Internasional

Unik, Pengajian di Masjid Thailand Ini Gunakan Bahasa Jawa

Jum, 11 Mei 2018 | 14:15 WIB

Bangkok, NU Online
Ketua Delegasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis ke Negara-negara ASEAN mengatakan, Masjid Jawa (Jawa Mosque) menjadi sarana syiar Islam bagi Muslim di Bangkok Thailand. 

“Masjid itu (Masjid Jawa) terus berfungsi sebagai sarana keagamaan dan pendidikan,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Jumat (11/5), usai mengunjungi masjid tersebut.   

Ketua Komisi Dakwah MUI ini menerangkan, Masjid Jawa memiliki madrasah dengan jumlah siswa mencapai 200-an orang. Di masjid ini, pengajian Al-Qur’an digelar penuh selama satu pekan; Senin hingga Jumat untuk anak-anak dan hari Ahad untuk dewasa.

Masjid Jawa ini terletak di Sathorn Bangkok, Thailand tepatnya di Jalan Soi Charoen Rat 1 Yaek 9. Kawasan sekitar masjid dikenal dengan Soi Charoen Rat. Daerah ini merupakan kawasan yang dihuni banyak masyarakat Melayu dan keturunan dari perantauan orang Jawa.

Seorang Nahdliyin Zuhrah (putri H Muhammad Saleh, pendiri Masjid Jawa) dan Ma’rifah (cucu Kiai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah) merupakan keturunan Jawa yang tinggal di sekitar masjid. 

“Saat berkunjung ke Masjid Jawa, saya sempat berbincang-bincang dengan Ibu Ma’rifah dan Ibu Zuhrah,” ucapnya. 

Pengajian bahasa Jawa dan Indonesia

Mengutip apa yang disampaikan Ma’rifah, Kiai Cholil menceritakan bahwa bahasa Indonesia diajarkan secara rutin di Madrasah Masjid Jawa. Tujuannya tidak lain adalah untuk terus memelihara rasa cinta terhadap Indonesia.

“Pengantar bahasa pembelajaran acap kali campur-campur antara bahasa Thailand, Indonesia, dan Jawa,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Kiai Cholil, pengajian-pengajian yang diselenggarakan di Masjid Jawa juga banyak menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa, di samping bahasa Thailand.

“Tradisi khas Nusantara seperti beduk, pengajian, dan shalawatan bahkan juga tahlilan juga ada di Masjid Jawa ini. Terlihat suasana masyarakat sekitar masjid seperti budaya Jawa,” jelasnya. 

Masjid Jawa didirikan di atas tanah Muhammad Saleh, seorang perantauan asal Rembang Jawa Tengah, pada 1906. Mulanya tanah tersebut merupakan tempat pengajian dan yasinan, lalu kemudian diwakafkan menjadi masjid dan tempat pendidikan. 

Masjid ini berarsitektur Jawa dengan warna bangunan hijau muda dan atap limasan berundak tiga. Jika dilihat sepintas seperti Masjid Agung Kauman di Yogyakarta dalam ukuran mini. 

Bangunan utama masjid berbentuk segi empat dengan ukuran 12 x 12 meter dan dilengkapi dengan empat pilar di tengah yang menjadi penyangga. Selain sisi arah kiblat, di tiga sisi lainnya terdapat masing-masing tiga pintu kayu. 

Di luar bangunan utama, terdapat serambi dengan empat pintu yang terbuat dari jeruji besi. Di bagian depan (mihrab), terdapat sebuah mimbar kayu yang dilengkapi tangga. Di kanan dan kirinya terdapat dua buah jam lonceng, juga terbuat dari kayu.

Ada dua bangunan utama yaitu masjid dan madrasah berbentuk rumah panggung dengan aneka jejeran kursi dan meja di kolong rumah. Sementara di seberang masjid ada tempat pemakaman Islam. Di samping kiri masjid terdapat prasasti peresmian masjid berbahasa Thailand. 

“Interior masjid sungguh membuat saya merasa sedang berada di sebuah masjid tua di Jawa,” cerita Kiai Cholil. (Muchlishon)