Internasional

Pasca Pilpres 2019: Elite Politik Kebal Kritik Publik, Polisi Semakin Dominan

Jum, 18 Oktober 2019 | 09:00 WIB

Pasca Pilpres 2019: Elite Politik Kebal Kritik Publik, Polisi Semakin Dominan

Lakpesdam PCINU Belanda bersama KITLV, PPI Leiden, dan Iluni UI di Belanda Belanda menggelar dialog terbuka tentang ‘Politik Kewargaan paska Pilpres 2019’ di Leiden, Belanda, Rabu 16 Oktober.

Leiden, NU Online
Lakpesdam PCINU Belanda bersama KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies), Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden dan Iluni Universitas Indonesia di Belanda menggelar dialog terbuka tentang ‘Politik Kewargaan paska Pilpres 2019’ di Leiden, Belanda, Rabu 16 Oktober.

Ketua NU Belanda M Latif Fauzi menyebut, dialog ini penting untuk menganalisa perkembangan demokrasi dan hak kewargaan dijamin dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin lima tahun mendatang. 

Saat membuka dialog, Yance Arizona sebagai moderator mewakili Lakpesdam NU menyebut bahwa pertanyaan mendasar yang coba dibahas dalam dialog ini adalah bagaimana masa depan politik kewargaan (citizenship) saat para elite politik semakin terkonsolidasi dan imun terhadap kritik publik. 

Utamanya saat pembuatan regulasi yang cenderung abai pada aspirasi publik. Protes mahasiswa #reformasidikorupsi akhir September 2019 menunjukkan bahwa saluran aspirasi publik melalui parlemen tidak berjalan sehingga menyebabkan kebuntuan dialog antara warga dan negara. 

Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber, di antaranya peneliti Senior KITLV, Ward Barenschot. Ward mengatakan, saat ini elite politik semakin bersatu mendominasi dan mempersempit ruang masyarakat untuk terlibat dalam perumusan kebijakan. 

“Semakin terkonsolidasinya elite politik memudahkan mereka untuk memperoleh manfaat dari sumber daya yang disediakan oleh negara,” kata penulis buku Democracy for Sale ini merespons situasi pasca Pilpres 2019, dalam rilis yang diterima NU Online, Jumat (18/10).

Menurutnya, ‘pelumpuhan’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat elite politik semakin mudah mengambil kekayaan negara. Namun mereka melakukan itu bukan karena rakus, melainkan untuk mengembalikan modal dan bertahan hidup dalam sistem politik elektoral yang mahal. 
 
Ward mengapresiasi gerakan mahasiswa yang tiba-tiba muncul merespons konsolidasi elite politik. Terutama ketika melihat retorika gerakan mahasiswa ini yang fokus kepada agenda-agenda penting semisal anti-korupsi, anti-kekerasan, dan perlindungan hak sebagai warga negara negara yang merupakan karakteristik penting dari politik kewargaan (citizenship). 

Narasumber lain, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Sandra Mondiaga, menilai, radikalisme yang semakin meluas di masyarakat juga menjadi salah satu alasan mengapa terjadi konsolidasi elite. Mereka berkonsolidasi karena adanya kebutuhan untuk mengatasi radikalisme.  

Sandra menyebut, Komnas HAM memantau beberapa aksi demonstrasi yang melibatkan kekerasan dan menyebabkan kematian, termasuk aksi penolakan keputusan KPU pada Mei lalu dan aksi mahasiswa pada akhir September. 

“Saat ini investigasi sedang berlangsung dan belum banyak yang bisa disimpulkan, namun sangat perlu untuk melihat persoalan ini secara komprehensif, dan bukan hitam putih, sebab dalam peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan ada banyak aktor dan kepentingan yang bermain,” jelasnya.
 
Sedangkan, dalam diskusi itu Prof Afrizal membahas politik kewargaan dalam konteks masyarakat adat. Ia menilai, klaim terhadap tanah adat secara komunal menimbulkan ketidakadilan. Misalnya apa yang terjadi di Sumatera Barat, di mana masyarakat Nias yang beragama Kristen dapat diterima dan diberikan tanah oleh masyarakat Minangkabau yang beragama Islam.  

“Di lapangan, ada banyak contoh kasus yang menunjukan inklusivitas masyarakat adat terhadap orang luar,” ujarnya. 
 
Polisi semakin dominan di pemerintahan

Kandidat doktor di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Fachrizal Afandi, menyinggung soal revisi UU KPK dan RKUHP. Menurutnya, peranan polisi dalam penyelenggaraan pemerintahan sipil semakin dominan. 

“Saat ini sudah begitu banyak posisi kementerian dan lembaga negara, termasuk Ketua KPK diisi oleh polisi yang tidak melepaskan status kepegawaiannya sebagai polisi,” jelas mantan Ketua Tanfidziyah PCINU Belanda ini.
 
Situasi ini, lanjutnya, menyebabkan polisi memainkan dua peran sekaligus, seperti dwi fungsi TNI pada masa Orde Baru. Di samping itu, banyaknya pasal pemidanaan dalam RKUHP, termasuk dalam ranah privat tanpa disertai kontrol yang kuat dalam KUHAP, memberikan peluang bagi polisi untuk melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat yang ditarget.
 
Editor: Muchlishon