Internasional

Sikapi Pernyataan Presiden Prancis, PBNU: Ekstremisme Tidak Punya Agama

Sel, 27 Oktober 2020 | 14:05 WIB

Sikapi Pernyataan Presiden Prancis, PBNU: Ekstremisme Tidak Punya Agama

Sekjen PBNU HA Helmy Faishal Zaini (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyikapi perkembangan terkini atas pernyataan yang dikemukakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, beberapa waktu lalu.

 

Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmy Faishal Zaini sangat menyayangkan pernyataan dan sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron yang mengungkapkan, Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. 

 

"Pernyataan ini sangat tendensius. Menggelorakan islamophobia dan memiliki dampak besar terhadap perdamaian dunia," katanya Selasa (27/10) malam.

 

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa radikalisme dan ekstremisme tidak memiliki agama, sebab bisa dimiliki oleh pribadi beragama apa pun.

 

"Maka, menggelorakan propaganda bahwa Islam merupakan agama radikalis dan ekstremis, jauh sekali dengan kebenaran dan fakta yang ada," tegas Sekjen PBNU kelahiran Cirebon, 48 tahun yang lalu ini.

 

Ia juga menerangkan, Islam merupakan agama yang mengedepankan prinsip rahmatan lil alamin. Artinya, kata Helmy, Islam tampil sebagai agama yang mengusung kasih sayang bagi seisi jagat raya. 

 

"Sangat tidak benar jika Islam diidentikkan dengan kekerasan. Islam adalah agama rahmah, kasih sayang dan perdamaian," tegasnya. 

 

Terakhir, PBNU meminta kepada segenap umat Islam dan warga NU untuk bersikap tenang dan tidak terprovokasi.

 

"Kami mendorong pemerintah untuk aktif melakukan langkah diplomatik guna mencari solusi terbaik untuk menyikapi keadaan ini," pungkasnya. 

 

Sebelumnya diberitakan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan, Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Lebih dari itu, Macron menegaskan bahwa Prancis mendukung penerbitan kembali kartun kontroversial Nabi Muhammad oleh majalah satire, Charlie Hebdo, atas nama kebebasan berekspresi. Akibat hal itu, beberapa negara di Timur Tengah memboikot produk-produk Prancis.

 

Diberitakan BBC Senin (26/10), produk-produk Prancis seperti produk kecantikan ditarik dari beberapa rak supermarket di Kuwait, Qatar, dan Yordania pada Ahad, 25 Oktober waktu setempat. Di samping itu, aksi unjuk rasa anti-Prancis terjadi di beberapa negara Arab lainnya seperti Jalur Gaza, Suriah, dan Libya.

 

Di Kuwait, ketua dan anggota dewan direksi dari serikat pengecer besar non-pemerintah, Al-Naeem Cooperative Society, telah memutuskan untuk memboikot dan mengeluarkan semua produk Prancis dari rak supermarket. Dilaporkan, arahan ini merupakan tanggapan atas 'penghinaan berulang' terhadap Nabi Muhammad.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan