah warga Palestina. Namun di tingkat kelembagaan, warga Palestina menderita karena diperlakukan sebagai warga negara kelas dua bahwa tiga. Ada sekitar 60 Undang-Undang yang mendiskriminasi warga Palestina di banyak sektor, seperti pendidikan, perumahan, perawatan kesehatan, dan lainnya. 


Mahkamah Pidana Internasional mendefinisikan apartheid sebagai ‘rezim penindasan dan dominasi sistematis yang dilembagakan oleh satu kelompok ras’. Menurut penasihat senior Presiden Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Shaath, keputusan-keputusan yang dibuat bersifat rasis dan bertujuan untuk; mengambil paksa tanah, mengusir penduduk asli dan menghancurkan rumah, serta membangun pemukiman untuk warga Yahudi.


“Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki kebijakan apartheid yang lebih jelas dari pada Israel,” kata Shaath.   


Pada 2018 lalu, Israel mengesahkan UU Negara Bangsa Yahudi yang dinilai rakyat Palestina sebagai puncak diskriminasi. Pasalnya, UU tersebut di antaranya menyatakan bahwa orang-orang Yahudi sebagai mayoritas memiliki hak eksklusif dalam menentukan nasib Israel, dan Yerusalem diakui sebagai ibu kota Israel yang ‘utuh dan bersatu’.


Juru bicara Konsulat Jenderal Israel di New York, Itay Milner, menolak laporan B’Tselem tersebut. Dia menuduh B’Tselem menggunakan laporan yang didasarkan pada pandangan ideologis yang terdistorsi itu sebagai alat untuk mempromosikan agenda politik mereka. 


Pewarta: Muchlishon
Editor: Fathoni Ahmad